Rusia yang baru semakin memudar saat kendaraan meninggalkan Moskwa. Kemacetan, polusi, mal-mal yang menjamur, dan papan-papan reklame yang menjadi buah dari tahun-tahun ekonomi pasar berganti dengan kawasan pinggiran nan kelabu serta pabrik-pabrik karatan peninggalan Uni Soviet. Lalu, pemandangan itu pun berganti menjadi hutan pinus dan pohon perak yang menjulang diselingi padang rumput serta desa-desa berumah kayu yang tak lekang oleh zaman. Sesekali, menara berwarna cerah-ceria menukas cakrawala. Kubahnya yang keemasan berkilau di bawah siraman cahaya mentari musim semi. Kami kembali ke glubinka, Rusia “pedalaman” yang dicintai para Slavofilia (pengagum budaya slavia), kaum buangan, dan pelukis. Kami langsung menuju ke ulu hatinya.
!break!
Tujuan kami adalah Murom, satu di antara kota tertua Rusia. Murom yang terletak di atas tujuh bukit di sepanjang sisi kiri Sungai Oka adalah garda nan perwira di tepian timur Rus kuno pada abad pertengahan, sebelum kekaisaran Rusia berkembang dan meninggalkan kota propinsi miskin yang kaya akan mitos, kenangan, dan biara tersebut. Penguasa Uni Soviet dulu berusaha menghapus hal-hal ini dan sebagian cerita dari Rusia masa kini adalah upaya menghidupkan kembali masa lalu. Di tempat terpencil ini, sebagian masa lalu itu juga milikku.
Empat abad silam, seorang gadis yang saleh datang ke tempat ini sebagai istri seorang “suami yang bangsawan dan hartawan.” Walaupun hidupnya penuh cobaan berat—suaminya selalu pergi berperang, dari 13 anak yang dia lahirkan, delapan di antaranya meninggal, mengalami kelaparan, wabah penyakit, invasi, dan perampokan pada masa yang dicatat sejarah sebagai Masa Sulit—Juliana Osorin tetap teguh dalam iman dan kedermawanannya. Setelah dia meninggal pada 1604, Juliana diangkat sebagai orang suci oleh Gereja Ortodoks Rusia dengan nama St. Juliana dari Lazarevo, nama desa di luar Murom tempat dia tinggal. Pengangkatannya sebagai santa bertujuan untuk menyadarkan masyarakat yang tengah panik dan putus asa, bahwa kesucian dapat dicapai melalui rumah dan keluarga, tanpa harus masuk biara. Ibuku yang diberi nama Juliana Ossorguine oleh orang tuanya adalah keturunan langsung St. Juliana dan menyandang namanya.
Saya pernah datang ke Murom sebelum Rusia bangkit dari masa sulit yang lain. Saat itu Maret 1992. Es di Sungai Oka mulai mencair, dan di mana-mana terasa adanya awal yang baru. Saya pernah menjadi kepala biro New York Times di Moskwa selama tahun-tahun terakhir Uni Soviet pada 1980-an dan saya kembali untuk melaporkan runtuhnya pemerintah komunis serta bangkitnya Rusia baru.
Periode itu kacau dan membingungkan, masa kekalutan dan harapan besar—tentang demokrasi, kebebasan ekonomi, dan mungkin yang terpenting, kebangkitan rohani. Di mana-mana Gereja Ortodoks Rusia bangkit dari abu era Soviet dan jutaan orang Rusia bergegas minta dibaptis. Meski sebagian besar di antara mereka tidak begitu paham arti penting sakramen itu dalam agama, mereka bersemangat merebut kembali masa lalu dan identitas yang berusaha dihapus komunis selama 75 tahun.
!break!
Ribuan gereja yang hancur—termasuk yang dijadikan depot, pabrik, dan gudang oleh Uni Soviet—dikembalikan ke fungsi aslinya dan akhirnya kembali semegah dahulu. Misalnya, Katedral Kristus Juru Selamat yang monumental kembali menjulang di tepian Sungai Moskwa. Katedral itu sebelumnya dihancurkan atas perintah Stalin pada 1931. Umat beragama yang bersembunyi selama masa Uni Soviet pun muncul dan mulai giat mendirikan paroki, panti asuhan, rumah singgah, dan sekolah. Ribuan lelaki diangkat menjadi pendeta dan beribu-ribu lainnya—lelaki dan perempuan—masuk biara, semuanya ingin memperoleh kembali tuntunan agamanya.
Selama hampir seribu tahun, Gereja Ortodoks dengan liturgi dan ikonografinya yang hebat menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan sejarah Rusia. Aku masih cukup Rusia untuk bisa tersentuh melihat agama nenek moyangku hidup kembali. Di saat yang sama, sebagai wartawan Barat, hatiku bertanya-tanya ke mana perjalanan ke masa lalu yang kerap diagungkan tetapi hanya sedikit dimengerti itu akan menuju. Akankah Gereja Ortodoks menjadi kekuatan ampuh bagi reformasi, berani menyatakan kebenaran kepada penguasa Kremlin? Ataukah akan melanjutkan peran yang dimainkannya selama berabad-abad pemerintahan tsar dan kembali menjadi hiasan dan alat negara yang otoriter?
Pertanyaan ini bukan hanya menyangkut gereja; masa depan Rusia juga dipertaruhkan. Sebagaimana ditulis pakar Rusia James H. Billington yang kini menjabat kepala Library of Congress beberapa tahun setelah keruntuhan Uni Soviet: “Kemampuan Gereja Ortodoks memisahkan diri dari negara dan menjadi hati nurani bangsa tersebut menjadi penting untuk menentukan apakah Rusia dapat mencapai budaya madani dan demokratis yang baru atau kembali pada kesewenangwenangan yang tertutup dan berbahaya.” Sejak saat itu, sepertinya kemungkinan yang lebih buruklah yang terjadi dengan para pemimpin gereja bersekutu dengan Kremlin yang agresif dan antidemokrasi. Namun, saat aku kembali ke Murom tahun lalu, aku bertanya-tanya mungkinkah sebagian kesalehan dan kedermawanan St. Juliana berlanjut(97) di gereja yang bangkit kembali.
Saya juga punya alasan untuk berpikir bahwa semangat keterbukaan dan mempertanyakan telah tumbuh di antara sejumlah kaum beriman. Ayahku Pastor (Reverend-102) Alexander Schmemann, seorang teolog dan pastor Ortodoks yang juga keturunan emigran Rusia seperti ibuku, terkenal di kalangan pembelot dan intelektual Uni Soviet lewat buku dan siarannya di Radio Liberty yang disiarkan pemerintah AS ke balik Tirai Besi. Sebagai orang Rusia tulen sekaligus orang Barat yang perwira, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Amerika Serikat dan membaktikan sebagian besar di antaranya untuk mengikis kerak kesukuan dari agamanya dan memusatkan perhatian pada pesan universalnya. Pada 2005, catatan harian yang diatulis sejak 1973 hingga ajal menjemput pada 1983 diterbitkan di Rusia. Yang mengejutkanku, buku itu sangat sukses di kalangan umat beragama dan cendekiawan Rusia. Saya ingin tahu mengapa pemikiran pendeta Barat bisa demikian populer dan berpengaruh?
!break!
MUROM YANG KEMBALI AKU KUNJUNGI itu tak banyak berubah. Memang ada beberapa klub malam, ATM, pompa bensin, dan papan reklame, tetapi kemakmuran yang mengucur dari Moskwa sepertinya tak sampai ke sini. Masih belum ada jembatan permanen di Sungai Oka, hanya jembatan ponton pada musim panas. Lubang-lubang jalan masih berbahaya, sementara rumah-rumah kayu tampak usang dan doyong. Namun, ada satu perubahan dramatis: berbagai biara dan gereja yang terletak di tebing tinggi pada tepian sungai kini tampak gemilang dalam kebesarannya yang pulih.
Biara Spassky yang dibangun pada akhir abad ke-11 adalah salah satu biara tertua di Rusia. Tentara menggunakannya sebagai barak hingga 1995, dan meninggalkannya dalam keadaan rusak, bau, dan menyedihkan. Lalu, Gereja Ortodoks Rusia menugasi seorang pastor yang energik, Kirill Epifanov, untuk menghidupkan kembali pusat agama yang bersejarah tersebut. Kirill memulainya dengan membangun toko roti untuk menghidupi beberapa gelintir biarawannya. Kemudian, setelah mengumpulkan dana dan tenaga sebisanya, dia membangun kembali gereja dan memulihkan lagi tamannya. Hasilnya mencengangkan: Berbus-bus peziarah datang untuk mengagumi kemegahan abad pertengahan. Tamannya yang terawat memiliki aviari yang berisi burung merak, sementara toko rotinya yang berkembang menyebarkan semerbak aroma roti yang baru dipanggang.
Spassky hanyalah satu di antara ratusan biara yang hidup kembali saat iklim politik mencair, yang dimulai dengan perestroika Mikhail Gorbachev pada akhir 1980-an. Pada 1987 hanya ada tiga biara di Rusia; kini ada 478. Dulu hanya ada dua seminari; sekarang ada 25. Yang paling mencolok adalah ledakan jumlah gereja, dari sekitar 2.000 pada masa Gorbachev, kini mendekati 13.000. Gereja Ortodoks Rusia telah berkembang menjadi institusi besar dengan puluhan penerbit serta ratusan jurnal, surat kabar, dan situs web yang tumbuh pesat.
Saat saya temui, Pastor Kirill baru pulang dari ziarah ke biara-biara Ortodoks Timur di Gunung Athos, Yunani. Pria bertubuh besar, bersuara lantang, dan jenggot hitam lebat itu membagi-bagikan hadiah kepada para rahibnya seperti orang tua penyayang tetapi keras. Pastor yang selalu bergerak diiringi kibaran jubah pendetanya itu terlihat seperti pemimpin teladan yang diperlukan oleh gereja yang baru hidup kembali—seorang pastor dan manajer yang penuh energi, antusiasme, dan iman. Namun, saat menjamu teh di ruang kerja bawah tanahnya, Pastor Kirill meredup.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR