Nationalgeographic.co.id—Dalam riwayat menu bersantap di Asia Tenggara dan kepulauannya, pasokan menu hewani berasal paling banyak dari daging ayam, sapi, ikan, kerbau, dan babi. Karena persebaran banteng terbatas—Jawa, Bali, Borneo, dan Indocina—tradisi perburuan banteng liar hanya di lingkup kawasan tertentu.
Bagaimana dengan perburuan babi? Setidaknya babi telah diburu manusia sejak lebih dari empat puluh ribu tahun silam di Asia Tenggara.
Awal Januari tahun ini, para peneliti arkeologi berhasil mengungkap usia gambar cadas figuratif tertua sedunia. Temuan itu berlokasi di Leang Tedongnge di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Gambar cadas itu berupa lukisan babi kutil (Javan warty pig) figuratif yang berusia 45.500 tahun, yang dilukis dengan oker merah mengunakan jari tangan dan perkakas tambahan.
Di dekat lukisan babi itu juga terdapat dua hingga tiga sosok babi serupa yang samar akibat pengelupasan dinding gua. Ketiga sosok babi tersebut diduga posisinya saling berhadapan.
Gambar babi kutil yang dilukiskan manusia prasejarah menjadi bukti bahwa hewan tersebut menjadi buruan mereka. Terlebih gambar serupa sangat umum ditemukan di situs-situs lainnya di Maros.
Maxime Aubert, peneliti dari Griffith Center for Social Science and Cultural Research, mengungkapkan bahwa babi merupakan satwa yang tersering muncul pada gambar cadas zaman es di Sulawesi. Kemungkinan satwa ini memiliki nilai penting baik sebagai makanan maupun sebagai ide kreatif dan ekspresi seni, demikian ungkapnya.
Sejatinya tidak ada yang benar-benar baru dari sebuah peradaban, tak terkecuali soal santapan. Anthony Reid, Guru Besar Emiritus Bidang Sejarah di Australian National University, mengungkapkan bahwa babi telah ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara selama ribuan tahun silam. Dia menambahkan bahwa semenjak 3000 tahun silam babi telah diternakkan di kawasan ini.
“Babi, pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging,” ungkap Reid, “merupakan sumber utama daging di daerah-daerah di mana Islam belum masuk.” Dia mengungkapkan dalam bukunya yang bertajuk Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin.
Baca Juga: Lukisan Cadas 45.500 Tahun Asal Sulawesi Jadi Temuan Tertua di Dunia
Menurut himpunan penelitian sejarah Reid, orang-orang Eropa melihat babi di Asia Tenggara lebih sehat ketimbang babi Eropa. Berdasarkan pemaparan Ma Huan, seorang penerjemah dalam armada Cheng Ho pada 1433, Reid menemukan fakta bahwa “orang Islam yang mendorong peternakan kambing sebagai pengganti babi,” ungkapnya, “meskipun kambing sudah ada sebelum Islam hingga sejauh Sulawesi, tapi belum sampai Filipina.”
Lien Dwiari Ratnawati, ahli arkeologi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, meneliti menu bersantap pada zaman Majapahit, yang bertakhta di Jawa Timur sekitar abad ke-13 sampai abad ke-14.
Pada 1365, Prapanca dalam kakawin Desawarnana atau yang telanjur sohor sebagai Nagarakertagama, mencatat sederet menu bersantap dari daging yang dihidangkan di istana Majapahit. Babi liar menjadi salah satu menunya, selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek.
Sebagai seorang ahli arkeologi, Lien tidak berhenti pada naskah. Dia turun dalam penelitian lapangan untuk menyingkap menu bersantap zaman Majapahit. Dia mengumpulkan informasi yang dijumpainya dari sisa tulang, peralatan makan, relief candi, dan prasasti semasa soal peresmian daerah perdikan.
Baca Juga: Legenda Hercules Menangkap Babi Erymanthian yang Meyusahkan Warga
Di luar dugaan, cara penyajian makanan pada upacara masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang: nasi berbentuk kerucut—kita menyebutnya tumpeng. Lauk pauknya berupa daging babi, kerbau, sapi, kijang, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan.
Kembali ke catatan sejarah yang berhasil dihimpun oleh Reid dalam bukunya. Dia mengisahkan Antonio Pigafetta (1491-1534), seorang asal Italia, yang menjadi awak penjelajah Portugis Ferdinand Magellan yang berlayar menuju Hindia. Ketika sampai di Kepulauan Rempah, Pigafetta berkunjung untuk berjumpa Sultan Tidore.
Dalam catatan perjalanannya, dia menulis bahwa Sultan meminta rombongan penjelajah itu untuk menunjukkan cintanya kepada Sultan. Caranya, “membunuh semua babi yang kami bawa dalam kapal, dan sebagai gantinya ia akan memberi kami kambing serta ayam dalam jumlah yang sama,” tulis Pigafetta.
“Kami membunuh babi-babi itu demi menyenangkan hatinya, dan menggantungkannya di bawah dek,” tulisnya. “Kalau orang-orang itu kebetulan melihat babi, mereka menutup muka agar tidak melihat atau mencium baunya.”
Baca Juga: Kartografi Dunia Berutang Kepada Rempah Maluku
Reid mengatakan bahwa agama Islam dipandang lebih egaliter sehingga lebih efektif dalam menerapkan larangan-larangannya di Nusantara. Dan, isyarat paling menonjol sebagai simbol kepatuhan dalam Islam adalah berpantang untuk menyantap daging babi.
Namun demikian, Reid mengungkapkan bahwa larangan untuk menyantap daging babi, barangkali telah mengakibatkan berkurangnya konsumsi protein hewani pada kasus daerah tertentu.
“Telah dibuktikan di Borneo pada awal abad ke-20 bahwa orang Dayak Ngaju, yang menjadi penganut Islam, lebih sedikit makan daging dibandingkan dengan kaum aminisme sepupunya, meskipun umumnya mereka lebih kaya.”
Bung Karno pernah menggagas proyek buku menu bersantap khas Indonesia. Dia memerintahkan pamong praja sampai ahli gizi untuk menyatukan selera penjuru Indonesia. Hasilnya, lebih dari 1.600 resep kuliner khas Nusantara.
Baca Juga: Mengenal Babi Berjanggut di Riau yang Kini Berstatus Terancam Punah
Kumpulan resep itu bertajuk Buku Masakan Indonesia Mustikarasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, disusun oleh Departemen Pertanian. Kendati pembicaraan proyek ini berawal pada akhir 1950, wajah buku legendaris itu baru terbit dengan judul Mustikarasa, Buku Masakan Indonesia pada 1967. Boleh dikata, buku ini nyaris tidak pernah terbit karena berada di tahun terakhir kepemimpinan Bung Karno—tahun-tahun penuh bahaya.
Hampir setengah abad kemudian, buku yang telah dilupakan dan ditinggalkan Indonesia ini kembali diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2016. Wajahnya nyaris tidak berubah, bahkan menggunakan grafis seperti buku aslinya. Judulnya sedikit ditambah untuk memikat pembaca zaman kiwari, Mustikarasa, Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno.
Buku ini muncul sebagai tengara zaman yang mendefinisikan kembali nasionalisme kita di meja makan. Sukarno mencoba merumuskan apa itu masakan Indonesia, kendati unsur-unsur budayanya tak bisa dilepaskan dari kebinekaan selera Nusantara—Arab, India, dan Cina.
Bung Karno tampaknya begitu memahami konsep Indonesia yang berbineka—budaya dan geografi. Kumpulan resep yang mencapai lebih dari 1.600 resep itu dikumpulkan dari kebiasaan menu bersantap penjuru Tanah Air. Hasilnya, sebuah buku resep yang mencoba mewakili semua unsur budaya. Pemikiran ini dilandasi semangat zaman pencarian jati diri kita sebagai suatu bangsa.
Mustikarasa merupakan pengejawantahan dari pemikiran Bung Karno dalam kebutuhan revolusi Indonesia. JJ Rizal, sejarawan sekaligus Pendiri dan Direktur Penerbit Komunitas Bambu, mengungkapkan dalam pengantar penerbitan buku Mustikarasa edisi 2016 . "Ini adalalah manifestasi dari apa yang pernah ia katakan bahwa kepada orang yang lapar tidak bisa diberikan kepadanya pemikiran revolusi," tulisnya.
Dia juga mengungkapkan buku ini menjadi konsep tentang politik pangan nasional. Menurutnya, Bung Karno memahami ancaman krisis pangan di Indonesia, yang merupakan "ancaman terbesar bukan hanya kekuasaannya tetapi juga masa depan Indonesia," tulis Rizal.
Baca Juga: Di Balik Foto Langka Lawatan Pertama Soekarno ke Amerika Serikat 1956
Kaitan buku ini dengan Sukarno sebagai arsitek bangsa, dia mengungkapkan bahwa sebagai 'Penyambung Lidah Rakyat', sejak muda Sukarno telah lantang bicara "kemerdekaan dimulai dari lidah". Makna di balik pernyataan itu adalah "apa yang dicecap lidah bangsa Indonesia menurutnya harus menunjukkan semangat kemerdekaan, selfreliance," ungkapnya.
Ada salah satu menu yang digandrungi Bung Karno, setidaknya semenjak dia masih mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng. Dia kerap mengajak kawannya makan sate untuk mengakhiri ketegangan diskusi. Barangkali mereka memesan ke penjual sate pikulan yang biasanya menjajakan sate ayam di Bandung.
Nah, perkara menu sate saja, Mustikarasa menyajikan 23 menu sate yang menghasut selera kita.
Sederet menu sate dalam buku warisan Bung Karno itu: Sate ayam, sate ayam rendang, sate asam manis, sate bandeng khas Tegal, sate bumbu dendeng, sate gapit, sate gurih, sate kerang, sate lidah, sate manis, sate manis tempe, sate madura, sate mangut khas Banten, sate padang khas Sumatra Barat, sate prentul, sate cirebon, sate udang khas Jawa Timur, sate udang manado, sate usus. Dan, Bali telah menyumbang menu sate terbanyak dibanding provinsi lain: sate lilit, sate pusut, sate penyu, dan sate babi.
Bung Karno memasukkan 23 menu berbahan dasar babi dalam resep warisannya. Tampilnya sekerat menu babi dalam Mustikarasa menunjukkan pusparagam resep leluhur kita demi memenuhi asupan protein hewani di bentang geografis Nusantara. Pada kenyataannya, sejarah dan tradisi menu daging babi muncul di hampir setiap pulau-pulau besar di negeri ini.
Setiap resep Mustikarasa disajikan dengan memberikan paparan singkat tentang takaran daging babi yang dibutuhkan—seberapa berat dan berlemak—bumbu atau bumbu alternatifnya, serta cara membuatnya.
Berikut ke-23 resep masakan babi: Babi ketjap, babi tjien, bakut masak sajur asin, be genjol (Bali), daging babi masak tomat (Kalimantan), guling (Bali), ine avau' au (Papua), krupuk babi, lawar merah (Bali), lawar putih (lawar), namalum malum (Batak), nihasumba (batak), pangsit, piong duku bai (Toraja), sangsang (Batak), sate babi (Bali), sate pusut, sumpiah, ritja rodoh (Manado), timbungan (Bali), tjah hati babi, tjap tjai tjah, dan tollo pamarasan (Toraja).
Apabila dibandingkan dengan buku-buku resep menu masakan zaman sekarang, sangat sedikit atau nyaris tidak ada buku menu babi yang beredar di masyarakat pada hari ini. Padahal gerai-gerai rumah makan yang menjajakan masakan menu ini sampai sekarang masih memiliki pemujanya.
Baca Juga: Kelakar Bung Karno dan Ziarah Go Tik Swan Demi ‘Batik Indonesia’
Ary Budiyanto, ahli antropologi di Universitas Brawijaya Malang, mengatakan bahwa Mustikarasa disusun ketika Indonesia memimpikan menjadi bangsa bersama yang besar.
Saat penyusunan Mustikarasa, "nasionalisme masih menjadi zeitgeist—semangat zaman," ujarnya kepada National Geographic Indonesia. "Mustikarasa ini pun sebenarnya masih lanjutan dari buku-buku resep masa kolonial yang sangat kosmopolit, multikultur, multibangsa." Kendati pada zaman revolusi menu-menu Eropa mulai dikurangi kemenonjolannya, buku ini masih menyisipkan resep-resep Eropa.
Perihal menu babi dalam Mustikarasa, Ary mengatakan, menu itu masih lazim tampil dalam khazanah kuliner Indonesia pada 1950-an. Situasi sosial dan budaya yang kosmopolit turut mendukung keberadaan menu itu di bentang penerbitan publik. Semangat zaman inilah yang turut dipelopori tokoh semasa, seperti Kasman Singodimedjo, yang menyatukan Indonesia sekaligus membuktikan kepeloporan umat Islam dalam mempersatukan bangsa ketika Republik ini lahir.
Ary menambahkan gambaran sejak kapan sejatinya menu babi mulai menghilang dalam penerbitan buku resep. "Buku-buku resep pun sampai tahun 1970-an [sampai] 1980-an masih cukup biasa yang mencampur resep Cina dan Indonesia, di mana ada resep masakan babi seperti zaman Mustikarasa."
"Buku-buku resep akhir 1980-an menuju 1990-an mulai tersegmentasi jelas," ujarnya. "Resep Tionghoa atau yang bau babi mulai diterbitkan lepas, dan resep babi mulai dikeluarkan dari menu-menu nasional."
Sejatinya, hilangnya menu babi dalam buku-buku resep masakan bukan perkara baru kata Ary. Penulis resep berlatar Islam telah memulainya, seperti Siti Asidah menerbitkan buku resep masakan bertajuk Kitab Deradjat Istri: Ilmoe Peladjaran Bikin Koewé-Koewé dan Masakan-Masakan, yang diterbitkan Tan Khoen Swie di Kediri pada 1935. Juga, Boekoe Masak-Masakan karya Chailan Sjamsu yang terbit pada 1948. Keduanya meniadakan menu babi pada buku mereka.
Baca Juga: Toko Djoen: Mencecapi Rasa Khas Roti Lawas di Ketandan Yogyakarta
Namun, Ary melihat mulai muncul perkara baru pada zaman sekarang. Tidak banyak buku resep tradisi masakan khas daerah-daerah yang mayoritas warganya bukan Muslim atau mereka yang menjadikan babi sebagai pemenuhan protein hewani—seperti Batak, Manado, dan Papua. Tentu, perkara ini berhubungan juga dengan pasar buku di Jawa dan Sumatra yang mayoritas warganya adalah Muslim.
Sejak permulaan dakwah Islam pada abad-abad kuno di Nusantara, pantangan makan babi sudah menjadi bagian syarat kepatuhan sebagai Muslim yang kafah, ujarnya. Rasa jijik pada babi yang haram—bahkan rasa jijik pada anjing yang najis—tampaknya sudah lama dipupuk dalam dakwah. Akhirnya, secara psikologis rasa jijik itu sudah menjadi bagian narasi mayoritas. Meskipun, menurut Ary, Islam sejatinya hanya memberikan larangan untuk menjadikannya santapan, bukan membenci dan merundung satwa kaki pendek ini.
Baca Juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika
Konstruksi berpikir semacam ini tampaknya memberi petunjuk kepada kita tentang persepsi masyarakat terhadap babi. Mengapa belakangan ini percakapan tentang babi dan menu daging babi seolah menjadi perundungan dan percakapan tak berkesudahan di media sosial? Boleh jadi, masyarakat telanjur meyakini pada narasi babi sebagai satwa menjijikkan, durjana, dan pembawa bencana.
Mustikarasa boleh jadi buku terlengkap dan terakhir yang menautkan rasa dalam budaya kosmopolitan kita. Adikarya ini membangun narasi selera ke-Indonesia-an, yang dihimpun dari cerita kebinekaan geografi dan budayanya. Kita bisa mengibaratkan konstruksi budaya menjadi wadahnya, sementara kosmopolitanisme merupakan bagian isinya.
Apakah pada hari ini jiwa-jiwa kosmopolitan itu telah meluntur? Ary mengakhiri perbincangan dengan berkata, "Ketika wadah berubah, isi pun turut berubah."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR