Nationalgeographic.co.id—Peristiwa Geger Pacinan tahun 1740 membuat perjuangan Tionghoa dan Jawa bersatu melawan dominasi VOC. Perjuangan itu mengakibatkan pengaruh perpaduan filosofis dari segi kebudayaan dan militer penentang kongsi dagang Belanda itu.
Mangkunegara I adalah salah satu pelopor perpaduan ini saat berkoalisi tokoh-tokoh anti-VOC seperti Kapitan Tionghoa, Sepandjang. Kegigihan Raden Mas Said (nama asli Mangkunegara I) dan koalisinya, membuat VOC menjulukinya sebagai Sambernyawa atas kegaharannya menumpas musuh.
Meski demikian, kegaharan ini karena usahanya yang menyentuh rakyat untuk melawan Belanda.
"Dia juga berhasil menggabungkan seni perang Jawa dengan seni perang Tionghoa," jelas Iwan Ong Santosa, jurnalis Kompas yang menggali data sejarah Raden Mas Said.
Penuturan ini dikisahkannya dalam webinar Pangeran Sabernyawa, Inspirasi Militer & Budaya yang digelar oleh Garda Mangkunagaran Cabang Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta pada Minggu, 25 April 2021.
"Ini adalah sesuatu yang khas dari Sambernyowo, nilai-nilai ini diteruskan oleh penerusnya. Ini ada wawasan terbuka, beliau mampu memadukan nilai filosofi budaya Tionghoa, Eropa, dan Arab."
Baca Juga: Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan
Perjuangan awal Raden Mas Said adalah pertempuran di Welahan yang saat itu masih merupakan kawasan rawa. Pertempuran itu terjadi di bulan Agustus 1742 yang terpantik setelah Pos Aju dibakar VOC.
Sekitar 600 prajurit Tionghoa yang terdiri dari kavaleri dan infantri bersenjata tombak dan senapan turun. Karena VOC memiliki pasukan yang canggih, serdadu tambahan di pihak Jawa-Tionghoa datang dengan memancing mereka.
"Pasca Welahan, beliau fokus taktik gerilya lewat bagaimana hubungan pasukan harus baik dengan masyarkat," papar Iwan Ong Santosa, jurnalis Kompas yang menggali data sejarah Raden Mas Said. "Ini menarik sekali, ternyata kiprah beliau di pantura banyak hubungannya di sekitar sana."
Diketahui di masa itu kawasan Pantura memiliki banyak keturunan Tionghoa-Muslim. Dari situlah gerilya mulai dimobilisasi. Iwan menjelaskan, masyarakat sipil berperan untuk bantuan logistik untuk barisan militer dalam pertempuran.
"Yang menarik, siasat beliau adalah membuat VOC bingung karena pasukan Tionghoanya tidak habis-habis," terang Iwan.
"Itu arena orang Jawanya [di bawah Raden Mas Said] memakai pakaian hitam-hitam seperti prajurit Tionghoa."
Kemampuan Raden Mas Said yang terbuka, ulet, beradaptasi dengan ragam budaya, digambarkan dalam seni Tari Bedhaya yang dibuatnya. Nyatanya, unsur tarian di sana memiliki kombinasi formasi perang selama Geger Pacinan, termasuk perang Kapitan Sepandjang.
"Ada 3 medan perang utama yang diabadikan dalam bentuk tarian," ujar Wishnu Prahutomo Sudarmadji, pemerhati Budaya Jawa.
Baca Juga: Panglima Besar Dalam Tandu Itu Dikira Sri Sultan Hamengkubuwono
"Perperangan yang dilakukan Raden Mas Said yang 16 tahun hidup di medan perang, adalah atas penghayatan beliau atas derita rakyat, keimanan pada Tuhan dan dituangkan untuk pengikutnya."
Pengilhaman Raden Mas Said tak terlepas dari situasi negeri sedang kacau akibat kepentingan luar dan dalam istana sendiri. Terlebih, perekonomian rakyat berada dalam keadaan kritis.
Pemahaman yang dimiliki Raden mas Said dimuat dalam catatan jurnalnya yang diperkirakan ditulis oleh para prajuritnya. Wishnu menjelaskan bahwa prajurit yang tak hanya memiliki kemampuan bertempur, tetapi juga menulis dan menjadi pegiat seni adalah perempuan.
Ia berasumsi, "Semua semua jalan perperangan beliau selalu mundhut, hari ini terjadi begini-begini, dituliskan begini. Kemudian dijadikan dagboek--catatan harian yang dicatat prajurit dari yang beliau alami."
Tiga Tari Bedhaya itu antara lain adalah Kasanapaten Anglirmendhung, Kasanapaten Diradameta, dan Kasanapaten Sukapratama. Tetapi yang paling dikenal adalah Kasanapaten Anglirmendhung yang diarikan tiga perempuan dengan properti berupa pistol, dan busana dodot bermotif kaligrafi.
Tarian ini disajikan pertama kali pada penobatan Raden Mas Said sebagai K.G.P.A.A. Mangkunegara I. Kemudian tarian ini dijadikan kelengkapan upacara resmi di Pura Mangkunegaran.
Baca Juga: Konsep Hindu-Buddha dalam Tata Ruang Kesultanan Islam di Jawa
Penggunaan kesenian budaya yang diterapkan Raden Mas Said merupakan bingkai alat pengajaran kepada masyarakat.
"Apapun kontennya, mau itu edukasi, soal keagamaan, ketuhnan, whatever, selalu menggunakan bingkai sastra," jelas Wishnu. "Kalau penelusuran yang saya lakukan, [tujuannya] agar piantun-piantun itu mengklasifikasikan pemahaman audiens."
Melalui kesenian, isi makna yang diberikan cenderung diserahkan kepada khalayaknya dengan pemahaman masing-masing.
Iwan menyebutkan, pemahaman lewat kesenian di masa itu lebih diterima di masyarakat untuk mengakses informasi dari kalangan atas.
"Kalau pada jaman sesudahnya, Perang Jawa, itu mereka hubungannya yang cair itu pas setelah Jumatan lewat forum interaksi dengan masyarakat. Itu cair sekali. Ada kegiatan keagamaan, ada pasar, tari Bedhaya. Itu adalah menggabungkan peran untuk ingatan kolektif soal beliau (Raden Mas Said)," tambah Iwan.
Iwan juga menambahkan, berkat peranan Raden Mas Said, ia memaksa kalangan kolonial agar membangun sekolah di Pulau Jawa. Tujuannya supaya masyarakatnya bisa mendapat akses pendidikan Eropa.
"Padahal orang Eropa itu enggan, tidak mau negeri jajahannya bisa belajar dari Barat supaya tidak setara," terang Iwan. "Ini yang dipikirkan Sambernyawa untuk entitas Puro Mangkunegoro dan rakyatnya.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR