Hardjonagoro merupakan seorang Tionghoa yang berasal dari keluarga pembatik di Surakarta. Nama lahirnya adalah Go Tik Swan. Dia lahir pada 11 Mei 1931, dan kelak dikenal sebagai budayawan dan sastrawan Jawa di kota kelahirannya. Demikian kisah yang dinukil dari buku bertajuk Jawa Sejati, Autobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro karya Rustopo. Buku ini bukan saja membahas soal budaya dan sejarah Jawa, tetapi juga perihal kehidupan Tionghoa di Jawa.
Usia mereka memang terpaut seolah bapak dan anak. Sejak 1955, Tik Swan kerap datang menjumpai Bung Karno di istana. Soal protokol kediaman Presiden, seluruh pegawai rumah tangga istana sudah menganggap Tik Swan sebagai bagian dari mereka. Bahkan, ada yang menganggap sudah seperti anak presiden.
Baca Juga: Selidik Kisah dan Filosofi di Balik Corak Keindahan Batik Lasem
Rustopo dalam bukunya berkisah bahwa Bung Karno mengenal betul latar keluarga Tik Swan yang memiliki rumah batik di Surakarta. Si Bung tidak meragukan keterampilan anak muda itu. Kendati datang dari keluarga Tionghoa, Tik Swan pandai dalam menari Jawa, kerajinan tangan, sampai pengetahuannya tentang budaya Jawa. Pada suatu kesempatan Bung Karno berkelakar kepadanya. Kira-kira begini, “Balik saja ke kotamu, kamu tidak mengerjakan apa pun di sini, kamu hanya menari dan melawak.”
Namun, semenjak kesempatan santap malam itu Tik Swan mengingat perkatan Bung Karno yang membuatnya gelisah dan bimbang. Gagasan Bung Karno untuk membuat adikarya ‘Batik Indonesia’ itu menjadi sebuah amanat baginya.
Sebagai seorang Jawa, dia merenung sembari mencari kesejatian batik demi mewujudkan gagasan Bung Karno. Perjalanan ziarahnya bermula dari sentra batik di Palmerah, Jakarta Pusat. Kemudian, ziarah berikutnya ke makam-makam orang suci. Permakaman keranat pertama yang dia singgahi adalah Luar Batang, kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Tik Swan menyusuri Jalan Raya Pos ke arah timur, yang baginya ibarat perjalanan spiritual. Persinggahan berikutnya adalah rumah batik Haji Madmil di Cirebon, juga semalaman di makam keramat Sunan Gunung Jati. Kota-kota yang dia singgahi berikutnya adalah rumah-rumah batik di Pekalongan dan Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. Malamnya, dia berziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Persinggahan berikutnya adalah klenteng dan masjid di Tuban, Jawa Timur. Dia menyempatkan berziarah di makam Ki Ageng Tambakbaya atau Sunan Bonang. Bertolak dari kota pelabuhan itu dia menuju makam leluhurnya, Sunan Bayat di Klaten, Jawa Tengah.
Namun perjalanan ini belum membuahkan gagasan ‘Batik Indonesia’. Kemudian, Tik Swan bertolak dari Jakarta menuju Campuhan, Ubud, Bali. Dia bermalam di bekas rumah seniman Jerman yang sohor sebelum Perang Dunia Kedua, Walter Spies. Di teras rumah itulah dia mendapatkan pencerahan. Laksana kisah turunnya wahyu kerajaan, Tik Swan menganggap cahaya bulan yang masuk ke tubuhnya itulah yang menelurkan filosofi ‘Batik Indonesia’.
Baca Juga: Batik Vorstenlanden: Kisah Batik Dari Empat Istana Penerus Mataram
Source | : | Jawa Sejati, Autobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro |
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR