Jadi bisa diperkirakan bahwa kapal selam ini menerima gaya dorong air sebesar 10.332,27 kilogram-force dikali 1.437,5 meter persegi. Totalnya adalah 14.852.638,1 kilogram-force.
Gaya dorong air dengan besar total nyaris 15 juta kilogram-force itu, merupakan angka yang cukup untuk membuat kapal selam tersebut hancur.
Baca Juga: Bisakah KRI Nanggala-402 Ditemukan Sebelum Cadangan Oksigennya Habis?
Sebelumnya Laksamana Yudo Margono juga telah menyampaikan bahwa ada serpihan-serpihan barang dari KRI Nanggala-402 yang ditemukan terapung di permukaan laut di sekitar titik hilangnya kapal selam tersebut. Serpihan-serpihan barang yang ditemukan itu antara lain pelurus tabung torpedo, pembungkus pipa pendingin, botol plastik berisi pelumas periskop kapal selam, spons penahan panas, dan alat salat milik awak KRI Nanggala-402.
Geolog independen Awang Harun Satyana menjelaskan bahwa serpihan-serpihan ini hanya bisa lepas, keluar, dan naik ke muka laut dari Nanggala bila kapal selam ini tenggelam dan mengalami retak. Menurut Awang, kondisi ini lebih cocok disebut sobek, atau lebih cocok lagi disebut “crushed”.
"'Crushed' terjadi karena kapal selam tenggelam ke tempat 'crush depth'. 'Crushed' oleh tekanan kolom air laut di sekelilingnya," tulis Awang di akun Facebook-nya
"Sonar dari kapal-kapal pencari mengindikasi bahwa Nanggala tenggelam ke kedalaman sekitar 850 meter. Padahal, Nanggala dibuat untuk bisa bertahan atas tekanan maksimum sampai kedalaman 500 meter. Kedalaman lebih dari 500 meter adalah 'crush depth' untuk Nanggala. 'Crush depth' adalah kedalaman benda akan ringsek, remuk oleh tekanan air."
"Akan mampu bertahankah kapal selam berumur 44 tahun berada di kedalaman 850 meter menahan tekanan besar hidrostatik kolom air laut setebal 850 meter?" lanjut Awang lagi. "Menurut beberapa informasi, tidak. Kapal akan mengalami 'crush', implosion (lawan explosion) --ledakan ke dalam, remuk, ringsek. Bagaimana bila itu terjadi, mohon maaf, tentu fatal seketika bagi seluruh awak di dalam kapal. Lebih ngeri daripada mati lemas karena ketiadaan oksigen."
Source | : | Kompas.com,Schmidt Ocean Institute |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR