MADINAH AL MUNAWWARAH
Saudari kaum muslimat, jangan memaksakan diri dan menyakiti sesama pada saat masuk ke Raudhah dengan saling mendorong dan berdesak-desakan. Tunggulah giliran. Dengan izin Allah, masih banyak waktu untuk Anda dapat memasuki Raudhah dan melaksanakan salat di dalamnya.”
Deretan aksara berbahasa Indonesia, Turki dan Arab yang tertera di dinding atas itu membuat saya malu. Kami tengah berada di Masjid Nabawi, yang dirintis Nabi Muhammad SAW ketika hijrah Yatsrib, sekitar 400 kilometer utara Mekah pada 622 M. Selain makam Rasulullah, inilah bagian terpenting di sini: Raudhah, taman seluas 22 x 15 meter di antara mimbar dan (bekas) kamar Nabi dengan istrinya, Siti Aisyah. Berdoa di sini akan cepat dikabulkan. Pantas jemaah berebut. Bagi jemaah perempuan, kesempatan salat di Raudhah dibatasi 30 menit sesudah waktu shalat wajib sampai 30 menit sebelum shalat wajib berikutnya. Nabawi sendiri akan ditutup satu jam usai salat Isya dan kembali dibuka pada pukul 03.00 dini hari untuk ibadah malam.
Begitu keluar dari masjid, saya disambut lambaian kerudung, abaya dan gamis (jubah). Penjajanya berseru-seru dalam bahasa Indonesia, “Lima riyal, sepuluh riyal.” Begitu asykar (petugas) datang, para pedagang kaki lima keturunan Arab, India, Afrika itu pun sigap menggulung dagangan yang digelar dalam seprai besar, atau mendorong gerobak. Ada kalanya, satu dua dagangan kantong bersulam itu jatuh tercecer dalam pelarian mereka. Tetapi tiada satu pun orang akan mengambil.
Berjalan kaki seputar Nabawi, kami sempatkan ke Percetakan Alquran dan Baqi, taman makam Usman bin Affan, para istri dan putra-putri Nabi. Dengan bus kami menuju Masjid Quba, sekitar empat kilometer selatan Nabawi. Salat dua rakaat di sini berpahala setara umrah. Lalu ke tempat bersejarah lain seperti Jabal (gunung) Uhud, Masjid Qiblatain dan Sab’ah (Perang Khandaq), juga kebun kurma. Kami singgah ke fenomena alam Jabal Magnet di Montiqo Baidho, sekitar 30 kilometer dari Madinah. Pada seruas jalan di situ bus dapat bergerak tanpa perlu bantuan atau dorongan mesin. Untuk mencapai ke sana, kami kembali berpatungan sebesar 10 riyal untuk biaya transportasi.
Baca Juga: 6.000 Tahun Silam, Manusia Prasejarah di Arab Saudi Menyukai Anjing
Walau ingin segera tidur usai salat Tarawih, saya dan Trizki tak bisa menolak ajakan pasangan Joko dan Heli mengikuti kebiasaan lokal: makan jelang tengah malam. Di belakang Hotel Oberoi, sisi Dhalah Thaibah tempat kami menginap, ada pujasera yang menawarkan nasi berempah ala Timur-Tengah—saya masih saja sulit membedakan nasi mandhi (Yaman), kabli (Afganistan), kabsah (Arab Saudi), biryani (India) berpadu daging ayam atau kambing. Kami berbaur dengan keluarga lokal dan jamaah lain di taman dengan bangku-bangku bertenda di seberang pujasera, seperti dikhususkan bagi taman santap.
MAKKAH AL MUKARRAMAH
“Wahai jiwa yang lelah, datanglah…” Di sinilah Kakbah Al Musyarrafah, bangunan kubus yang mulia setinggi 15 meter. Ketika jemaah menyemut saat tawaf, bangunan ber-kiswah (selubung) hitam itu seperti berdaya sentrifugal. Dari lingkar besar terluar memulai tujuh putaran ke putaran-putaran berikutnya, saya bak kian ditarik ke dalam. Usai putaran terakhir, saya mengikuti rombongan, perlahan melipir keluar.
Selepas tawaf, saya minum air zamzam yang mengandung tujuh mineral berkadar tinggi dan mendatangkan hal sesuai kepercayaan ketika mereguknya. Tutur Busyro, “Bulan lalu saya mengantar jemaah pria pemabuk yang ingin benar-benar tobat. Selalu berdoa sampai menangis dan mengusap mata dengan zamzam. Jelang pulang, ia tak perlu lagi berkacamata. Itu satu-satunya keajaiban yang langsung saya saksikan.” Saat gejala batuk, saya minum air zamzam dengan niat sembuh. Hasilnya, batuk urung datang.
Di Masjidil Haram, tak ada pemisahan pintu masuk laki-laki dan perempuan. Walau sebenarnya ada pemisahan tempat salat pria dan wanita, bila saat itu tiba, pria dan wanita bisa bersisian begitu saja, memperjuangkan satu tempat untuk menghadap Ka'bah.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR