Di Pelabuhan Acapulco, RV Pacific Storm tampak mencolok mata di antara sejumlah kapal yacht putih. Pacific Storm adalah sebuah kapal kerja bertubuh hitam yang di masa lalu hidup sebagai kapal pukat di Pantai Barat dan kini terlahir kembali sebagai kapal penelitian (research vessel). Kapal pukat sepanjang 26 meter berhaluan tinggi hitam dengan mimik yang serius tersebut adalah kapal yang cocok untukku. Jika diminta untuk memilih kendaraan, dari sekelompok kapal ini, untuk membawaku berkelana selama sebulan untuk berburu paus biru, aku takkan ragu sedikit pun. Ketika aku dan Flip Nicklin meniti tangga-tangganya dengan membawa perlengkapan dan lalu menyimpannya di kabin kami, aku merasakan kegembiraan yang nyaris liar.
!break!
Panggil aku Ishmael jika kau mau. Setiap kali kudapati mulutku mulai cemberut, setiap kali jiwaku terbenam dalam rinai hujan bulan November yang lembap, setiap kali kuhabiskan terlalu banyak deretan bulan waktuku pada papan ketik komputer di bawah siraman cahaya buatan, seperti penghuni gua, terpenjara sendiri, mengetik untuk mencari nafkah, kuputuskan bahwa itulah saatnya untuk secepat mungkin menuju ke laut. Kusambar penugasan di Pacific Storm. Karena perjalanan akan dimulai pada 3 Januari, kuucapkan tiga ikrar tahun baru. Aku akan berusaha menjadi teman berlayar yang menyenangkan. Aku akan memangkas semua kalimat bertele-tele dalam tulisanku. Aku akan menahan diri untuk tak sekali pun menyebut Herman Melville. Sudahkah kukatakan bahwa kami memburu paus putih?
Memang benar. Dalam populasi paus biru di timur Pasifik Utara—kawanan paus yang menghabiskan sebagian besar musim panasnya di lepas pantai California dan yang migrasinya ke selatan kami ikuti—terdapat satu paus biru yang putih. Mungkin seekor bulai, albino. Sebuah perahu karet dari Pacific Storm telah menancapkan pening satelit pada paus tersebut di lepas pantai Santa Barbara empat bulan sebelumnya. Namun, pening si jantan, nomor 4172, berhenti mengirimkan sinyal beberapa pekan setelah ditanam. Kini, keberadaan si jantan menjadi misteri. Satelit heliosinkron pengorbit kutub TIROS N tidak lagi dapat melacaknya, tetapi si bulai itu adalah salah satu paus yang diharapkan dapat kami lihat di lepas pantai Amerika Tengah.
Ketika kami sudah nyaman berada di Pacific Storm, Nicklin, menyiapkan Nikon D200 miliknya, memasang lensa kubah bawah air Sea & Sea sambil duduk bersila di ranjangnya. Dipencetnya sebuah tube kecil, mengeluarkan sedikit gemuk silikon ke ujung jarinya, lalu mengoleskannya di sekeliling tepi cincin-O berwarna biru pada kubah itu. Dibukanya bagian belakang kamera, lalu pada stern dilakukannya hal yang sama seperti yang tadi dilakukannya pada cincin-O. Nicklin adalah pemburu paus jenis baru. Tugasnya bukan mencairkan minyak dari lemak, tetapi menangkap hakikat dari cetacea dan Nikon adalah seruit favoritnya.
Pacific Storm mulai melaut. Kami melayari tahapan pengarungan dengan ke selatan untuk menghindari angin Tehuantepec di sepanjang lekukan Amerika Tengah yang mengarah ke timur. Lalu kami berbelok ke barat daya menuju anomali suhu yang menjadi tujuan kami.
Kubah Kosta Rika adalah perairan kaya hara, tempat air dingin dari kedalaman naik ke permukaan. Hal itu diakibatkan oleh pertemuan angin dan arus di sebelah barat Amerika Tengah. Lokasi Kubah Kosta Rika tidak tetap; berkelak-kelok sedikit, tetapi kubah tersebut biasanya ditemukan antara 500 kilometer hingga 800 kilometer lepas pantai. Pembalikan massa air membawa serta termoklin—lapisan batas antara air dingin di kedalaman dan air hangat di permukaan—naik hingga setinggi 10 meter dari tepi atas lapisan (from the top). Pembalikan dengan air dingin yang miskin oksigen dari kedalaman membawa nitrat, fosfat, silikat, dan hara lainnya. Ini Manna ini, atau anti-manna—karunia bukan dari surga, melainkan dari laut dalam—menciptakan oasis di segara. Hara yang naik ke permukaan di perairan kubah menyuburkan tumbuhan renik fitoplankton yang menjadi pakan satwa renik zooplankton. Zooplankton mengundang satwa yang lebih besar, beberapa di antaranya memang sangat besar.
Paus biru, Balaenoptera musculus, adalah makhluk hidup terbesar. Linnaeus mengambil nama genus tersebut dari kata Latin balaena yang berarti “paus” dan kata Yunani pteron yang berarti “sirip” atau “sayap.” Nama spesiesnya, musculus, adalah kependekan kata Latin mus yang berarti “tikus”—jelas ini canda á la Linnaeus. “Paus tikus kecil” dapat tumbuh hingga seberat 200 ton dan sepanjang 30 meter. Seekor paus mencit kecil dapat mencapai berat setara dengan seluruh anggota pasukan sepak bola. Seperti halnya gajah yang mungkin dapat memungut seekor tikus kecil dengan belalainya, seekor gajah mungkin dapat diangkat oleh seekor paus biru dan dibawa di atas lidahnya yang berukuran raksasa. Seandainya seseorang disuntikkan ke dalam pembuluh darah paus biru, alih-alih tertelan, dia akan dapat merenangi pembuluh darah arteri paus ini, terdorong setiap sekitar sepuluh detik sekali oleh denyut nadinya yang lambat.
Kecepatan renang paus biru yang amat laju, serta keterpencilan lokasi perkubuannya—tempat pertemuan tiga samudra Bumi di perairan sedingin es di seputar Antartika—melindungi sebagian besar spesies tersebut hingga awal abad ke-20. Dengan diciptakannya harpun ledak dan kapal penangkap tenaga uap yang cepat, kubu paus biru pun berhasil diterobos. Selama enam dasawarsa pertama abad ke-20, 360.000 ekor paus biru dibunuh. Populasi paus biru di seputar Pulau Georgia Selatan telah tersapu habis bersama paus-paus yang dahulu mencari makan di pesisir Jepang. Sejumlah populasi paus biru berkurang 99%, dan spesies tersebut pun berada di ujung jurang kepunahan.
!break!
Bagi Bruce Mate dan John Calambokidis, dua ketua ilmuwan di Pacific Storm, keadaan ironis itu begitu mencekam dan pedih. Paus biru yang mereka pelajari, yakni 2.000 satwa yang menghabiskan musim panas di lepas pantai barat Amerika Utara. Kelompok itu dulu hanya hanya kecil saja, tetapi kini anggota populasinya cukup berarti.
Mate, direktur Marine Mammal Institute di Oregon State University, adalah pemasang pening-satelit paus yang paling produktif dan paling berdaya cipta. Untuk pertama kalinya, paus-paus di kubah tersebut menarik perhatiannya pada 1995, ketika seekor paus biru yang dia pasangi pening di lepas pantai California pada musim panas mulai mengirimkan sinyal dari lepas pantai Kosta Rika pada musim dingin. Calambokidis, salah seorang pendiri Cascadia Research di Olympia, Washington, adalah pengidentifikasi paus melalui foto yang paling produktif di Pantai Barat. Calambokidis, ahli biologi berperawakan ramping dan tinggi, berjanggut seperti pelaut Quaker, yang berdedikasi seperti seorang maniak tunggal untuk membawa kembali gambar-gambar yang tengah dikajinya, terpukau oleh laporan dari satelit itu. Pada tahun 1999, dia melakukan survei awal perairan kubah dengan perahu layar. Pengarungan tersebut dikacau cuaca buruk dan perahu layar terlalu kecil untuk menjalankan misinya. Meski demikian di perairan kubah tersebut, Calambokidis berhasil mengenali sepuluh ekor paus lewat analisis foto yang dulu diambil di lepas pantai California.
Mengapa ada paus biru yang meninggalkan areal pencarian makannya di akhir musim panas dan bermigrasi ribuan kilometer untuk menghabiskan musim dingin di kawasan tropis tempat terjadinya pembalikan massa air ini? Mate dan Calambokidis mengira mereka tahu alasannya. Data satelit menunjukkan bahwa beberapa ekor paus berpening tetap berada di perairan kubah selama lima bulan atau lebih. Mamalia-mamalia laut itu tiba lebih awal di daerah migrasi selatan tersebut dan pergi belakangan—sebuah pola yang dalam spesies paus balin lainnya terlihat pada betina bunting dan induk baru. Namun, fenomena itu tak pernah teramati sebelumnya pada paus biru dengan alasan yang paling masuk akal, tidak seorang pun pernah menyaksikan kelahiran paus biru. Paus kelabu (Eschrichtius robustus), paus bongkok (Megaptera novaeangliae), dan paus sikat (Eubalaena)—spesies balin yang diteliti di kawasan tempat mereka beranak—tampaknya hanya makan sedikit saja, atau nyaris tidak makan sama sekali, di kawasan tersebut. Namun, ada bukti yang menunjukkan bahwa paus biru mungkin tidak begitu. Mengingat ukuran tubuh yang luar biasa besar dan kebutuhan akan energi yang begitu banyak, paus biru mungkin terpaksa mencari kawasan tempat menghabiskan musim dingin yang membuat satwa tersebut memperoleh lebih dari sekadar cemilan. Oasis Kubah Kosta Rika memenuhi syarat ini. Selain itu, produktivitas di kawasan pembalikan massa air tersebut dapat membantu induk-induk yang tengah menyusui mengubah kawanan udang kecil menjadi bergentong-gentong susu yang dibutuhkan anak paus agar tumbuh besar, 90 kilogram sehari.
Balaenoptera musculus mendapat perlindungan internasional pada pertengahan 1960-an, tetapi dengan alasan yang tidak sepenuhnya dipahami, populasi tidak pulih seperti yang diharapkan. Jika satwa terbesar itu diinginkan benar-benar pulih kembali, Mate dan Calambokidis yakin, demografi dan pergerakannya perlu harus dicatat. Populasi terbesar paus biru yang tersisa paling rentan di perairan tropis yang jadi tempatnya melahirkan anak sepanjang delapan meter dan seberat tiga ton yang ringkih.
Seraya mengikuti koridor migrasi paus biru ke selatan, secara bergantian kami berdiri di bridge (pusat komando kapal) untuk mengamati paus, mencari kalau-kalau tampak semburan di cakrawala. Menurut satelit, paus 5801 dan 23043 sudah tiba di kubah dan nomor 5670 sedang mendekatinya. Para ilmuwan terutama tertarik pada 23043 karena mereka mengetahui jenis kelaminnya, betina, dan karena paus itu tiba di kubah lebih dini, sebagaimana yang diharapkan dari calon induk. Paus biru yang berwarna putih, nomor 4172, seandainya bermigrasi ke kubah tahun ini, berada di luar sana dalam kawanan yang bergerak ke selatan. Bagaimanapun Pasifik adalah samudra yang amat luas dan kami tidak melihat satu pun semburan.
!break!
Sesekali, di siang maupun malam, kapal dihentikan, dan para peneliti membawa peralatan ke atas kapal: alat sensor CTD, alat penduga gema, dan sebuah hidrofon. Alat sensor CTD merekam konduktivitas (ukuran salinitas), temperatur, dan kedalaman. Alat penduga gema berfungsi mencari konsentrasi krill (udang kecil), santapan yang nyaris menopang seluruh kehidupan paus biru. “Kami melakukan pengamatan kontrol ke bawah,” begitu Mate menjelaskan. “jika tidak ada krill, akankah paus lewat? Jika konsentrasi krill berlimpah, akankah paus berhenti di sana? Kami mencari tinja. Kami akan berusaha menciduknya, meneliti apakah paus itu makan. Kami juga memeriksa napas mereka yang lebih busuk baunya jika mereka makan. Menurutku, napas paus biru tidak bau—sama sekali tidak bau jika dibandingkan dengan napas paus kelabu, yang sangat busuk baunya—tapi, bau napas paus biru bisa sangat menyengat.”
Hidrofon berfungsi mendeteksi suara paus biru. Nyanyian sederhana yang disuarakan paus biru jantan—entakan, suara denyut berdentam berat dan nyaring dari suara A yang diikuti nada sambung-menyambung suara B—adalah suara paling lantang di lautan, yang secara teori sanggup menyebar separuh jarak cekungan samudra. Namun, paus balin besar biasanya meluncur tanpa suara. Kecuali beberapa nyanyian singkat yang meragukan, kami tidak mendengar suara apa pun.
Ketika tiba di Kubah Kosta Rika, tiga hari selepas Acapulco, samudra tampak sama saja, hanya cakrawala biru dan alunan ombak. Dibutuhkan suara dari sensor CTD untuk mendeteksi termoklin yang terletak hanya 20 meter di bawah permukaan. Kami telah tiba. “Semburan di arah jam 11!” Calambokidis berseru keesokan paginya dari tiang melintang penopang layar, melalui portofon (walkie-talkie). Kami melihat dua semburan lagi berdampingan, menyembur cepat berturut-turut—paus biru kami yang pertama—dan kami pun meluncurkan perahu pening, memulai ritual berulang yang akan membuat kami sibuk selama tiga pekan ke depan.
Perahu itu adalah perahu ekstra milik Coast Guard (Penjaga Pantai), sepasang RHIB bertenaga diesel atau perahu karet dengan lambung kaku. Dengan tetap mempertahankan penamaan berdasarkan meteorologi, kami menamai perahu yang besar Hurricane, sementara yang kecil kami namai Squall. Biasanya aku berlayar dengan Hurricane dengan nakhodanya Bruce Mate. Rekan (mate) kedua yang juga nyonya Mate, adalah Mary Lou, juru kamera video ekspedisi dan sudah menjadi pendamping hidup si profesor selama 40 tahun. Aku sebagai juru biopsi. Tugasku yang pertama adalah menyiapkan busur-silangku, mengambil tabung biopsi dari kotak pendingin yang berfungsi sebagai kotak amunisi, memasangkannya ke busur, kemudian melepaskan selubung foil aluminium yang melindungi ujungnya agar tidak terkontaminasi oleh DNA dari luar. Tabung itu, pada saat ditembakkan ke tubuh paus akan menyayat sebongkah kulit dan lemak. Sekitar delapan sentimeter di belakang ujungnya, tabung itu dihalangi oleh sebuah bola lonjong dari karet kuning yang mencegah proyektil masuk terlalu dalam dan juga berfungsi melontarkannya keluar dari tubuh paus.
Sebuah cucur kapal dari logam yang disebut “mimbar” tampak menjulang di lambung karet Hurricane. “Mimbar” dibuat khusus untuk penelitian ini. Setiap kali kami berhasil mendekati paus, aku membuntuti Profesor Mate naik ke jeruji besi yang sempit di dek mimbar. Dari selubungnya, yakni tabung plastik tembus pandang yang diikat ke pagar mimbar, Mate mengeluarkan “aplikator” pening satelit, sebuah bedil dari logam merah berlaras panjang dengan popor kayu. Alat ini, yang aslinya adalah penemuan orang Norwegia untuk menembakkan tali pancing di antara kapal dengan kapal, mendapatkan tenaganya dari udara mampat dari tangki alat penyelam. Letusannya dapat disetel. Untuk paus biru, Mate menyetel putarannya pada 6 kilogram per cm persegi untuk tekanan. Untuk paus sperma (Physeter macrocephalus), yang kulitnya sangat keras, Mate menyetel tekanan pada 8 kilogram. Aku dan Mate sama-sama mengenakan harnes pinggang yang kami kaitkan ke tali pengaman di pagar mimbar sehingga tangan kami bebas untuk menembak. Bagian pertama yang kami lihat dari seekor paus hampir selalu semburannya.
!break!
Ketika Matahari sudah berada di belakang kami, terkadang kami melihat tebaran warna-warni prismatik dalam ledakan semburan dan uap yang menyebar—pelangi selama sepersekian detik, kemudian warna itu memudar dan pancaran itu berangsur-angsur memutih.
Setiap kali paus biru berenang ke permukaan untuk menyembur dalam jarak yang dekat, aku terpukau oleh lubang semburnnya—sepasang lubang hidung yang terbenam di puncak penangkal-percikan yang tampak seperti timbunan daging meruncing, mirip hidung di bagian belakang kepala. Paus balin lainnya juga memiliki penangkal-percikan, tapi tidak seperti yang ini. Hidung yang ini seperti hidung orang Roma. Ukurannya besar dan tidak proporsional, bahkan juga untuk paus terbesar. Ukurannya yang besar tersebut menjelaskan mengapa hembusan napas paus biru begitu nyaring bertenaga—tidak seperti bunyi napas, melainkan seperti ledakan—dan ukurannya yang besar itu menjelaskan mengapa semburan air paus itu setinggi sembilan meter. Semburan yang sangat bertenaga dan diikuti dengan cepat oleh tarikan napas yang juga sangat bertenaga.
Hal kedua yang kami lihat adalah punggungnya. Paus biru “secara keseluruhan berwarna abu-abu muda kebiruan, dihiasi bercak berwarna abu-abu atau putih kelabu,” sebagaimana digambarkan oleh seorang pemandu lapangan, dan memang benar punggung paus biru biasanya menampilkan warna ini, tetapi sering juga punggung itu tampak abu-abu keperakan atau warna kulit yang pucat, tergantung cahaya. Yang mana pun warnanya, punggung paus biru selalu mengilap. Dari dekat, akan terlihat air membilas punggung raksasa itu, mula-mula mengalir seperti anak sungai dan lembaran air, kemudian berupa lapisan tipis yang mengalir dengan indahnya, dengan pola berdenyut-denyut menurun memasuki lautan.
Jika di atas air warna paus biru hanya biru, kurang-lebih, di bawah air satwa itu tak diragukan lagi tampak berwarna biru pirus. Balaenoptera musculus adalah paus pucat, dan ketika dilihat melalui filter biru, yakni lautan, warna pucatnya berubah menjadi biru pirus atau hijau kebiruan atau akuamarin. Tampilan paus biru di bawah air dengan kedalaman 5-15 meter air adalah yang paling menghantui dan menggugah diriku.
Jika warna terelok yang ditampilkan paus biru adalah biru pirus, bentuknya yang tercantik, patung yang terindah, adalah sirip ekornya. Pada pekan pertama upaya kami memasang pening, ekor paus biru selalu tampak seperti melambai-lambai mengucapkan selamat tinggal. “dadah,” begitu lambaiannya. “Boleh juga usahamu. Lain kali lebih beruntung ya.” Manakala paus menunjukkan sirip ekornya—ketika dua bilah yang mirip telapak tangan menjulang tinggi di udara—kami menghentikan pengejaran karena ujung ekor yang menjulang tinggi berarti penyelaman yang dalam.
!break!
Namun, ada kalanya kami melihat ujung ekor itu berada di bawah air dekat permukaan. Bagian itu besar sekali, lebih lebar daripada perahu dan saat bergerak sungguh indah memukau. “Tidak ada makhluk hidup lain yang menampilkan garis kemolekan lebih indah daripada yang ditampilkan oleh garis tepi bak bulan sabit dari sirip ekor ini,” tulis Melville dalam Moby Dick.
Bagian terakhir yang kami lihat dari paus tesrebut adalah "jejak ekor”nya.
Ketika paus atau lumba-lumba berenang di air dangkal, turbulensi yang diakibatkan oleh sirip ekornya naik membentuk lingkaran air di permukaan; inilah jejak kaki atau jejak sirip ekor. Jejak sirip ekor paus biru amat besar dan lama tak dinyana. Lapisan air yang mulus itu masih tetap ada ketika si paus sudah lama berlalu. “Ini menunjukkan betapa besarnya tenaga yang digunakan pada kayuhan ekor itu,” kata Mate di suatu siang ketika dia melihatku menatap salah satu lingkaran tersebut. Lingkaran jejak ekor benar-benar mulus, kecuali adanya sedikit ombak lemah yang menandai pembalikan massa tenaga itu. Pada akhirnya sayatan air laut mulai mengikis kilapan melingkar itu dari luar ke dalam, tetapi dengan amat lambat.
Jejak ekor yang kuat itu adalah salah satu dari sekian tanda yang mengecilkan hati, yang membuat kami menghentikan pengejaran. “Astaga!” seru Mate di suatu siang, kala kami bergerak masuk ke tengah-tengah lingkaran yang sangat besar. Ladd Irvine, asisten peneliti yang bertugas sebagai jurumudi, tertawa kagum: “Kita tak akan melihatnya lagi untuk sementara waktu.”
Di mimbar, sang profesor merentangkan kedua kaki menyeimbangkan diri, menyenderkan pantat aplikatornya di atas kisi besi dek mimbar, dan mencengkeram laras tepat di bawah ujung tajam pening satelit yang mengisi mulut senapan. Celana khakinya yang cepat mengering menantang angin dan berkibar-kibar dihembus angin laut, dan sesekali angin semilir membawa bau menyengat, bau basi dan apak, kadang bercampur bau kentut yang busuk. Ya ampun, Bruce! Begitu pikirku berkali-kali. Kemudian di suatu hari, di kala angin berdesir di celana khakinya dan kami mendekati semburan di depan, si profesor mengeluarkan ledakan bau yang begitu menyengat, tak manusiawi, dan begitu busuk sehingga aku baru sadar bahwa Mate pastilah tidak bersalah. Yang selama ini kucium bukanlah bau pemimpin kami. Aku mencium bau busuk napas paus biru.
!break!
Selama hampir sepekan di perairan kubah, semua paus berkelit dari kami. Pada hari keenam, keberuntungan kami berubah. Kami melihat tiga semburan di arah tenggara pagi itu. Kami pun meluncurkan Hurricane.
Seperti biasa, dua ekor paus yang pertama mempermainkan kami. Membiarkan kami mendekat, lalu menjauh lagi. Yang ketiga membiarkan kami berada dalam posisi yang sempurna. Kami mengimbangi kecepatan si biru pirus raksasa, tetap berada di samping sirip ekor tatkala paus itu meluncur di bawah air di sisi lambung kanan perahu. Di saat berenang ke permukaan untuk menyemburkan udara, satwa itu berubah warna dari biru pirus yang samar-samar menjadi warna yang tajam seperti dalam foto. Irvine menambah tenaga mesin. Di atas mimbar, kulepaskan pengaman busur-silangku. Mate mengepit popor aplikator pening di bahunya, menjulur ke luar pagar mimbar, dan mengarahkan laras merah panjang nyaris tegal lurus ke bawah ke paus yang sedang naik ke permukaan itu, yang sekarang hanya berada tiga meter di bawah permukaan. Paus itu menyembur dan dinding bagian samping tubuhnya yang mengilap menyeruak seperti kurva tajam di atas laut.
Sebagai juru biopsi, aku diperintahkan untuk menunggu suara letusan aplikator pening sebelum menembakkan busur-silangku. Tubuh samping si paus yang mulus memenuhi bidang pandanganku; tidak mungkin tembakanku luput. Ketika terdengar suara letusan aplikator, kutekan picu. Peluru bautkuku melesat dari busur-silang dan sebuah lubang hitam, kecil tetapi penuh darah hitam muncul di bagian yang kubidik. Butuh waktu sepersekian detik ketika kusadari bahwa akulah penyebab luka itu dan kurasakan hempasan rasa sesal dan bersalah. Akukah yang melakukan hal itu? Aku merasa seperti anak lelaki yang bola pukulan kastinya menembus jendela kaca.
Kemudian, aku kembali tersadar akan ukuran luka tersebut. Jika dibandingkan dengan ukuran tubuh paus yang luas, lubang buatanku ibarat gigitan nyamuk. Ini bukan kejahatan; ini tembakan demi ilmu pengetahuan. Di mimbar, aku dan Mate melepas kaitan harnes lalu bersalaman.
Paus biru menulis catatan panjang di permukaan laut. Terdapat riak berbentuk bulat telur di atas kepalanya sesaat sebelum paus muncul ke permukaan, riak panjang dan sempit yang dihasilkan oleh punggung yang membusur dan riak melingkar yang dihasilkan oleh jejak sirip ekornya. Terdapat percikan air mancur putih, dihasilkan oleh paus biru yang menyemburkan udara lebih dini ketika masih meluncur di bawah permukaan—urutan semburan prematur. Terdapat letupan gelembung. Untuk pertama kalinya aku menyaksikan semua ini tidak jauh di depan cucur kapal, sekitar empat meter dalamnya, di saat lubang sembur seekor paus meletupkan gumpalan besar gelembung. Gelembung itu menyebar ke permukaan, transparan dan gemerlap, seperti lampu kristal jatuh ke atas. “Letupan gelembung,” kata Mate sambil mengamatinya.
!break!
Letupan gelembung yang ini tampak seperti komentar yang ditujukan ke perahu kecil kami yang begitu gigih dan menjengkelkan—semacam hardikan paus, barangkali. Letupan itu menjulang di atas kepada si paus seperti balon ucapan dalam buku komik. Pesan yang disampaikannya berbunyi seperti begini: “@*#&%√!?!”
Dari semua tanda yang “ditulis miring” oleh paus biru, yang paling berwarna adalah jejak tinjanya. Tinja pertama yang kami lihat berasal dari anak paus berusia sekitar 1 tahun, si biru kecil yang panjangnya 15 meter. Paus ini menyembur dari jarak 12 meter dan di belakangnya lautan menjadi cerah oleh jejak panjang berwarna merah-jingga. “Itu tinja,” kata Irvine mengumumkan. Jejak panjang ini, alur merah bata yang terdiri atas krill yang sudah dicerna, lebih encer daripada cairan yang mengandung padatan, merupakan bukti langsung pertama kami bahwa paus biru makan pada musim dingin di Kubah Kosta Rika. Karena ini adalah salah satu hipotesis yang hendak diuji dalam ekspedisi ini, Mate bergegas mencari kantong plastik Ziploc untuk mengambil sampel.
Bukti tentang kegiatan makan yang kami amati langsung dalam ceceran tinja dipertegas oleh hasil uji laboratorium di kapal. Di layar komputernya, Robyn Matteson, mahasiswa pascasarjana murid Mate, memantau alat penduga gema dan konsentrasi krill yang terdeteksi di perairan kubah. Sebaran krill lebih terkotak-kotak tak seperti yang diperkirakan, tetapi kawanan udang kecil yang rapat memang ada di sini. Di seberang meja laboratorium, di depan komputer mereka masing-masing, Calambokidis dan Erin Oleson dari Scripps Institution of Oceanography mempelajari profil penyelaman yang terekam oleh pening akustik yang berhasil mereka pasang pada beberapa ekor paus. Tag suara, yang dipasang dengan sebuah tongkat dan ditempelkan dengan cawan pengisap, terpasang pada tubuh paus selama berjam-jam, bukan berbulan-bulan, seperti tag satelit yang lebih invasif. Di sini di perairan kubah, pencatat kedalaman pada pening menunjukkan penyelaman sedalam 250 meter dan lebih dalam lagi. Garis vertikal yang menandai setiap penyelaman, dalam upaya mencapai kedalaman yang paling dalam, mulai bergerak zigzag dengan pola gigi gergaji yang merupakan ciri khas paus biru ketika melesat menyantap krill.
Bukti kegiatan melahirkan di Kubah Kosta Rika terbukti lebih sulit diperoleh, tetapi setelah berhari-hari tanpa hasil, bukti itu akhirnya datang juga, ke lambung kanan kapal, dengan terlihatnya sepasang induk dan anak.
Kedua paus itu bergerak lambat, berlama-lama di permukaan. Si induk membuat kami terkejut karena membiarkan anaknya berenang menuju Pacific Storm. Induk paus biasanya menempatkan diri di antara anaknya dan potensi bahaya, tetapi induk yang satu ini rupanya ibu yang santai, semacam ibu bergaya Montessori yang membiarkan anaknya berekspolorasi sendiri.
!break!
John Calambokidis berlayar dengan Squall untuk mengambil gambar paus di permukaan guna dijadikan identifikasi foto. Nicklin dan juru kamera Ernie Kovacs menyambar peralatan mereka dan ikut serta. Saat mendekati paus, mereka memakai sepatu katak dan mencebur ke luar perahu. Pada mulanya yang mereka lihat melalui topeng selam hanyalah warna biru. Kemudian, ketika mencari-cari si anak, Kovacs terperangah ketika anak paus itu lewat, mungkin dua meter di bawah sepatu kataknya. Paus ini masih bayi, tetapi punggungnya yang biru melewatinya seakan-akan tak akan pernah berakhir. Si anak yang meluncur di samping Nicklin, berguling sedikit agar bisa menatap Nicklin. Paus kecil itu menatap tajam kaca rumah kamera dan tombol pengunci pada kamera Nicklin balas berkedip.
Setelah 21 hari di Kubah Kosta Rika, kami tidak bisa tinggal lebih lama lagi dan kembali ke utara menuju Acapulco.
Dalam perjalanan pulang, kami menganalisis keberhasilan perjalanan itu. Terdapat beberapa hal yang mengecewakan: seandainya saja kami memasang pening satelit pada lebih banyak paus, seandainya saja kami menyaksikan lebih banyak anak paus, seandainya saja kami mengalami lebih banyak pertemuan dengan paus biru di dalam air. Kami kecewa karena tidak berhasil melihat paus 4172, si banteng putih. Namun secara keseluruhan, kami puas.
Selama tiga pekan menjelajahi perairan kubah, kami berhasil menemukan tiga ekor paus yang dipasangi pening satelit di California dan terlacak di sini. Setiap kali kami mendekati transmisi dari salah satu paus telemetrik ini, kami dapati dia berada di antara kawanan paus yang “bersih” tanpa tag. Pemasangan tag satelit terbukti merupakan metode yang efisien untuk mencari lokasi kawanan paus tanpa tag. Kami telah memasang pening satelit pada tiga ekor paus biru yang baru (tetapi, satu di antaranya gagal mengirimkan sinyal), menempelkan pening akustik pada enam ekor lagi, dan membuat identifikasi foto terhadap sekitar 70 ekor. Tiga belas dari ke-70 ekor ini dari California. Pengarungan ini membuktikan bahwa perairan kubah itu disinggahi sejumlah besar paus biru. Kami menyaksikan banyak tiga serangkai, cinta segi tiga di antara paus biru, dan kami menyaksikan banyak sekali perilaku percumbuan yang menggebu-gebu. Semua itu menyiratkan bahwa kubah adalah tanah perkawinan. Kami menunjukkan tanpa keraguan bahwa paus biru memang mencari makan di sini di musim dingin. Dengan sonobuoy dan tag suara, kami menguping suara A dan B dari nyanyian paus biru dan suara D yang disuarakan paus di antara acara makan, dan dengan demikian mulai mencatat musik musim dingin di kawasan lautan ini.
Berita dari perairan kubah menggembirakan. Makhluk teranggun di antara semua ciptaan sudah diburu oleh kita si kera berakal, hingga nyaris punah. Jumlahnya masih sedikit, tetapi sulit untuk tidak merasa optimistik. Di atas tempat tidurku, ditemani laptop Nicklin, sambil terus menatap potret dari kamera digitalnya yang menampilkan anak paus yang penasaran itu, sepertinya dapat kubaca, dari matanya yang aneh itu, kenakalan jenaka si makhluk raksasa. Kudapati hal ini menggembirakan. Anak paus ini memberi kami harapan.
Dalam pelayaran pulang, kami punya waktu untuk merenung dan aku paham mengapa jejak sirip ekor paus biru begitu memukauku setiap kali aku melihatnya di perairan kubah. Riak melingkar yang besar itu ibarat tanda tangan spesies tersebut, sangat besar dan bandel. Riak itu melompat dengan perkasa dari kertas perkamen. Kegigihannya yang ajaib di permukaan laut, menantang gelombang yang datang silih berganti adalah pertanda baik. Kemunculannya di perairan kubah, tempat berlindung di musim dingin ini, menunjukkan bahwa paus biru pada akhirnya, menantang penggalan sejarah.
“Masih bertahan di sini!” seru jejak sirip ekor itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR