Sepulangnya ke Surakarta, Tik Swan menggoreskan gambar-gambar desain di kain putih. Lalu, dia mulai memproduksi batik jenis ini di rumah batik warisan kakeknya. Singkat cerita, pada akhirnya ‘Batik Indonesia’ diterima oleh Bung Karno yang sang penggagas.
Dari arsip yang diperoleh Rustopo, Bung Karno tidak sekadar menerima ‘Batik Indonesia’, tetapi juga melegitimasi dan memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia. Batik dengan semangat dan karakter baru ini sejatinya meupakan perkawinan batik klasik keraton, Surakarta dan Yogyakarta, dan batik pesisiran, terutama Pekalongan.
Menariknya, bentuk harmoni ini memadukan pewarnaan sogan pada batik klasik dan pewarnaan pusparagam warna batik pesisir. Selain soal warna, batik gaya ini juga memasukkan unsur corak-corak gaya Cirebon dan Bali, yang menghasilkan perpaduan corak adiwastra baru.
“Batik Indonesia yang saya lahirkan dengan prakarsa Bung Karno [sesungguhnya] hanya sampai [pada] suatu perubahan kemajuan teknik pembatikan,” ujar Tik Swan dalam sebuah ceramah pada akhir 1990-an. “Kalau dahulu dunia pembatikan Solo hanya kenal latar hitam, latar putih dengan sogan, dan pantai utara, seperti Pekalongan, hanya kenal kelengan berwarna, batas-batas itu dengan lahirnya ‘Batik Indonesia’ menjadi hapus.”
Baca Juga: Blanko Merah yang Menautkan Kisah Batik Tiga Negeri Di Pulau Jawa
Kendati menemukan bentuknya dalam adiwastra baru, menurut Tik Swan, nilai-nilai falsafah pola-pola batik masih tetap dipertahankan.
“Saya tidak menyatakan bahwa batik kita harus tetap seperti yang kuno,” ungkap Tik Swan. Saya tidak anti perubahan dan kemajuan. Saya hanya mengajak untuk mencari keseimbangan; suatu titik temu yang harmonisdalam proporsi seni dan tekniknya.” Baginya, memahami corak lama dan mencipta yang baru bukan sekadar perkara tekniknya, tetapi juga sampai pada penghayatannya. “Ini tidak bisa dilakukan tanpa menciptakan lingkungan hidup berkebudayaan.”
Rustopo, sang penulis Autobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, mengungkapkan dalam bagian penutup bukunya. Menurut hematnya, sang budayawan legenda ini “berperan sekaligus sebagai pelestari dan pembaharu kebudayaan Jawa,” demikian tulisnya.
Pada bagian akhir dalam bukunya dia menambahkan, “Citra kejawaan Go Tik Swan, baik melalui karya-karyanya maupun perilaku dalam hubungan masyarakat sehari-hari, tidak perlu disangsikan. Ia memang sudah menjadi Jawa sejak lahir,” ungkap Rustopo. “Oleh karena itu sesungguhnya Go Tik Swan adalah seorang Jawa Sejati.”
Baca Juga: Nyah Kiok dan Tujuh Bidadari Lasem, Kisah Batik Tiga Negeri Pantura
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Jawa Sejati, Autobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro |
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR