Nationalgeographic.co.id—Dunia seni tidak lepas dari disrupsi yang disebabkan oleh pagebluk Covid-19. Sejumlah acara pertunjukan harus dibatalkan atau ditunda, belum lagi dengan terhambatnya pertemuan dan pertukaran pikiran antara para pegiat seni.
Akibatnya, banyak acara seni yang dipentaskan secara virtual. Setiap karya seni apapun berusaha unjuk gigi di melalui fasilitas internet. Lantas, bagaimana pegiat dan akademisi seni merespons keadaan ini?
Topik inilah yang dibawakan oleh Seminar Dies Natalis ke-37 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang bertajuk Seni dan Kehidupan Normal Baru. "Webinar ini merupakan respons kondisi kontekstual dari dunia seni dan dunia pendidikan tinggi seni pada masa [pagebluk] Covid-19," ungkap Rektor ISI Yogyakarta Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum. dalam pembukaan webinar ini.
Selain itu, webinar ini juga ditujukan untuk mencari cara terbaik bagi dunia seni untuk menghadapi perubahan masyarakat akibat pagebluk. "Saat ini kita mengalami pandemi yang luar biasa, untuk itu kita perlu membuat satu gerakan yang mampu mengantisipasi persoalan tersebut dan menjalani kehidupan normal baru," jelas Mikke Susanto, kurator seni dan pengajar di ISI Yogyakarta, yang sekaligus menjadi moderator webinar ini.
Bagi Martinus Miroto, penari dan pengajar di ISI Yogyakarta, pagebluk Covid-19 membawa perdebatan tentang penggunaan teknologi dalam pementasan seni. Dalam presentasinya, ia mencontohkan sebuah dilema di ranah seni tari yang ditekuninya.
"Di jurusan tari, penciptaan karya tari tugas akhir mahasiswa diarahkan dalam format tari virtual," kata Miroto. Dalam pengamatannya, tari virtual membutuhkan sinematografi dan transmisi menggunakan media komputer. Hal ini tentu berbeda dengan pertunjukan tari di panggung, yang menampilkan penari secara nyata dan berhadapan langsung dengan khalayak di tempat dan waktu yang sama.
"Sampai sekarang ini masih terjadi perdebatan akademis, apakah tari virtual merupakan seni tari atau film?" ungkapnya.
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
Oleh karenanya, ia melihat bahwa dunia seni sedang berada di persimpangan jalan. Mengutip teori perubahan dari psikolog Kurt Lewin, ia menjelaskan bahwa disrupsi ini membawa perubahan yang dibagi ke dalam tiga tahap, yakni unfreezing, changing, dan refreezing.
Baginya, disrupsi pagebluk berdampak pada mencairnya paradigma seni yang ada pada saat ini. Hal ini kemudian berdampak pada eksplorasi dan improvisasi di kalangan seni, termasuk "tari virtual".
Tahap kedua ini kemudian membawa pro dan kontra. Dalam konteks tari virtual, ia melihat bahwa akan ada kelompok yang pro dengan penggunaan teknologi, sementara ada pula kelompok konservatif yang mengkhawatirkan dampak perubahan ini. "[Perdebatan] ini menarik sekali karena memang setiap perubahan itu membawa ketidaknyamanan," tutur Miroto.
Baca Juga: Kisar, Pulau Terdepan di Indonesia yang Memiliki Kekayaan Gambar Cadas
Baginya, siapa yang paling kuat antara kelompok ini akan menentukan apakah dunia seni akan berubah atau kembali ke norma lama. Inilah yang kemudian dikenal dengan proses refreezing.
Terlepas dari persimpangan jalan ini, filsuf Tommy F. Awuy melihat bahwa perkembangan teknologi pada akhirnya tidak terelakkan. "Banyak mahasiswa dalam kuliah saya itu terus terang antiteknologi, tetapi ketika pandemi datang dan diharuskan mengikuti kuliah online, sikap itu mendadak luluh," tuturnya sambil terkekeh.
Tommy berpendapat, bahwa teknologi sepanjang sejarah manusia terus mengubah tatanan nilai dan mentalitas masyarakat. Ia berkaca pada penemuan teknologi seperti alfabet yang memicu literasi dan nalar manusia, dan memiliki implikasi jauh terhadap terciptanya filsafat di Yunani Kuno. Selain itu, ia juga menggunakan contoh mesin cetak yang berpengaruh kepada gerakan intelektual dan individualitas di Eropa, dan mesin uap yang memicu revolusi industri dan perkembangan telekomunikasi.
Baca Juga: Mengungkap Kisah di Balik Lukisan Modigliani Tentang Mantan Kekasihnya
"Dan yang paling dahsyat adalah [kehidupan] kita sekarang ini dipicu oleh tiga teknologi, yakni komputer, satelit, dan listrik," kata Tommy. Baginya, kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat lepas dari ketiga teknologi ini. Belum lagi dengan keberadaan internet dan media sosial yang secara tidak langsung tercipta dari teknologi ini.
"Di sinilah saya mengambil sebuah sikap, sekali teknologi muncul itu sulit sekali dibendung," lanjutnya. Oleh karenanya pula, ia berpendapat bahwa dunia seni harus mau tak mau merangkul teknologi dan beradaptasi, termasuk para akademisi seni.
"Kita harus mengubah kurikulum seni kita agar berorientasi pada teknologi. Kita sehari-hari ditentukan teknologi, dan lembaga seni akademik mana pun tidak bisa melalaikan atau menolak peranan teknologi ini," jelas Tommy.
Tak pelak, perkembangan zaman menuntut perkembangan manusia dan bidang yang ditekuninya. Seperti disimpulkan Mikke, para pegiat seni perlu menyadari bahwa seni sudah bisa dilaksanakan di berbagai tempat, sehingga tidak ada halangan untuk tumbuh dan berkreasi lebih lanjut lagi. "Jadi kalau memang kita berada di wilayah dunia digital ini, mau tidak mau kita juga harus mempersiapkan diri untuk mengenali teknologi secepat mungkin, dan mengembangkan kemampuan kita sendiri sesuai tujuan hidup kita di masa mendatang," tutup Mikke.
Baca Juga: Ketika Budaya Bertemu Teknologi: Penari Kolok di Bali Adakan Pagelaran Virtual
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR