Gedung bulutangkis tua itu kecil saja, cuma memuat empat lapangan semen yang berlapis karpet karet hijau. Pencahayaannya juga tak terlalu benderang, bermodalkan dua kotak penerangan berisi 15 lampu neon yang digantung di langit-langit pada masing-masing sisi setiap lapangan. Namun dinding-dinding hijaunya yang lusuh penuh kemenangan, bersolek dengan puluhan foto pahlawan bulutangkis—seperti para peraih emas olimpiade Susi Susanti, Candra Wijaya, Tony Gunawan, Markis Kido, dan Hendra Setiawan. Mereka semua meniti karier dari gedung tersebut.
!break!
Hari itu di salah satu sudut gedung, tak jauh dari almari kaca besar yang sudah kusam pelitur kayunya dan sesak dengan piala, seorang remaja usia 15 tahun bersila di lantai. Hanya sekali dia bertanding untuk kemudian duduk diam selama beberapa jam, menatap belasan remaja lainnya berlatih. Tak seorang pun peduli. Menjelang sore, lelaki tua berkulit hitam, berambut putih dan berkaca mata mengajaknya pergi.
Inilah kali kedua bagi Muhammad Haman datang ke klub bulutangkis Jaya Raya dari kota tempat tinggalnya Solo. “Tahun lalu juga tes di sini, tapi tidak dipanggil. Kemarin kami ditelepon untuk tes hari ini,” kata Rahmat, si lelaki tua yang bersama anaknya berjalan pelan untuk kembali menempuh 447 kilometer menuju rumah. Setiap hari setelah itu, Haman akan gelisah menanti telepon berdering, berharap kabar dirinya diterima menjadi atlet pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat) Jaya Raya yang bercokol di dalam kompleks sekolah atlet Ragunan Jakarta.
“Saya ingin jadi juara dunia. Saya ingin membahagiakan orang tua,” tutur Haman yang kurus itu singkat. Dengan maksud serupa, Haman-Haman yang lain dari berbagai penjuru negeri juga berdatangan setiap hari ke Jaya Raya atau empat klub bulutangkis besar lainnya. Mereka datang untuk menantang salah satu pemain klub. Jika mata para pelatih terpukau, bolehlah si remaja berbesar asa dapat tidur di kamar asrama dan itu akan menjadi langkah pertama untuk menjadi juara dunia.
Jaya Raya, Tangkas Alfamart Jakarta, SGS PLN Bandung, Djarum Kudus, dan Surya Naga Surabaya tak dimungkiri merupakan gerbang utama menuju pemusatan latihan nasional (pelatnas) bulutangkis Cipayung. Klub-klub itulah yang sejauh ini memasok hampir seluruh pemain nasional. Lima besar itu mampu melakukannya karena bertabur pelatih yang tak lain mantan-mantan pemain kelas dunia, memiliki gedung dan asrama sendiri, juga didukung oleh dana yang memadai—karena umumnya pemilik klub adalah pengusaha mapan yang telah puluhan tahun mengikatkan hati pada bulutangkis.
Inilah ringkasan jalan menjadi juara dunia: Selama lima hingga tujuh tahun dalam pusdiklat klub, para pemain remaja digembleng. Setiap tahun mereka setidaknya diterjunkan dalam sembilan seri sirkuit bulutangkis nasional. Bila prestasi baik dan akumulasi poin pertandingan mencukupi, bisalah berharap dipanggil ikut seleksi nasional agar bisa pindah kamar ke kompleks pelatnas.
“Jadi, inilah ibu kota bulutangkis dunia!” kata Korn Dabaransi yang saat itu menjabat Presiden International Badminton Federation (Federasi Bulutangkis Dunia) sekaligusWakil Perdana Menteri Thailand ketika menjejakkan kakinya di kompleks Cipayung tujuh tahun silam. Markas seluas sekitar empat hektare itu memiliki sebuah gedung berisi 21 lapangan bulutangkis lengkap dengan ruang latihan barbel, perpustakaan, klinik, ruang fisioterapi, dan perkantoran, juga dua bangunan asrama yang mampu menampung paling tidak 80 orang atlet, sebuah balairung, satu lapangan sepak bola, dan sejumlah bangunan pendukung lainnya. Dari Cipayung inilah para pebulutangkis penyandang predikat atlet nasional dikirim ke berbagai turnamen internasional.
!break!
Semua itu bisa dibilang gratis. Di pelatnas, makan, cuci baju, tempat tinggal, perlengkapan latihan seperti sepatu, raket, kok, baju, juga biaya ikut turnamen jadi tanggungan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia. Hal yang sama juga mereka alami saat mengenyam status sebagai atlet pusdiklat klub. “Asrama, uang sekolah, cuci baju, perlengkapan latihan, semua ditanggung klub. Mereka juga dapat uang saku 250.000 rupiah per bulan,” tutur Retno Koestijah, seorang legenda hidup bulutangkis yang kini memimpin klub Jaya Raya.
Menjadi pemain nasional memang terlihat mentereng: punya mobil keluaran terbaru, mengantongi uang kontrak sponsor dan uang hadiah kejuaraan berjumlah hingga ratusan juta rupiah per tahun, serta bisa membeli rumah di kawasan elite. Khalayak akan menyambut hangat si atlet saat meraih medali olimpiade, saat mengusung gelar juara dunia, dan tentu saja saat mempertahankan atau merebut Piala Thomas. Sebaliknya, kekalahan—saat dipecundangi lawan, terutama seteru lama dari China seperti yang kerap terjadi di awal milenium ini—menjadi duka masyarakat, juga kemarahan lewat berbagai kritikan pedas yang mengalir di media massa. Seisi negeri ini terikat secara emosional dengan mereka, para bintang bulutangkis.
Sore itu, kantor yang ada di lantai 15 sebuah pencakar langit di kawasan bisnis Sudirman Jakarta telah lengang. Ruang rapat kantor tersebut cukup lapang, menampung sebuah meja kayu berpernis mengilat dengan 12 kursi yang empuk dan besar. Di dinding tergantung berbagai poster perkakas kelistrikan, metal, kawat, dan panel-panel konstruksi yang diproduksi lima perusahaan yang berpusat di kantor tersebut. Namun satu sisi dinding tampak kosong. Hanya ada satu hiasan di sana, poster bergambar tim bulutangkis putra Indonesia saat mempertahankan Piala Thomas di Hongkong 1998. Tulisan di poster itu provokatif, “Thomas Cup The Battlefield”.
Gampang saja menjelaskan keterikatan emosi bangsa ini dengan bulutangkis, tutur si pemilik perusahan, Justian Suhandinata. “Tahun 1958 ada sekelompok atlet dan ofisial yang pergi ke Singapura dengan biaya urunan. Lalu mereka pulang membawa Piala Thomas. Indonesia jadi yang terbaik di dunia dalam sebuah cabang olah raga. Otomatis itu menggedor rasa bangga,” kata Justian si pemilik Tangkas Alfamart, klub bulutangkis tertua kedua di Indonesia.
Perjalanan sejarah juga membuat bulutangkis menjadi bagian dari gerakan moral dalam mengikis politik diskriminasi ras yang diusung rezim penguasa masa lalu. Sejak awal hingga era 1990-an, atlet andalan Indonesia memang kebanyakan dari etnik China. “Kini pun sebagian tetap warga keturunan. Ini menunjukkan tanpa harus bicara, keindonesiaan itu tidak ada kaitan sama sekali dengan masalah etnis,” lanjut Justian.
Gerakan moral itu pun berlangsung di luar arena. Pada 1981 misalnya, pebulutangkis putri nomor satu Indonesia Ivana Lie berdialog dengan orang kuat nomor satu Indonesia, Presiden Soeharto, dalam anjangsana menjelang kejuaraan Piala Thomas dan Uber. Dalam perbincangan yang bocor ke media massa tersebut, Ivana secara bergurau mengatakan jika dirinya belumlah memiliki KTP. Gegerlah negeri! Bintang yang saat itu telah empat tahun menjadi “pahlawan” ternyata belum menjadi warga negara meski dirinya lahir di negeri ini dan orang tuanya yang etnik China adalah warga negara Indonesia.
!break!
Hingga awal 2000-an, hukum memang menyatakan, seorang anak tidak otomatis menjadi warga negara jika ayahnya (yang sudah warga negara) adalah keturunan China. Si anak tetap harus memohonkan dokumen kewarganegaraan kepada aparat negara. Dua puluh satu tahun setelah Ivana, sulitnya mengantongi dokumen kewarganegaraan meski prosesnya telah dijalani sekian lama kembali disuarakan juara dunia dan pemegang perak olimpiade Hendrawan.
Dengan balutan berbagai epos di dalam maupun di luar lapangan seperti itu, ribuan remaja berbondong-bondong mengejar mimpi, mencoba menempuh peruntungan hidup untuk menjadi pahlawan di arena bulutangkis. Dalam hal ini, pahlawan merupakan predikat yang memang nyata adanya. Bulutangkis adalah satu-satunya cabang olahraga yang atletnya pernah dianugerahi tanda kehormatan negara, Bintang Mahaputra dan Bintang Jasa. Sejak 1959, tercatat sembilan atlet yang menerima tanda jasa tersebut.
Tulisan pada secarik kertas yang ditempel di pintu asrama Jaya Raya menjelaskan gamblang perjalanan mengejar mimpi di pusdiklat. Isinya penuh ancaman: tidak boleh membawa televisi ke kamar, membawa kendaraan pribadi, keluar kompleks asrama selama latihan, atlet putri tidak boleh masuk ke asrama putra dan sebaliknya, dilarang menelepon atau ditelepon setelah pukul 10.00 malam, atlet yang orang tuanya tinggal di Jabotabek wajib pulang ke rumah pada hari Sabtu. Kamar harus bersih dan tertata rapi. Satu lagi, para remaja itu tidak boleh pacaran. Menyimpan, membaca, atau menonton segala yang berbau pornografi merupakan pelanggaran terberat. Diusir adalah hukumannya. Selamat tinggal “buku, pesta, dan cinta”, selamat datang “raket, asrama, dan arena”.
Tanah belum lagi terang saat belasan remaja bergegas menuju gedung latihan yang jaraknya sekitar 200 meter dari asrama. Lampu-lampu ruangan mereka nyalakan dan mulailah rutinitas mengisi pagi: berlari, melompat, mengangkat barbel, dan apa pun perintah yang keluar dari mulut pelatih. Keringat membasahi lantai, meski hari belum lagi terik. “Latihan pagi sampai pukul setengah delapan. Setelah itu, mereka bersiap ke sekolah dan harus kembali latihan pukul satu siang,” kata Erwan, pelatih.
Kompleks sekolah menengah khusus bagi atlet pelajar yang ada di ujung selatan Jakarta tersebut memang luas, 17 hektare, dan hijau. Di dalamnya ada kolam renang, lapangan atletik, sepak bola, berbagai gedung olahraga, juga sejumlah warung makan. Namun, hanya itulah dunia atlet pusdiklat Jaya Raya. Senin hingga Jumat, para pemain tidur, makan, berlatih (menghabiskan 312 shuttlecock per hari), dan bersekolah di sana. Mereka tidak boleh keluar dinding kompleks. “Kalau terpaksa, misalnya untuk beli buku, mereka harus minta izin kepada pelatih,” tutur Retno.
Tempat tinggal para pebulutangkis belia itu terletak di belakang kolam renang dalam bentuk dua buah rumah bercat hijau yang bersisian dengan pohon-pohon jambu air di pekarangan. Setiap rumah terdiri dari 10 kamar yang saling berhadapan, dipisahkan oleh lorong panjang hingga ke ruang televisi yang sempit. Malam itu di dalam kamarnya, Yuriansya asyik duduk di atas karpet sambil menatap layar komputer jinjing.
!break!
Telah dua setengah tahun remaja 17 tahun itu tinggal di dalam ruangan seluas 9 meter persegi yang berpenyejuk udara, disesaki oleh dua kasur pegas dan satu lemari besar dua pintu itu. Jendela di kamar tersebut kecil. Tak ada pemutar CD atau radio, tak ada playstation. Mungkin, satu-satunya penghibur hati adalah gitar yang sering berpindah dari satu kamar ke kamar lainnya.
Sehari mengikuti ritme kehidupan atlet-atlet belia itu adalah sehari yang menjemukan. Bangun dini hari, berlatih mengolah raga, kembali ke kamar untuk mandi, sarapan, sekolah, latihan lagi, kembali ke kamar, makan malam, lalu bersiap tidur. “Tiga bulan pertama adalah masa yang paling berat,” tutur Yuriansya si remaja asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Di kampung halamannya, Yuriansya adalah anak yang dimanja. Ayahnya pengusaha, ibunya seorang dokter, tipikal keluarga yang bahagia, juga sejahtera. Namun di kamar itu, Yuriansya tak lagi memiliki semua kenyamanan tersebut dan semua bermula dari mimpinya untuk menjadi bintang bulutangkis, seperti yang dia lihat dalam siaran televisi saat usia belum lagi genap tujuh tahun. Singkat cerita, Yuriansya kecil bergabung ke klub di kotanya, kemenangan demi kemenangan dalam turnamen pelajar dia raih, hingga pintu Jaya Raya terbuka.
“Di kampung, saya berlatih bulutangkis paling cuma sekali sehari. Di sini, sehari dua kali, lama, dan jauh lebih berat. Saya tidak menyangka,” kata Yuriansya mengenang. Tak heran, dia kerap absen berlatih di pekan-pekan pertama keberadaannya karena badan belianya serasa luluh-lantak mengikuti program latihan. Suhu tubuhnya pun meningkat sehingga Yuriansya hanya bisa terkapar di kasur kamarnya.
Hari libur latihan, Sabtu dan Minggu, adalah penderitaan yang berbeda bagi pendatang baru asal luar Jabotabek seperti dirinya. Saat rekan-rekannya yang lain pulang ke rumah, dia hanya bisa menatap lekat dinding kamar. Lagi-lagi, raket yang tergantung di sana. Anak lelaki yang baru menginjak puber itu pun menangis. “Saya sering telepon Mama. Mengadu. Ingin pulang rasanya. Tapi bagi kami yang dari luar kota, pulang kampung hanya diizinkan saat libur panjang Natal atau Lebaran,” tuturnya.
Kenyataanya, hampir tidak ada anak yang menyerah dan mundur dari pusdiklat sepanjang sejarah klub tersebut. “Tidak ada. Malah kalau ada yang dinilai mentok, tidak maju-maju, ngeluarinnya yang susah. Mereka tidak mau,” kata Retno tertawa. Pengakuan mantan juara All England itu seolah diamini oleh Tike Pamungkas, ibu salah satu atlet. “Anak saya malah tidak mau pulang di hari Sabtu. Sampai saya ancam. Jika kamu tidak pulang, Mama yang datang ke asrama.” Terlepas dari ancaman itu, orang tua seperti Tike dan ibunda Yuriansya adalah salah satu faktor yang membuat si anak mampu menguatkan hati agar bertahan dalam pusdiklat dan tetap berada dalam rel menuju mimpi. Pengorbanan mereka bahkan jauh lebih besar daripada si anak sendiri.
Yul Asteria Zakaria menggeleng-gelengkan kepala seraya tertawa saat ditanya apakah dirinya sejak awal serius menginginkan putranya Markis Kido menjadi pebulutangkis. “Waktu itu anak-anak saya mengikuti banyak kegiatan, sepatu roda, renang, catur, bulutangkis. Kido menonjol di semuanya. Karena terlalu banyak, saya harus fokuskan di satu kegiatan saja. Saya pilih bulutangkis karena jenjang kejuaraannya bagus dan rutin,” kata Yul di salah satu rumahnya di bilangan Bekasi.
!break!
Di jalan tersebut terdapat empat buah rumah milik keluarga Yul. Salah satu rumah tampak begitu asri, terdiri dari taman dengan kolam-kolam ikan, saung, dua buah bangunan yang salah satunya diubah menjadi museum penuh dengan piala, foto-foto, koleksi kliping media massa, semuanya tentang kiprah ketiga putranya yang kini menjadi pemain nasional. Di ruangan berpendingin udara itu pula, diletakkan sebuah meja biliar. Menurut Yul, sebagian besar harta tersebut dibeli oleh putra sulungnya Markis Kido yang dalam tiga tahun belakangan sukses merengkuh berbagai prestasi, antara lain juara dunia dan juara olimpiade bersama pasangannya di ganda putra, Hendra Setiawan.
Sekitar 18 tahun lalu, hanya sebuah rumah yang dimiliki keluarga Yul di jalan tersebut. Itu pun sempat digadaikan agar Kido dan kedua adiknya dapat terus berlatih dan mengikuti turnamen bulutangkis. Demi bulutangkis, satu demi satu harta yang dikumpulkan Yul dan suaminya, Djumharbey Anwar almarhum lepas satu demi satu.
Mobil dijual, tetapi Yul tidak kehilangan akal. Agar anak-anaknya tetap bisa berangkat ke gedung bulutangkis untuk latihan, dia membeli empat sepeda. “Satu anak satu sepeda, saya yang mengantar juga naik sepeda,” katanya. Sebelas tahun silam, perjalanan mereka memasuki tahap selanjutnya, Kido dan salah satu adiknya Bona Septano diterima di pusdiklat Jaya Raya.
Namun, hal itu bukan berarti Yul dapat bersantai diri. Dia justru sengaja memilih hengkang dari rumah untuk tinggal di kampung dekat asrama, mengontrak sebuah rumah petak yang dindingnya separuh tembok separuh tripleks, hidup di tengah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah seperti pedagang keliling atau karyawan kecil. Sang suami yang saat itu sudah menjadi pejabat di sebuah bank swasta pun hanya bisa menggerutu. “Karena kami memiliki mobil, saya mengaku ke para tetangga kalau suami saya itu kerjanya sebagai supir perusahaan,” kata Yul.
Gaya hidup nekat yang dianut Yul demi perkembangan bulutangkis putra-putrinya tidak cuma terbatas pada ringan tangan melepas harta benda. Dia bahkan rela mengorbankan tradisi bersantai dan bergembira di hari raya. Di hari Idul Fitri, saat umat Islam umumnya berlibur dengan beramah tamah mengunjungi sanak keluarga, Yul memilih membawa anak-anaknya ke Sukabumi untuk berlatih bulutangkis. Pasalnya, hanya di kota yang berjarak 250 kilometer dari Jakarta itulah ada seorang pelatih yang mau melatih putra-putrinya di hari besar seperti itu. “Ibu itu memang luar biasa pengorbanannya,” ujar Ruben si pelatih.
Meski berbagai taruhan hidup telah dia tempuh, Yul mengaku saat itu belum berani memimpikan anak-anaknya bakal memilih bulutangkis sebagai gantungan hidup. Motivasi yang ada dalam hatinya ternyata sederhana saja. Naluri seorang ibu. “Tidak ada pikiran lain. Saat saya lihat mereka bisa juara, saya merasa harus terus memfasilitasi mereka agar tetap bisa terus menang saat bertanding. Yang namanya ibu, tidak ingin melihat anaknya kalah dari yang lain,” tuturnya. Pertaruhan pun dimenangi. Saat ini, Markis Kido menyandang predikat sebagai peringkat dua dunia di nomor ganda putra dan mendapatkan segala penghormatan seperti yang pernah diberikan masyarakat pada para pahlawan bulutangkis sebelumnya.
***
!break!
Pada kenyataannya, seseorang tidaklah menjadi manusia super saat cita-cita menjadi bintang bulutangkis terwujud. Saat berada di puncak panggung bulutangkis dunia seperti itu, si atlet pastilah olahragawan yang memiliki begitu banyak pengalaman tanding, begitu kaya akan teknik dan taktik permainan, begitu sempurna kebugarannya. Namun sebagai makhluk sosial yang telah bertahun-tahun terkungkung dalam menara gading asrama, gedung latihan, dan arena pertandingan, mereka adalah individu yang begitu miskin pengalaman dan keterampilan bermasyarakat, juga cuma memiliki sedikit wawasan di luar perbulutangkisan.
Realitas seperti itulah yang dialami Tri Kusharjanto di awal 2000-an. Siapa yang tak mengenal Trikus, pemain penuh gerak tipu, ahli waris seniman bulutangkis Denmark Sven Pri. Berbagai gelar juara telah dia sandang, medali perak Olimpiade 2000 telah dia kontongi. Namun, Trikus mengaku dirinya saat itu adalah manusia yang sangat tidak percaya diri. Kisah itu bermula ketika Trikus memutuskan menikahi pujaan hatinya. Sebagai pemain yang telah berkeluarga, dia tidak lagi boleh tinggal di dalam asrama pelatnas Cipayung. Alhasil, sebuah rumah cantik di timur Jakarta dia beli.
Pada pagi hari pertama, Trikus resah. Beberapa kali dia beranjak ke ruang tamu, mengintip jalanan yang lengang di depan rumahnya, lalu kembali masuk ke dalam kamar tidur. Tas besar yang telah rapi berisi perlengkapan latihan tergeletak begitu saja, menunggu sang pemilik membawanya ke Cipayung. Namun, Trikus ragu-ragu mengangkatnya. Fragmen seperti itu terjadi setiap pagi di hari-hari pertamanya di rumah idaman. “Waktu itu saya tidak berani keluar rumah. Saya takut kalau sampai bertemu dengan tetangga. Kalau sampai disapa dan diajak ngobrol, saya takut tidak tahu harus bagaimana, kata Trikus sang juara. “Dalam bayangan saya, mereka kan orang kantoran, pendidikannya tinggi. Saya merasa tidak bisa mengimbangi obrolan mereka.”
Lintasan pada “jalan bulutangkis” ternyata tidaklah berakhir saat sang pemimpi telah menjadi bintang. Tahap selanjutnya adalah perjalanan melatih diri untuk meraih sukses sebagai warga biasa yang bagian terberatnya terjadi di saat sang bintang memutuskan menggantung raketnya di penghujung usia 20-an atau awal 30-an tahun. Inilah kisah Hariyanto Arbi si pemilik smash 100 watt, pemuncak bulutangkis putra dunia era 1990-an setelah memutuskan mengakhiri 13 tahun kungkungan dinding asrama dan arena bulutangkis. Langkah pertama: mencari kerja atau berbisnis, toh uang sudah ada. “Tapi saya sama sekali tak memiliki bayangan mau apa, tidak tahu mau bikin apa. Susah sekali, bingung,” katanya.
Akhirnya tujuh tahun silam, dia memutuskan merintis bisnis sepatu dan raket bulutangkis bersama dua mantan pemain nasional lainnya, Fung Permadi dan Wahyu Agung. Keputusan itu membuat ketiganya seperti manusia kota yang tiba-tiba jatuh dari langit. Tiba-tiba Hariyanto sadar, dirinya tidak tahu cara berjualan: ke toko mana dia harus menjual, berapa keuntungan yang harus disisihkan bagi agen, berapa banyak barang yang harus dia pesan ke pabrik. “Pertama kami pesan saja ke pabrik 2.000 pasang sepatu. Ternyata itu jumlah yang sangat banyak untuk orang yang baru memulai usaha dan belum tahu pasarnya seperti apa,” kata Hariyanto.
Kenyataannya, bisnis Hariyanto kini terbilang sukses, dia mampu mensponsori pasangan peringkat dua dunia Hendra/Kido dengan nilai kontrak di atas satu miliar rupiah per tahun. Dengan bangga Hariyanto juga menunjukkan hasil jajak pendapat di salah satu situs. “Sekarang, produk sepatu bulutangkis kami nomor dua terpopuler di Indonesia,” ujar Hariyanto di ruang kantornya yang sejuk di kawasan Senayan Jakarta.
Hariyanto, Fung, atau Agung tidak pernah mengikuti kursus atau kuliah bisnis manajemen. Dalam nada yang datar Hariyanto menjelaskan, modal dirinya hanyalah bulutangkis yang dia sebut dunia yang kejam: hanya ada satu pemenang dari sekian banyak atlet yang berlaga, hanya ada satu juara dunia bagi sekian ratus ribu pemain—pehobi maupun mereka yang serius menekuni bulutangkis. “Yang bisa menang adalah yang tidak pernah menyerah, yang tidak pernah lelah berlatih keras. Saya baru sadar kalau itu juga saya jalani di bisnis ketika ada orang yang bilang, saya bekerja seperti kuda, pagi sampai malam, termasuk hari libur. Saya justru bingung karena saya tidak merasa pernah lelah,” kata Hariyanto. Bagi Hariyanto dan banyak mantan pebulutangkis lainnya, “raket, asrama, dan arena” bukanlah jalan membentuk juara, tetapi membentuk manusia seutuhnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR