Itulah sekilas pengantar yang dibawakan oleh Dr. Susanto, M.Hum., Kaprodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret dalam sebuah webinar bertajuk “Dedikasi Hidup Gusti Noeroel: Permata Mangkunagaran.”
Webinar tersebut diselenggarakan oleh Generasi Muda (Garda) Mangkunagaran pada Minggu, 23 Mei 2021. Sesuai namanya, webinar tersebut membawakan materi mengenai kehidupan dan perjuangan dari perempuan ningrat itu.
Susanto kemudian melanjutkan, perempuan itu dibesarkan di tengah revolusi sosial dan pergerakan nasional. Kala itu pemerintah kolonial Belanda sedang menjalankan politik etis, yang membuka kesempatan bagi para bangsawan pribumi untuk mendapat pendidikan layaknya seorang Belanda.
Dengan kesempatan tersebut, keluarganya menyekolahkan Gusti Noeroel di sekolah Belanda. Ia memulai pendidikannya dari Frobelschool (setara Taman Kanak-kanak) Pamardi Siwi dan Sekolah Pamardi Putri. Keluarganya memberikannya pendidikan di luar tembok keraton supaya ia terbiasa bergaul dengan orang-orang biasa.
Baca Juga: Dari Stasiun Solo Balapan Sampai Istana, Menapaki Wangsa Mangkunegaran
Dari sanalah, ia mulai mengenyam pendidikan di sekolah yang menggunakan bahasa Belanda. Mulai dari Europeesche Lagere School, MULO, hingga ke Van Deventer School yang setara AMS pada saat itu. Di sekolah-sekolah tersebut, Gusti Noeroel mulai diperkenalkan pada kehidupan dan tradisi modern yang berkiblat ke Barat. Pergaulannya dengan guru-guru Eropa juga membentuk karakter dari sosoknya.
Gusti Noeroel tidak hanya menikmati pendidikan Belanda. Dengan dukungan keluarga, dia banyak mencicipi sejumlah budaya Barat seperti memacu kuda, tenis, hingga renang.
Meskipun ia mendapat pendidikan Belanda, Mangkunegara VII dan GKR Timur tetap mendidik putri mereka dengan nilai-nilai tradisi Jawa. Di usianya yang ketujuh bulan, Gusti Noeroel mengikuti tradisi tedak siten, sebuah upacara turun tanah yang memperkenalkan Kanjeng Gusti kepada lingkungan sekitarnya.
Kerajaan juga membiasakan sang putri dengan makanan, pakaian, dan tata krama, serta mengajarkan berbagai tarian Jawa kepadanya. Oleh Susanto, perempuan itu digambarkan sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya. Kelak pula nilai tradisi ini menumbuhkan identitas Gusti Noeroel yang erat dengan nilai tradisional di tengah modernisasi Belanda.
Megathrust Bisa Meledak Kapan Saja, Tas Ini Bisa Jadi Penentu Hidup dan Mati Anda
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR