"Jika ada masalah, soal ternak, orang, tanah—saya yang menyelesaikannya," kata sang raja. Wajahnya penuh keyakinan yang jarang terlihat. "Jika ada masalah dalam kerajaan saya," katanya, "sayalah solusinya."
Dari gubuknya jauh di atas Pegunungan Buska, Wangala Bankimaro memerintah sekitar 30.000 anggota suku Hamar. Suku Hamar kebanyakan penggembala, menggiring sapi dan kambing di padang rumput yang luas di sebelah timur Sungai Omo. Mereka juga mengolah petak-petak kecil ladang sorgum dan jagung. Mereka tetangga dan sekutu suku Kara. Dalam lingkungan yang kejam, suku Hamar telah berhasil berkembang, tumbuh menjadi salah satu suku terbesar di kawasan itu. Atas hal ini suku Hamar berterima kasih kepada hujan, yang menghidupkan ternak dan tanaman. Untuk hujan itu, mereka berterima kasih kepada Wangala Bankimaro.
Kaum perempuan Hamar, dengan rambut yang dijalin menjadi kepangan merah berkilau, memberi tahu saya bahwa Wangala bahkan dihormati oleh pemerintah Etiopia. Kaum lelaki Hamar, sambil menyandang senapan di bahu, mengatakan bahwa kutukan Wangala lebih ditakuti daripada peluru. Peluru dapat meleset. Kutukan pasti berarti kematian.
Saat saya menemui Wangala di gubuknya, ia baru saja kembali dari upacara hujan. Upacaranya berhasil. Hujan akan turun, katanya. Dia mengenakan baju kaus, celana pendek putih, dan sandal dari ban bekas.
!break!
Aku bertanya kepada raja mengapa, jika ia dapat memanggil hujan, dia tidak melakukannya lebih awal untuk menghindari kekeringan yang mengancam. Dia memandangku dengan ekspresi seorang pria yang menenggang kemauan tamunya.
"Orang tidak datang menemuiku," katanya. "Mereka tidak berkorban untuk meminta hujan."
Aturan. Kesalahan protokol. Seperti melanggar wilayah buaya.
Secara perlahan, seiring pemerintah Etiopia memperluas pengaruh dan sistem hukumnya ke kehidupan suku, para pejabat federal mencoba memperoleh dukungan Wangala. Salah satu rencana pemerintah bertujuan menghapuskan yang mereka sebut "kebiasaan adat yang berbahaya. "Ini termasuk, ironisnya, hal yang paling ingin dilihat oleh wisatawan yang berkunjung: ritus mencambuk perempuan atau pertarungan tongkat atau upacara lompat-ternak.
Daftar kebiasaan yang ditargetkan mencakup praktik khitan perempuan (yang tidak dipraktikkan oleh suku Hamar tetapi lazim di seantero Etiopia) dan kebiasaan yang disebut pembunuhan mingi. Mingi adalah semacam nasib buruk. Di bagian selatan Etiopia, banyak suku meyakini bahwa anak yang lahir cacat, gigi atas yang tumbuh sebelum gigi bawah, atau kelahiran di luar nikah merupakan pertanda buruk. Adat mengharuskan anak-anak tersebut dibunuh sebelum mingi menyebar. Saya bertemu dengan seorang wanita Kara yang melahirkan 12 anak sebelum ia dapat dinikahkan; dia mengaku membunuh semua bayinya. Orangtua tidak selalu mau menaati, tetapi tekanan masyarakat sangat kuat. Kadang-kadang anak tersebut ditinggalkan di semak-semak, mulutnya sumpal dengan tanah, kadang-kadang dilemparkan ke dalam sungai.
Suku Kara membahas praktik itu dengan pemerintah dan sebuah LSM yang berupaya menyelamatkan bayi mingi. Tetapi, Wangala telah mengambil keputusan. Belum lama ini, setelah lobi pemerintah yang intensif, dia memutuskan untuk mendukung larangan. "Sekarang tidak boleh ada lagi pembunuhan mingi dalam suku Hamar," ujar sang raja kepadaku. "Saya telah memutuskan begitu."
!break!
Dia mengatakan hal itu tanpa arogansi. Tradisi, sihir, dan ketakutan dienyahkan. Sayalah solusinya.
Suatu petang Maret lalu, di tanah lapang teduh di atas tebing di pinggir Sungai Omo, sekitar 200 orang suku Nyangatom berkumpul untuk merayakan perdamaian dengan suku Kara. Corengan tanah liat berwarna putih menghiasi tubuh mereka sehingga mirip kerangka pucat berhantu. Di luar lapangan, keratan besar daging sapi dipanggang di sundukan. Di balik api itu, orang dari kedua suku menumpuk senapan otomatis untuk menunjukkan itikad baik dan demi kepraktisan. Mengingat sejarah mereka, lebih baik menjauhkan senjata dari jangkauan.
Seorang tua mondar-mandir di hadapan orang banyak, menggerakkan tangan dan berteriak, cat di kakinya jadi kelabu oleh debu. "Hai, orang Nyangatom! Kalian pasti ingin damai!"
Dia menoleh ke arah hadirin yang lain.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR