Di luar dugaan, cara penyajian makanan pada upacara masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang: nasi berbentuk kerucut—kita menyebutnya tumpeng. Lauk pauknya berupa daging babi, kerbau, sapi, kijang, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan.
Kembali ke catatan sejarah yang berhasil dihimpun oleh Reid dalam bukunya. Dia mengisahkan Antonio Pigafetta (1491-1534), seorang asal Italia, yang menjadi awak penjelajah Portugis Ferdinand Magellan yang berlayar menuju Hindia. Ketika sampai di Kepulauan Rempah, Pigafetta berkunjung untuk berjumpa Sultan Tidore.
Dalam catatan perjalanannya, dia menulis bahwa Sultan meminta rombongan penjelajah itu untuk menunjukkan cintanya kepada Sultan. Caranya, “membunuh semua babi yang kami bawa dalam kapal, dan sebagai gantinya ia akan memberi kami kambing serta ayam dalam jumlah yang sama,” tulis Pigafetta.
“Kami membunuh babi-babi itu demi menyenangkan hatinya, dan menggantungkannya di bawah dek,” tulisnya. “Kalau orang-orang itu kebetulan melihat babi, mereka menutup muka agar tidak melihat atau mencium baunya.”
Baca Juga: Kartografi Dunia Berutang Kepada Rempah Maluku
Reid mengatakan bahwa agama Islam dipandang lebih egaliter sehingga lebih efektif dalam menerapkan larangan-larangannya di Nusantara. Dan, isyarat paling menonjol sebagai simbol kepatuhan dalam Islam adalah berpantang untuk menyantap daging babi.
Namun demikian, Reid mengungkapkan bahwa larangan untuk menyantap daging babi, barangkali telah mengakibatkan berkurangnya konsumsi protein hewani pada kasus daerah tertentu.
“Telah dibuktikan di Borneo pada awal abad ke-20 bahwa orang Dayak Ngaju, yang menjadi penganut Islam, lebih sedikit makan daging dibandingkan dengan kaum aminisme sepupunya, meskipun umumnya mereka lebih kaya.”
Bung Karno pernah menggagas proyek buku menu bersantap khas Indonesia. Dia memerintahkan pamong praja sampai ahli gizi untuk menyatukan selera penjuru Indonesia. Hasilnya, lebih dari 1.600 resep kuliner khas Nusantara.
Baca Juga: Mengenal Babi Berjanggut di Riau yang Kini Berstatus Terancam Punah
Kumpulan resep itu bertajuk Buku Masakan Indonesia Mustikarasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, disusun oleh Departemen Pertanian. Kendati pembicaraan proyek ini berawal pada akhir 1950, wajah buku legendaris itu baru terbit dengan judul Mustikarasa, Buku Masakan Indonesia pada 1967. Boleh dikata, buku ini nyaris tidak pernah terbit karena berada di tahun terakhir kepemimpinan Bung Karno—tahun-tahun penuh bahaya.
Hampir setengah abad kemudian, buku yang telah dilupakan dan ditinggalkan Indonesia ini kembali diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2016. Wajahnya nyaris tidak berubah, bahkan menggunakan grafis seperti buku aslinya. Judulnya sedikit ditambah untuk memikat pembaca zaman kiwari, Mustikarasa, Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR