Menurut Carey, penyebab mengapa ada kalangan lokal, khususnya dari Minahasa, bersedia membantu pemerintah kolonial lantaran perjanjian yang memikat mereka. Awalnya Minahasa tak sendiri tak sudi untuk membantu. Pasca Perang Tondano, sejumlah penguasa Minahasa bersedia memberikan pasukan sebagai jasa yang menguntungkan.
Hampir sepuluh persen dari keseluruhan 15.000 hulptroepen yang dikerahkan Belanda pada masa akhir Perang Jawa (1829-1830), menurut Carey, adalah berasal dari Minahasa. Hulptroepen, dikenal dengan kemampuan yang luar biasa di situasi genting dan sulit. Bahkan, dianggap memiliki keunggulan dari tentara kolonial sendiri sebagai pasukan gerak cepat.
Bahkan ungkapan ini tertuang oleh Errembault, salah satu komandan kolonial yang dikutip oleh Carey: "Bagi saya sendiri, saya lebih suka memimpin prajurit pribumi daripada prajurit Eropa; Saya tidak banyak menghadapi [prajurit] yang sakit-sakitan, dan kalau mereka dipimpin dengan baik, mereka bertarung sehebat [orang Eropa]."
Carey juga mengutip pendapat Paku Alam I terkait hulptroepen, "Sewaktu pasukan dari Sumenep saja sampai didatangkan ke Jawa, barulah kita sadar bahwa pemberontakan Pangeran Dipanagara adalah suatu hal yang penting."
Baca Juga: Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa
Hulptroepen sebagai pasukan gerak cepat dan intel kolonial, terlibat dalam pertempuran besar terakhir di Siluk, sebelah barat Yogyakarta pada 17 September 1829. Pertempuran ini membuat Dipanagara kalah telak.
Giat mereka berlanjut hingga ke Sengir, Kecamatan Kokap, Kulon Progo. Hulptroepen menyergap dan memenggal kepala komandan senior pasukan Dipanagara, Pangeran Ngabehi (Joyokusumo I) bersama kedua anaknya, Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo pada 21 September.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR