Nationalgeographic.co.id—Festival Peh Cun atau perahu dayung dilakukan setiap hari kelima di bulan kelima dalam penanggalan Imlek. Tak hanya tentang perahu dayung yang melintas di sungai, ada kisah teladan dibaliknya.
Umumnya, Peh Cun lebih dikenal pada kisah Qu Yuan, seorang penyair dari abad ke-3 SM dari kerajaan Chu. Dia hidup di masa Tiongkok terpecah-pecah dan saling berperang. Atas gagasan politik di masanya, Qu Yuan yang merupakan pejabat, dibuang.
Dia membawa beban kesedihan atas masa depan negerinya dalam pembuangan, hingga akhirnya bunuh diri dengan melompat ke sungai.
Baca Juga: Selamat Ko Ciat dan Berenanglah untuk Melepas Sial
Menurut Ardian Cangianto, budayawan Tionghoa, ada banyak kisah melatarbelakangi Peh Cun. Hal itu dia paparkan dalam webinar Mengenal Dekat Festival Pehcun dan Demo Virtual Pembuatan Bak Cang Bangka, Minggu (13/05/2021).
Sebelum membahas lebih lanjut kisah-kisah lainnya, ia memaparkan bahwa kebudayaan memiliki empat pilar yang terkadung dalam Pehcun. Hal ini menjadi filosofi tradisi Tionghoa yang bisa dipetik dari asal-usulnya.
Empat pilar itu adalah ekonomi, sosial, politik, dan ideasional. Pilar-pilar ini bagaimana masyarakat Tionghoa harus memahami pemberdayaan hasil pengolahan produk pertanian, bagaimana masyarakat harus membentuk keeratan, membentuk tatanan sistem yang adil, dan gagasan patriotik yang terkandung dalam asal-usulnya.
Baca Juga: Mengenal Tionghoa Padang dan Proses Asimilasinya di Sumatra Barat
Selain Qu Yuan, ada kisah tentang Wu Zixu dari Chu yang masih sezaman dengannya. Wu Zixu memiliki dendam dengan tindakan raja Chu Pingwang yang membunuh orangtuanya.
Atas amarahnya itu, ia berpindah pihak dan mengabdi setia pada kerajaan Wu yang merupakan rival negeri kelahirannya. Ia membawa tujuan agar Chu bisa hancur dan menuntaskan dendamnya.
Chu berhasil takluk, tetapi dendam Wu Zixu belum terbayarkan. Ia pun membongkar makam Chu Pingwang dan memukuli jenazahnya sebanyak 300 kali.
"Itu adalah keji dalam tradisi Tionghoa. Atas tindakan dia ini, berkuranglah simpati orang-orang Wu," papar Ardian.
Lebih tragisnya, paparnya, Wu Zixu yang loyal dikhianati oleh raja baru bernama Fuchai. Ketika kerajaan Wu berhasil mengalahkan kerajaan Yue, rajanya yang bernama Guojian masih hidup.
Bukannya menerima nasehat Wu Zixu untuk dihabisi karena menjadi ancaman kerajaan, Fuchai justru memberi pengampunan Goujian sebagai tahanan. Saran membiarkan hidup ini karena Fuchai lebih mendengarkan Bo Pi, menterinya yang menerima sogokan dari Yue.
Wu Zixu berkali-kali mencoba menghabisi Guojian, tetapi gagal--bahkan membuat tahanan itu dibebaskan. Raja Fuchai makin membenci Wu Zixu setelah terhasut mata-mata kerajaan Yue.
Raja Fuchai menghendaki kematiannya. Wu Zixu bersumpah bahwa Yue akan menaklukan kerajaan ini dan berpesan, "Setelah aku mati cungkil mataku dan gantungkan tinggi-tinggi di atas gerbang timur agar dapat melihat pasukan Yue memasuki ibu kota Wu dengan mataku sendiri".
Setelah bunuh diri karena diperintahkan, jenazahnya dibuang ke sungai. Prediksi Wu Zixu pun benar terkait jatuhnya Wu atas Yue. masyaakat sekitar pun mengangkat dirinya sebagai salah satu dewa.
"Inilah yang pertama kali mengaitkan tradisi ini untuk Peh Cun. Sehingga tradisi menimba dewa sungai atau naga mengacu pada Wu Zixu ini," jelas Ardian.
Baca Juga: Ko Ngian: Imlek di Bangka, Harapan Baru Buang Debu-Debu yang Kotor
Kisah lainnya beranjak juga terjadi pada Cao E, putri dari seorang pendeta bernama Cao Xu zaman Dinasti Han. Saat ia berusia 13 tahun, ayahnya sedang melakukan ritual pada Wu Zixu dan menjatuhkan diri ke Sungai Shun.
Sang ayah tak pernah muncul selama 17 hari. Pada tanggal 5 bulan ke-5, Cao E pun turut menenggelamkan dirinya di sungai itu. Hingga akhirnya penduduk setempat menemukan jenazahnya sedang memeluk mayat ayahnya.
Sebagai simbol baktinya pun, Sungai Shun diubah namanya menjadi Sungai Cao E. Bahkan pada 151 kuil didirikan untuk mengenangnya oleh Du Shang, papar Ardian. Kuil ini pun terkenal karena melibatkan Cao Cao dan penasehatnya.
Cao E pun digelari sebagai dewi anak yang berbakti, dengan gelar lain sebagai dewi sungai.
Baca Juga: Perayaan Imlek Identik dengan Angpau, Apa Filosofi di Baliknya?
Terakhir, Ardian menyebut sebuah kisah yang melatarbelakangi Peh Cun adalah Qiu Jin. Qiu Jin (1875-1907) sama seperti Qu Yuan, sama-sama penyair yang rela mati demi melawan tirani.
"Dia memiliki kemampuan seni bela diri yang hebat dan digelari pendekar wanita untuk mleawan tirani, dan dia gugur ditangkap dan dibunuh oleh dinasti Qin saat memulai revolusi Tiongkok," kata Ardian.
Qiu Jin memang kini dikenal sebagai aktivis revolusi Tiongkok. Tetapi bagi masyarakat asalnya, ia dianggap teladan untuk bisa dikatikan dengan Peh Cun.
Dia juga satu kampung halaman dengan Cao E di Shao Xing, Provinsi Zhe Jiang, yang membuat masyarakat mencocokkan kedua tokoh itu pada Peh Cun.
"Dalam hal ini adalah suatu bentuk membangun role model ataupun suatu tokoh yang bisa kita ikuti semangatnya, dan itulah yang berkembang," jelas Ardian. "Peh Cun dikaitkan oleh beberapa tokoh karena diharapkan bisa menjadi suri tauladan."
Baca Juga: Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR