Nationalgeographic.co.id—Cannabidiol (CBD) adalah senyawa ganja yang kini banyak dipakai untuk keperluan medis atau pengobatan di beberapa negara yang telah melegalkan ganja obat. Terus meningkatnya permintaan atas CBD, menurut beberapa perkiraan, pasar Cannabidiol bisa bernilai 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 290 triliun pada tahun 2024.
Para pengguna zat ini telah memuji keefektifannya dalam menghilangkan rasa sakit. Namun penelitian eksperimental langsung pada manusia terkait efektivitas senyawa ini masih terbatas jumlahnya.
Sebuah riset baru yang dipimpin oleh para peneliti dari Syracuse University menyoroti kemampuan CBD untuk mengurangi rasa sakit. Mereka juga meneliti efek plasebo dari penggunaannya terhadap rasa sakit.
“Untuk sains dan publik pada umumnya, pertanyaannya tetap, apakah peredaan nyeri yang diklaim dialami oleh para pengguna CBD karena efek farmakologis atau efek plasebo,” kata Martin De Vita, peneliti di departemen psikologi di College of Arts and Sciences di Syracuse University.
"Itu pertanyaan yang wajar karena kami tahu bahwa hanya dengan memberi tahu seseorang bahwa suatu zat memiliki kemampuan untuk meredakan rasa sakitnya sebenarnya dapat menyebabkan perubahan yang kuat dalam sensitivitas rasa sakit mereka. Ini disebut efek ekspektasi," ujarnya lagi seperti dikutip dari laman resmi Syracuse University.
Baca Juga: Kehilangan Anaknya, Ibu Ini Berjuang Supaya MK Melegalkan Ganja Medis
De Vita bersama Stephen Maisto, profesor riset dan profesor emeritus psikologi, secara unik siap menjawab pertanyaan yang tepat itu. Pasangan itu, bersama dengan sesama anggota lab dan kandidat doktor Dezarie Moskal, telah melakukan tinjauan sistematis dan meta-analisis penelitian eksperimental yang meneliti efek obat cannabinoid pada rasa sakit.
Hasil penelitian mereka ini memberikan hasil yang konsisten dan patut diperhatikan. Di antara temuan-temuan lain, data mereka ini menunjukkan bahwa efek ekspektasi dan efek menerima CBD tampaknya tidak mengurangi intensitas nyeri eksperimental, tetapi keduanya memang terbukti mampu membuat rasa tidak nyaman akibat nyeri tersebut berkurang.
Dalam riset ini De Vita dan Maisto menggunakan peralatan canggih yang dengan aman menginduksi nyeri panas eksperimental, memungkinkan mereka mengukur bagaimana sistem saraf para penerima bereaksi dan menanggapinya. “Kemudian kami memberikan obat, seperti CBD murni, atau plasebo, dan kemudian menilai kembali respons rasa sakitnya dan melihat bagaimana mereka berubah berdasarkan zat mana yang diberikan,” papar De Vita.
Para peneliti itu kemudian mengambil langkah lebih jauh dengan memanipulasi informasi yang diberikan kepada partisipan tentang zat apa yang mereka terima. Dalam beberapa kasus, peserta diberi tahu bahwa mereka mendapat CBD ketika mereka benar-benar menerima plasebo, atau diberitahu bahwa mereka akan mendapatkan plasebo ketika mereka benar-benar mendapat CBD.
“Dengan cara itu kami dapat mengurai apakah itu obat yang menghilangkan rasa sakit, atau apakah ekspektasi bahwa mereka telah menerima obat yang mengurangi rasa sakit mereka,” jelas De Vita.
Baca Juga: Australia Akan Segera Buka Kebun Ganja Obat Terbesar di Queensland
“Datanya menarik tetapi cukup kompleks karena ukuran nyeri yang berbeda merespons secara berbeda terhadap efek obat, ekspektasi, atau gabunganobat dan ekspektasi —jadi kami masih mencoba untuk mencari tahu apa yang ada di balik data diferensial dengan jenis ukuran nyeri yang berbeda-beda itu,” kata Maisto.
"Langkah selanjutnya adalah mempelajari mekanisme yang mendasari temuan ini dan mencari tahu mengapa pemberian instruksi atau CBD itu sendiri menyebabkan reaksi tertentu terhadap rangsangan nyeri."
Kebanyakan orang menganggap nyeri sebagai tombol hidup dan mati, Anda mengidapnya atau tidak. Namun nyeri, seperti yang digambarkan oleh De Vita, merupakan fenomena kompleks dengan beberapa dimensi yang dipengaruhi oleh faktor psikologis dan biologis.
Misalnya, jika intensitas nyeri mencerminkan dimensi nyeri "sensorik", ketidaknyamanan mewakili aspek nyeri "afektif" atau emosional. “Jika Anda menganggap nyeri sebagai suara berbahaya yang berasal dari radio, volumenya dapat mewakili intensitas nyeri, sedangkan stasiun dapat merepresentasikan kualitasnya,” kata De Vita.
Hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun obat-obatan canabinoid tidak mengurangi volume rasa sakit, obat-obatan tersebut mampu "mengubah saluran (nyeri) sehingga rasa tidak menyenangkan akibatnya jadi berkurang".
Baca Juga: Senyawa Ganja Berpotensi Menghambat Replikasi Virus Corona di Manusia
Menurut De Vita, "Ini bukan sinar matahari dan pelangi yang menyenangkan, tapi sesuatu yang tidak terlalu mengganggu. Kami mereplikasi hal itu dalam studi ini dan menemukan bahwa CBD dan ekspektasi tidak secara signifikan mengurangi volume rasa sakit, tetapi mereka mampu mengurangi rasa tidak nyaman (akibat nyeri tersebut) —itu jadi tidak terlalu mengganggu mereka."
Satu catatan penting yang juga dipertimbangkan adalah sumber CBD. “Apa yang kami gunakan dalam penelitian kami adalah minyak isolat CBD murni,” kata De Vita. "Produk CBD yang tersedia secara komersial berbeda dalam konten dan kemurniannya, jadi hasilnya mungkin berbeda untuk produk CBD yang berbeda, tergantung pada senyawa lain apa yang mungkin atau mungkin tidak dikandungnya."
Source | : | Syracuse University |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR