Cerita oleh Agus Prijono
Nationalgeographic.co.id—Kasirin melecutkan cemetinya di tengah lapangan. Suaranya menembus jantung telinga. Lelaki dengan badan berisi itu beberapa kali menyentakkan cambuk sambil menatap barisan penunggang kuda lumping.
Para penari berbaju cerah ceria itu bersiap meramaikan suasana Desa Lomanis, Cilacap Tengah, Cilacap, Jawa Tengah. Di tengah lengkingan terompet, dentuman drum dan kendang, lecutan itu menandai hentakan pertama sebarisan penari kuda lumping.
Di ujung depan,Umarmaya memimpin gerak sigrak penari. Membelah lapangan, tujuh penari mengekor Umarmaya. Di ujung batas lapangan, barisan berbalik. Lambaian tangan, derap kuda lumping, getar kepala seirama dengan alunan gending Jawa Banyumasan. Kasirin lantas menggulung cemetinya, menatap para penari.
Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan
Menit-menit selanjutnya, para penikmat kuda lumping Banyumasan itu mulai berdatangan. Tua-muda, laki-laki-perempuan, mulai berkumpul di tepi lapangan. Suara gending bertalu-talu, para penari terus bergerak selaras. Bagaikan seorang komandan kavaleri, Umarmaya menguasai pentas babak pertama itu. Dia menari seolah memeriksa pasukan berkuda.
Itulah menit-menit awal babak pertama ebeg. Dimulai sejak pukul sebelas siang, kesenian khas Banyumasan ini bangkit setelah tenggelam dalam geliat zaman. Kasirin menuturkan, semenjak ada klaim Malaysia terhadap kesenian Jawa, ebeg kembali menyemarakkan Cilacap dan sekitarnya. “Sejak ada klaim dari Malaysia terhadap reog, kita ingin menghidupkan kembali ebeg,” tutur lelaki berkumis ini.
Di desa Lomanis, semula ada dua grup ebeg. Lantas satu grup tutup pelan-pelan. Setelah itu, Kasirin mendirikan kelompok sendiri: Sekar Asih Turangga Seta. “Di Lomanis sekarang ada tiga, sedangkan di Cilacap ada puluhan ebeg,” tambahnya.
Baca Juga: Perang Jawa dalam Catatan Harian Serdadu Semasa
Ebeg, tutur Kasirin, berasal dari kata Jawa ebleg, embeg,yaitu anyaman bambu yang digunakan untuk bahan kuda kepang. “Kalau di Yogyakarta namanya jathilan, ada juga yang menyebut jaran kepang, kuda lumping atau jaranan.”
Syahdan, awal mula kreasi ebeg untuk menggambarkan pasukan Mataram dalam menghadapi penjajahan Belanda. Gerak sigrak dan lincah untuk mengenang semangat pasukan Jawa dalam menempa kesiapan diri dan ketrampilan perang.
Pentas ebeg dipimpin oleh seorang penimbul atau pawang. Di Turangga Seta, penimbul dipegang oleh Kasirin, yang sekaligus ketua paguyuban. Para penari kuda lumping atau wayang berjumlah delapan orang, dengan dua orang cepet. Dua cepet ini memakai topeng dan menari secara jenaka di belakang barisan penari berkuda. Di belakang para penari, bersimpuh para pemusik: terompet, kendang, gong dan saron.
Baca Juga: Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara
Hari itu, Kasirin bersama paguyubannya membagi pentas ebeg dalam tiga ebek. Setelah babak pertama usai sebelum matahari di atas kepala, dilanjutkan dengan babak kedua. Para penari kembali memasuki ‘kalangan’ setelah lepas dhuhur. Mereka mementaskan tarian pedang. Ini tari kreasi baru.
Di akhir babak kedua, keriuhan ebeg memuncak. Inilah saat yang gaib bergabung dalam pentas. Para wayang kesurupan. Satu dua penari tersungkur; yang lain bertingkah seenaknya. Beberapa penonton di sudut lapangan turut wuruatau kesurupan. Saat inilah indang atau sobat gaib merasuki para penari dan beberapa penonton.
Kendati dibawah kendali indang, para wayang masih menari selaras irama gending. Seorang penari menari lebih bersemangat; ada yang menari lemah gemulai bagaikan seorang perempuan kenes; ada juga yang indang masih merasuk separo.
Baca Juga: Babad Dipanagara dan Sosok Pangeran Dipanagara Sebagai Manusia
Kasirin bersama penimbul disibukkan oleh seorang wayang yang terasuki separo. Sejurus kemudian, gending mendadak melantunkan tembang ilir-ilir. Serentak para penari yang kesurupan mengitari ‘jasad’ yang menegang dan belum sempurna terasuki itu. Mendekati usainya ilir-ilir, indang telah sempurna menyusup ke sang jasad: dia bangkit dengan tatapan nanar ke sekeliling. Dia lebih bertenaga, menari tanpa lelah.
Irama gending semakin menggelora. Penonton makin padat, memagari lapangan. Makin sore, pementasan ebeg itu kian memuncak. Para pengunjung masih bertahan di tepi pentas.
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Derap Ebeg Banyumasan pada 30 Desember 2015.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR