Helmy Murwanto, si pemilik tangan terampil ini, tak lain adalah ahli geologi asli Muntilan, Yogyakarta. Beberapa tahun terakhir, sungai, lembah, dan perbukitan di sekitar Candi Borobudur jadi laboratoriumnya. Dia sepertinya telah hafal tiap jengkal tanah, batu, sungai, dan perbukitan di dataran Kedu ini. Temuannya seperti membuka kembali lembaran perdebatan usang soal danau Borobudur yang telah lama ditutup.
Lembaran itu dia buka dengan sebuah tantangan. Pasalnya, keyakinan Helmi soal Borobudur dibangun di tengah kepungan air danau bukanlah isapan jempol. Lewat sederet proses penelitian ilmiah dengan bimbingan Sutikno, Guru Besar bidang Geomorfologi UPN Veteran Yogyakarta, Helmy menguak mosaik-mosaik yang membenarkan Nieuwenkamp.
Helmy menemukan data-data geologis yang membuktikan, kawasan di sekitar candi Borobudur memang pernah terdapat danau. “Jika direkonstruksi danau purba Borobudur membentuk elips,” ujar Helmy di ruang kerjanya yang sesak oleh buku, komputer, serta berbagai contoh batuan dan mineral di kompleks kampus UPN Veteran pada paruh pertama tahun silam. “Danau itu mencakup wilayah dengan batas selatan di Perbukitan Menoreh hingga 10 km ke utara, sementara ke timur membujur sepanjang 7-8 kilometer dari Jembatan Wangon hingga Klipoh, Magelang, Jawa Tengah,” ujarnya.
!break!
Helmy melihat, gugusan Bukit Menoreh dapat menjadi benteng yang kuat dalam membendung air. Dia juga menengok lokasi pertemuan antara Sungai Elo dan Sungai Progo di Desa Bojong, Magelang. “Sungai –sungai ini tak hanya mengalirkan air dari pegunungan, tetapi juga lempung yang bersifat permeable (tahan air), sebuah material yang tepat untuk menjadi pelapis kedap air, sehingga air tidak merembes ke dalam tanah dan tertahan hingga akhirnya terbentuk menjadi danau,” ujar lelaki berkacamata tersebut.
Di lokasi pertemuan dua sungai itu terdapat tebing-tebing menjulang setinggi 12 meter yang tersusun atas lapisan-lapisan tanah berwarna cokelat, lapisan piroklastik berwarna semi abu-abu yang merupakan hasil proses vulkanis dan paling bawah adalah tanah yang berwarna hitam pekat. Tanah atau lempung hitam pekat ini juga senada dengan tanah yang ada di dasar sungai.
Lempung hitam adalah lapisan khas kaya zat organik yang menyiratkan bahwa lapisan itu terbentuk dari material yang dibawa aliran sungai dan akhirnya mengendap bersama tumbuh-tumbuhan air. “Lapisan inilah yang memungkinkan kawasan ini menjelma danau karena sifatnya menahan air,” kata Helmy yang mengambil contoh lempung dari tebing dan dasar sungai untuk diteliti di laboratorium kampus.
Dari serpihan tanah tersebut, dia gembira menemukan sampel serbuk sari tanaman-tanaman air, yaitu teratai, genjer, paku-pakuan, dan rumput air. “Hanya pada situasi air tenanglah tanaman air ini tumbuh,” jelasnya. Jadi, lanjutnya, jika di sample tanah ini terdapat serbuk sari tumbuhan air, itu artinya air yang dulu ada di sekitar sini adalah air yang “diam” atau tenang. “Dan itu bisa saja danau,” ujar Helmy bersemangat.
Helmy mengaitkan temuannya itu dengan rujukan hasil penelitian geologi yang menunjukkan, cekungan di kawasan Borobudur terbentuk sekitar 1,8 juta tahun silam akibat proses tektonik (perlipatan, pengangkatan, dan persesaran kerak bumi). Pada masa itu terjadi gerakan sesar di bagian utara Jawa sehingga mengakibatkan penenggelaman di beberapa wilayah di mana tanah masuk hingga di bawah muka air laut sehingga terbentuklah cekungan yang terisi air laut--Helmy mengistilahkannya dengan cekungan Borobudur.
!break!
Waktu berjalan, terjadi pula aktivitas vulkanis berupa lelehan lava dan pembentukan gunung api seperti Gunung Tidar di Magelang, Gunung Telomoyo, Andong, dan disusul dengan terbentuknya gunung api yang lebih besar seperti Merbabu, Merapi, Sumbing, dan Sindoro.
Kemunculan beberapa gunung api tersebut mengakibatkan cekungan yang terisi air laut menjadi tertutup. Sungai yang kemudian mengalir dari berbagai gunung di sekitarnya mengisi cekungan dengan air tawar. Sementara air laut yang asin terjebak dan tertahan di lapisan bawah tanah.
Saat ini di sekitar Borobudur yang relatif terletak di tengah Pulau Jawa memang ada sejumlah sumber air asin. “Jangan heran kalau banyak mata air asin di sekitar perbukitan di kawasan Borobudur. Itu membuktikan dulu daerah ini begitu cekungnya sehingga air laut masuk dan akhirnya terperangkap jauh di dasar tanah,” tutur Helmy.
Yang jelas dia menambahkan, danau di kawasan Borobudur sudah ada jauh sebelum Borobudur dibangun. berdasarkan analisis karbon C14 yang dia lakukan pada 2001, diketahui bahwa endapan lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun sementara lempung hitam yang dibor dari sumur kedalaman 40 meter di sebuah rumah tak jauh dari Candi Borobudur diketahui umurnya 22 ribu tahun.
Beradaptasi dengan Zaman, Tokoh Pemuda Wewo Sadar Kebutuhan Energi Ramah Lingkungan
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR