Jones mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan tersebut, tidak seperti spesies lainnya yang menghilang. Ia sudah menemukan pedagang-pedagang eceran yang bersedia membeli semua gurame yang dapat dia jaring.
Namun, kekeringan telah membuat komunitas Jones meronta. Baru-baru ini, para pembuat anggur (wine) lokal telah diberitahu bahwa Sungai Murray bakal tidak lagi dapat digunakan untuk mengairi perkebunan anggur mereka. Jones juga bersahabat dengan para tetua suku Aborigin Ngarrindjeri yang wilayahnya di sekitar sungai berakhir begitu saja setelah 30.000 tahun ketika ekspedisi pimpinan Kapten Charles Sturt mendarat di muara Sungai Murray pada tahun 1830. Bagi suku Ngarrindjeri, bencana kekeringan telah mengakibatkan hilangnya telur-telur angsa hitam, remis air tawar, dan totem-totem sakral lainnya yang vital bagi keseimbangan spiritual dan raga mereka.
Maka secara de facto Henry Jones menjadi corong bagi mereka yang mati dan sekarat. Semua ekosistem ada di titik kehancuran. Dua pertiga wilayah Coorong telah mati—tingkat salinitasnya nyaris menyamai Laut Mati. Dalam perjalanan di seputar lembah dalam rangka menegaskan bahwa air haruslah dialokasikan pada Coorong dan danau-danaunya, Jones menemukan bahwa sentimen yang berkembang justru menyalahkan para pelestari lingkungan atas krisis yang terjadi. Para petani mengungkapkan kemarahan karena ”sungai aset kerja” mereka yang berharga hilang ke laut. Mereka menyampaikan kepada Jones bahwa lebih masuk akal mengalihkan seluruh aliran sungai Murray ke daratan dan memasrahkan sungai tersebut pada pengabdian abadi sebagai saluran irigasi sementara para nelayan bertahan dengan mencari penghidupan dari laut saja.
Kawasan Coorong hanyalah salah satu contoh mencolok dari ekosistem Lembah Murray-Darling yang terancam. Sebagai contoh, para ilmuwan Australia dan aparat pemerintahan terbukti teledor ketika jauh di daerah hulu, suatu kawasan melewati batas toleransi kekeringannya sehingga ratusan ribu pohon karet-merah sungai (sejenis eukaliptus) yang ada di dalam kawasan hutan karet-merah sungai terluas di dunia tiba-tiba mati.
Baru-baru ini sebuah kekhawatiran juga muncul, yaitu lahan-lahan basah kemungkinan membentuk toksin. Daerah rawa yang terampas dari aliran musimannya dan kemudian malah terendam secara tidak alami selama berpuluh tahun tersebut telah berubah demikian kering sehingga endapan lumpur kering bereaksi dengan udara untuk membentuk permukaan asam belerang yang luas. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengukur dampak yang terjadi terhadap binatang dan manusia. Untuk saat ini, sesuai pengamatan ekonom air dari University of Adelaide Mike Young, “Anda pasti tidak ingin memasukkan tangan Anda ke dalamnya.”
!break!
Adelaide mungkin tak terlihat meyakinkan dengan statusnya sebagai kota industri pertama di dunia yang terus menerus hidup dalam kekurangan air. Dengan patuh penduduk Adelaide mengangkuti ember-ember berisi air sisa mandi dan cuci ke pekarangan mereka. Tanaman lokal dan halaman rumput artifisial tampak apik tertata.
Hanya saja, krisis air nasional tidak akan terselesaikan lewat cara ”antikekeringan” ala Adelaide yang walaupun bergantung pada Sungai Murray, kota itu mengaku cuma mengambil 6 persen dari total penyedotan sungai tersebut. Menurut aktivis lingkungan Wilderness Society Peter Owen, ”Kita tidak bisa menyelamatkan ekosistem sungai dengan hanya mendaur ulang air mandi kita.”
Sementara itu, di luar kawasan Lembah Sungai Murray-Darling, kekeringan telah menunjukkan kerusakan serius pada sumber-sumber air di wilayah urban, seperti Sydney, Melbourne, dan Brisbane. Malcolm Turnbull pun menyatakan, ”Seorang perdana menteri yang bijak seyogyanya berasumsi bahwa lingkungan menjadi semakin panas dan kering, dan akan melakukan perencanaan yang sesuai.” Ketua partai Turnbull (Partai Liberal), John Howard yang skeptis dengan isu perubahan iklim dicopot dari jabatannya November 2007.
Namun, apa sesungguhnya makna dari ini semua? Akankah ini bermakna pembangunan instalasi desalinasi yang mahal di Adelaide, Sydney, dan tempat-tempat lainnya, diikuti pengeluaran energi yang semakin meningkat? Apakah mungkin untuk mengembangkan varietas tanaman yang tahan kekeringan untuk menjaga produksi pangan tetap berjalan? Atau mengurangi secara drastis kebutuhan air para peternak sapi perah yang menggunakan 1.000 liter air bagi setiap liter susu yang mereka hasilkan? Sebuah bentang alam baru yang kokoh dibutuhkan dan itu terserah kepada Australia untuk menunjukkan kepada seluruh dunia industri seperti apa wujud lanskap tersebut. Sebagai awal, bentang alam tersebut mungkin merupakan lanskap yang bisa menyesuaikan diri dengan keterbatasan.
!break!
Bagaimana juga, tahap akhir dari penyesuaian terhadap kehancuran adalah penerimaan. Kembali ke tahun 1962, Frank Whelan adalah petani ketiga di distriknya di New South Wales yang mendapat jatah air untuk menanam padi, enam tahun sebelum kota Coleambally bergabung. Hingga musim ini tiba, dia selalu panen. Walau usianya sekarang sudah 74 tahun, ingatannya masih sejernih penglihatannya. Kekeringan, fluktuasi pasar, perselisihan dengan pemerintah, dan juga kecaman bertubi-tubi dari para pelestari lingkungan yang menuding budidaya padi menyerap jumlah air yang berlebihan dan dengan demikian tidak berhak untuk mendapatkan tempat di benua semiarid ini—Whelan ingat bahwa Coleambally tetap makmur di tengah-tengah segala kesengsaraan tersebut. Ia ingat pertemuan-pertemuan di tingkat kota ketika berita yang beredar hampir selalu baik karena sumber air irigasi selalu tersedia.
Sekarang, di saat Whelan duduk di aula boling setempat bersama 200 rekan petani lainnya, suasana sudah berbeda. Selama empat jam mereka mendengarkan satu panel ahli mengabarkan bahwa tak lama lagi tidak akan ada air irigasi untuk Coleambally. Mereka menyarankan jalur-jalur ekonomi baru bagi kota tersebut berupa hal-hal yang tidak berkaitan dengan beras. Sejumlah petani menyuarakan kemarahan mereka. Mereka menyalahkan para birokrat. Mereka menyalahkan pada pelestari lingkungan. Mereka menyalahkan New South Wales. Namun Whelan diam saja.
Ia telah melihat bahwa keadaan ini akan menjelang. Seiring serangan kekeringan, ia telah memadatkan lahan pertaniannya menggunakan traktor giling untuk memperkecil kebocoran. Ia sudah mulai menghentikan aliran air ke sebagian lahannya. Lalu ke semakin banyak lahan. Sementara itu, petani yang panjang umur tersebut menyaksikan melorotnya produksi beras nasional dari satu juta ton metrik lebih per tahun hingga menjadi 19.000 ton metrik yang berkontribusi terhadap kekurangan pangan yang dirasakan di seluruh dunia. Australia yang pernah menjadi sumber pangan dunia, kini tengah mencari masa depan. Apapun masa depannya, Whelan sadar bahwa kota penghasil beras Coleambally tidak akan pernah memainkan peran yang sama lagi.
Setelah pertemuan tersebut berakhir, seorang rekan sesama petani mendatanginya dan bertanya, ”Jadi bagaimana menurutmu, mate?” Itu adalah salah satu pertanyaan yang akan terus hadir di Coleambally untuk beberapa waktu ke depan. Pada satu titik, warganya bahkan sempat mengibarkan bendera putih dan menawarkan untuk menjual keseluruhan kota berikut sumber airnya kepada persemakmuran dengan harga 26,4 triliun rupiah. Beberapa hari kemudian, mereka menarik kembali tawaran tersebut dan bersikeras bahwa kota tersebut akan tetap punya peran sebagai penghasil pangan yang penting.
Perselisihan tersebut akan terus berlanjut di Coleambally dan di seluruh Australia. Namun, beberapa orang telah sampai pada titik penerimaan meski tidak sepenuh hati. Setahun setelah liputan kisah ini dimulai, peternak sapi perah Malcolm Adlington menjual seluruh ternaknya dan kini dia hidup sebagai seorang supir minibus. Petani jeruk Mick Punturiero membabat separuh kebun buahnya dan mengakui bahwa kemungkinan besar ia tak lagi dapat terus bertani. Malam ini di Coleambally, Frank Whelan juga membuat keputusan.
”Oh, kurasa aku akan pulang dan pensiun saja,” jawab Whelan sambil tersenyum getir pada rekan sesama petani padi.
Sejarah Migrasi Manusia Modern di Indonesia Terungkap! Ada Perpindahan dari Papua ke Wallacea
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR