Ketika dia mengambil kesempatan untuk kabur dari rumah, si suami mengejarnya dan menariknya keluar dari taksi. Dia berhasil sampai ke tempat temannya setelah ada pasangan di jalan berhenti untuk membantunya.
Sang suami melecehkannya dan mengancam akan menyakiti keluarganya dan membuat keributan di perusahaannya. “Teman saya bertanya mengapa saya tidak meninggalkannya, dan saya tidak punya apa-apa untuk dikatakan,” katanya.
“Bukannya aku tidak ingin meninggalkannya, tapi dia seperti permen karet. Bahkan setelah Anda merobeknya, masih ada sisa-sisanya.”
Faktor kedua tingginya KDRT di Tiongkok adalah kesenjangan hukum. Pihak berwenang telah mengambil langkah-langkah dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, tetapi para aktivis mengatakan kesenjangan hukum terkait itu masih ada.
Baca Juga: Cerita Kejam Keluarga Kanibal dan Inses Sawney Bean Berjumlah 48 Orang
Sekitar 157.000 wanita di Tiongkok melakukan bunuh diri per tahun. Dan dalam sebuah studi tahun 2016 oleh All-China Women's Federation, 60 persen dari kasus tersebut terkait dengan kekerasan dalam keluarga.
Tahun itu, pemerintah memperkenalkan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga yang memungkinkan para korban mendapatkan perintah perlindungan terhadap pelaku kekerasan mereka. Media pemerintah melaporkan bahwa pengaduan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang disampaikan kepada federasi perempuan menurun sebesar 8,4 persen pada 2019 dibandingkan 2018. Tetapi para pengamat mengatakan ini bukan gambaran lengkapnya.
“Bila terjadi kerugian yang sangat berat, hakim tetap mempertimbangkan konflik keluarga sebagai faktor yang meringankan untuk hukuman yang lebih ringan,” kata Ma, yang merasa bahwa hukum tidak berjalan cukup jauh.
Source | : | Channel News Asia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR