Kehangatan keluarga Arab, terlihat jelas saat Ramadan. Jelang buka puasa, pasangan-pasangan muda menggandeng dan menggendong anak-anak mereka sambil membawa bekal ke Masjid. Tak jarang, kami kebagian kurma dan gahwa (kopi Arab, sebenarnya minuman hangat berempah). Sejumlah keluarga kaya, bahkan membawa berpeti-peti kurma, roti, yoghurt, air mineral lengkap dengan pembantu rumah tangga, termasuk TKW Indonesia, untuk membuat jamuan berbuka bagi para jemaah. Kami selalu berlimpah hidangan berbuka puasa.
Kami pernah “dikejar” gadis Pakistan yang menyodorkan satu buku kecil tentang dasar agama Islam, dan seuntai tasbih berisi tujuh butir untuk mempermudah menghitung putaran tawaf.
PADANG ARAFAH
Saya mendaki puncak Jabal Rahmah bertanda tugu putih. Di sinilah Adam dan Hawa kembali bertemu usai diturunkan ke Bumi, beratus tahun berjalan serta mencari. Para pria muda keturunan Arab tak jemu merayu sambil menyodorkan spidol, “Gratis, tulis nama di batu.” Rayuan tak selalu benar, pada akhirnya kami harus membayar. Tetapi, ada jemaah pria muda dari Jazirah Arab yang mengingatkan, “Haram! Haram!” Tidak boleh. Jabal Rahmah memang dikenal sebagai Bukit Pertemuan Cinta. Yang berniat mendapat jodoh, berdoalah, bukan membuat graffiti.
Di depan kami terbentang Arafah, tempat utama puncak ibadah haji dengan wukuf, kumpul bersama jutaan umat dari penjuru dunia. Semua setara di hadapan Tuhan, latihan menuju Hari Perhitungan di akhir dunia. Kami susuri juga Muzdhalifah dan Mina, yang hanya “hidup” setahun sekali.
Baca Juga: Ribuan Bangunan Misterius terkait Pemujaan Ternak Ditemukan di Saudi
Saat umrah itulah saya juga baru perhatikan, bahwa pembimbing ibadah kami bergelar Habib. “Itu sebutan untuk dzurriyaturrasul (ahli bait) keturunan nabi. Kiai itu keturunan raja, alim ulama. Di Madura keturunan raja saat muda disebut lora (raden), pas tua disebut kiai. Sudahlah, tak perlu membahas ini. Semua manusia sama di mata Tuhan, yang membedakan keimanannya,” ustad (guru) Busyro mengakhiri percakapan.
HUDAIBIYAH
Saat ramadan tahun lalu, saya bertekad lebih rajin umrah. Saya mengambil mikat di tempat berlainan—Bir Ali, Tan’Im, Ji’ronah dan Hudaibiyah. Saya dan Trizki diantar Affandi menyewa taksi untuk pergi pulang Hudaibiyah – Mekah. Biayanya, 120 riyal. Kami melewati aspal mulus yang dulu merupakan jalur utama menuju Madinah, Jeddah dan Taif. Setelah gunung batu dan gurun, di kiri-kanan jalan mulai terlihat sekelompok unta dan tumpukan jerami. Affandi meminta supir menepi.
Baca Juga: Blunder Snouck Hugronje Perkara Arab-Hadhrami di Hindia Belanda
Saya teringat ucapan Busyro, “Susu unta lebih rendah kadar lemaknya daripada susu sapi dan kambing. Bila dibiarkan di udara terbuka beberapa lama, warnanya berubah agak merah muda, mirip ASI, sangat baik untuk pencernaan, pencuci perut. Tibbun nabawi, pengobatan ala Nabi.”
Saya dan Trizki mengamati sejenak anak unta yang sedang menyusu dan sempat terganggu kenikmatannya karena susu ibunya diperah untuk kami bawa pulang. Kami salat dua rakaat di masjid kecil bersahaja. Namun, kamar mandi bersih. Ada kendi pengganti gayung di bawah keran berair lancar. Inilah yang saya kagumi di negeri gurun ini. Air tak pernah menjadi masalah bahkan di tempat terpencil sekalipun.
Kami jenguk sejenak reruntuhan bangunan tua di sisi masjid. Di tempat sederhana inilah pada 6 H (628 M) dilakukan Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad dan kaum Quraisy antara lain disepakati 10 tahun gencatan senjata, kerja sama untuk kebaikan, dan orang Islam boleh ke Mekah tahun berikutnya untuk berhaji. Nabi pun tenang membangun peradaban di Madinah.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR