JEDDAH
Jeddah berarti nenek. Kita akan melewati dan berhenti di muka makam Siti Hawa. Meskipun belum diketahui pasti kebenarannya, mari berdoa bagi nenek kita,” tutur Busyro kala kami kembali ke ibu kota Kerajaan Arab Saudi sejak 1985 itu. Kami menjelang pulang ke Tanah Air. Jeddah memiliki banyak julukan. Letak strategis membuatorang menyebut kota ini menjadi Gerbang Dua Tanah Suci. Ada pula yang menjuluki Jeddah sebagai kota di tengah pasar. Nyaris seluruh penerbangan internasional untuk umrah dan haji mendarat di sana. Akan tetapi beberapa maskapai langsung mengarahkan tujuan menuju Madinah, termasuk yang berasal dari Indonesia.
Taman-taman bermain dengan berbagai patung cantik geometris sambung-menyambung sepanjang tepi pantai barat. Dari kejauhan sudah terlihat semburan setinggi 260 meter Air Mancur Raja Fahd yang dibangun 1980 – 1985 di tengah Laut Merah dekat Istana. Keindahannya akan lebih jelas saat senja dan malam. Walau tak punya nilai sejarah, jemaah diajak singgah di Masjid Terapung, julukan bagi masjid putih yang dibangun menjorok ke laut hingga ketika air laut pasang akan terkesan terapung.
Konon, masjid ini dibangun dari wakaf seorang wanita atas harta mendiang suami. Beberapa warga memandang laut dari lengkung-lengkung pagar batu sekeliling masjid. Pantai seputar masjid menjadi favorit piknik keluarga yang menggelar alas dan bekal makanan sambil mengawasi anak-anak bermain pasir dan air laut. Saya terpana mendapati seorang anak perempuan jelang remaja dibiarkan bebas tanpa kerudung.
Baca Juga: Koin-Koin Arab Kuno Ungkap Aksi Keji Perompak Kapal Rombongan Haji
Suami istri keturunan Arab menjual kue-kue kering dalam stoples plastik. Saya lebih tertarik pada ranum buah kesenangan saya, delima yang dijajakan wanita warga Indonesia.
“Kalau ruman (delima dalam bahasa Arab) lokal sudah panen, delima dari India tak laku lagi. Rasanya lebih manis,” katanya menjawab keingintahuan saya akan tumpukan delima kering di kotak kayu. Saat makan prasmanan di tempat kami menginap, Red Sea Palace Hotel, saya dapati sejumlah buah segar khas jazirah Arab seperti zaitun, tin (fig), dan “mish-mish” begitulah yang saya dengar dari pelayan tentang buah bercita rasa mirip plum.
Banyak yang bilang, bahwa haji dan umrah itu seperti ibadah Ramadan. Yang penting bukan saat pelaksanaan-nya, tapi sesudahnya. Apakah latihan disiplin beribadah ritual — salat begitu azan tiba, bersikap baik, akan terjaga sebagai tanda mabrur (ibadah yang diterima). Ujian pertama terlihat di Jeddah. Hotel kami hanya beberapa langkah dari Al Balad, pusat perbelanjaan kota. Usai menunaikan ibadah Magrib dan makan malam, alih-alih kembali ke kamar untuk menunaikan Isya, rombongan jemaah—termasuk saya—langsung menuju Al Balad.
Baca Juga: Sejarah Tersembunyi Julfar, Kota yang Hilang di Gurun Uni Emirat Arab
Di sana, sejumlah lelaki setempat menyongsong kami. Mereka menjadi perantara toko buah tangan serba ada. Toko itu mengambil nama dari kosa kata bahasa Indonesia, seperti Toko Ali Murah. Mereka mengarahkan agar kami berkunjung ke toko induk semangnya.
Azan Isya bergema. Kami duduk di muka toko yang tutup sementara sampai azan selesai. Begitu toko buka, calon pembeli seperti tak sabar mengosongkan saku sarat riyal untuk ditukar dengan berbotol-botol parfum, berkotak-kotak kurma segar dan aneka sajadah. Sebuah dinding antar toko menarik perhatian saya karena memajang iklan Indomie berdampingan dengan Toya, mi instan buatan Arab Saudi.
Sebelum kembali ke hotel, pembelanja senang melepas lelah di Bakso Mang Oedin. Letak rumah makan tenda terbuka ini berada di pojok seberang deretan toko oleh-oleh serba ada itu. Bagi saya, cita rasa dari menu yang ditawarkan termasuk biasa-biasa saja. Malahan terlalu banyak merica. Tetapi itu bukanlah hal yang penting.
Baca Juga: Thala' al-Badru 'Alayna, Nyanyian Tertua Islam Penyambut Nabi
Pada umrah Ramadan, saya bertemu Mang Oedin. Pemilik warung berusia 54 tahun ini pertama kali ke Arab Saudi pada 1983. Ia mengadu nasib sebagai pengemudi. Bertahun-tahun ia merintis usaha dengan menyisihkan penghasilan hingga dikenal sebagai raja bakso Mekah hingga merambah Jeddah. Dari hasil keuntungannya, ia mendirikan pesantren di kampung halamannya, Rangkas Bitung, Banten. “Sepanjang matahari masih terbit dari timur ke barat, perusahaan ini harus tetap hidup,” tekadnya.
Mang Oedin telah menunjukkan semangat sekeras gunung batu di negeri para nabi, yang memancing rindu. Saya akan kembali.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR