Pada hari ini, penduduk Greenland yang berjumlah 56,000 jiwa masih tinggal di lahan berbatu di antara lautan dan es, sebagian besar tinggal di sejumlah kota di sepanjang pantai barat. Gletser dan garis pantai yang sangat dekat dengan fjord tidak memungkinkan untuk dibangunnya jalan antarkota; setiap orang melakukan perjalanan menggunakan perahu, helikopter, pesawat terbang, atau di musim dingin, dengan kereta anjing. Lebih dari seperempat penduduk Greenland, sekitar 15,500 orang tinggal di Nuuk, ibukota Greenland, sekitar 480 kilometer sebelah utara Qaqortoq tepat di tepi lautan.
Ambil satu bagian kota tua Greenland yang artistik, lengkap dengan fjord dan latar pegunungan yang menakjubkan, berpadu dengan, mungkin, empat buah apartemen beton yang kaku dan muram, ditambah dua lampu lalu lintas, kemacetan lalu lintas harian, serta lapangan golf sembilan hole maka itulah kota Nuuk. Blok-blok apartemen yang luas tetapi tak terawat adalah warisan program modernisasi yang dipaksakan dari kurun 1950-an dan 1960-an, saat pemerintah Denmark memindahkan warga dari sejumlah desa kecil tradisional ke sejumlah kota besar. Tujuannya adalah meningkatkan akses masyarakat ke sekolah dan pelayanan kesehatan, mengurangi biaya, dan menyediakan pekerja untuk sejumlah pabrik pemeroses dalam industri perikanan yang tumbuh pesat di awal 1960-an, tetapi telah kini telah runtuh. Apa pun keuntungan yang diperoleh, kebijakan itu telah menelurkan sejumlah masalah sosial—kecanduan alkohol, keluarga yang tercerai-berai, kasus bunuh diri—yang masih menimpa Greenland.
Namun pagi itu, di hari pertama musim panas 2009, suasana di Nuuk sungguh meriah: Greenland tengah merayakan dimulainya era baru. Pada November 2008, sebagian besar penduduk Greenland menjalani pemilihan umum untuk meningkatkan kemandirian mereka dari Denmark yang telah memerintah Greenland dalam berbagai bentuk sejak 1721. Perubahan tersebut diresmikan pagi itu dalam sebuah upacara di pelabuhan Nuuk yang merupakan jantung dari kota kolonial tua tersebut. Ratu Margrethe II dari Denmark secara formal akan mengakui hubungan baru antara negaranya dengan Kalaallit Nunat, itulah sebutan penduduk Greenland untuk tanah airnya.
Per Rosing, lelaki Inuit berusia 58 tahun yang ramping dengan rambut ekor kudanya yang mulai beruban dan sikapnya yang lembut memimpin paduan suara nasional Greenland. ”Aku bahagia, benar-benar bahagia,” ujarnya sambil meletakkan tangan di dada saat kami berjalan bersama dalam kerumunan yang besar menuju pelabuhan, menyusuri jalanan yang masih basah akibat turunnya hujan dan salju yang membekukan semalam. Orang-orang berhamburan dari Blok P, bangunan apartemen terbesar di Nuuk, yang menaungi satu persen populasi Greenland. Bangunan tanpa jendela tersebut telah menjadi kerangka untuk karya seni yang sangat optimistis: bendera Greenland setinggi empat lantai berwarna merah dan putih. Seorang artis setempat menjahit bendera itu dengan pertolongan anak-anak sekolah dengan memanfaatkan ratusan lembar pakaian.
!break!
Pada pukul 7:30 orang-orang penuh berkumpul di atas dok. Banyak juga yang berada di atas atap-atap rumah kayu tua di sekeliling pelabuhan; beberapa menonton dari perahu kayak, mendayung cukup dekat untuk mengambang di atas lautan yang tenang dan berkilauan itu. Upacara dimulai dengan paduan suara menyanyikan lagu kebangsaan Greenland, ”Nunarput Utoqqarsuanngoravit—Engkau, Tanah Pusaka Kami.” Rosing menghadap khalayak dan memberi tanda lewat gerakan tubuh agar semua orang ikut bernyanyi. Hari itu, Kalaallisut, sebuah dialek Inuit, menjadi bahasa resmi Greenland, menggantikan bahasa Denmark.
Kemudian, tak lama selewat pukul delapan pagi, ratu Denmark yang mengenakan pakaian tradisional Inuit untuk perempuan yang sudah menikah—sepatu merah setinggi betis dari kulit anjing laut atau kamiks, syal bermanik-manik, dan celana bulu anjing laut—memberikan piagam kedaulatan yang baru kepada Josef Tuusi Motzfeldt, ketua Parlemen Greenland. Para hadirin bersorak-sorai dan tembakan meriam di atas bukit membahana di atas pelabuhan mengirimkan gelombang udara yang menyapu tubuh kami bagaikan semburan adrenalin.
Berdasarkan piagam itu, Denmark masih menangani kebijakan luar negeri Greenland; subsidi tahunan pun masih dilanjutkan. Namun Greenland kini memiliki kendali yang lebih besar untuk masalah dalam negerinya—dan khususnya atas sumber daya mineralnya yang besar. Tanpa sumber daya itu, tidak mungkin Greenland bisa mandiri secara ekonomi. Kini perikanan meliputi lebih dari 80 persen pendapatan ekspor Greenland; udang dan ikan pecak menjadi komoditi utama. Walaupun persediaan ikan pecak masih cukup besar, tetapi populasi udang telah menurun. Royal Greenland, perusahaan perikanan pelat merah kini terus menerus merugi.
Penyebab turunnya populasi udang—di Greenland disebut sebagai ”emas merah muda”—tidaklah begitu jelas. Soren Rysgaard, direktur Pusat Penelitian Iklim Greenland di Nuuk, mengatakan iklim Greenland menjadi semakin tidak menentu disamping menjadi lebih hangat. Suhu laut yang semakin meningkat mungkin telah mengganggu jadwal bertelurnya larva udang dan tumbuhnya fitoplankton yang menjadi makanan utama larva tersebut; tidak ada yang mengetahui dengan persis. Para nelayan berharap ikan kod akan kembali begitu air laut menghangat. Namun setelah peningkatan kecil beberapa tahun lalu, populasi kod menurun kembali.
!break!
”Kehidupan tradisional Greenland mengandalkan kestabilan,” ujar Rysgaard. Selain dari Greenland selatan yang selalu disapu badai Atlantik, iklim negara itu, walaupun cukup dingin, jarang berubah drastis. Lapisan es raksasa dengan udara dingin yang padat memaksakan kestabilan di hampir seluruh penjuru negara. ”Di musim dingin kami bisa berburu atau memancing menggunakan kereta anjing di lautan es. Di musim panas kami bisa berburu menggunakan kayak. Apa yang terjadi sekarang adalah ketidaksabilan, kondisi yang khas Greenland selatan tengah bergerak ke utara.”
Johannes Mathaeussen, nelayan ikan pecak suku Inuit yang berusia 47 tahun telah melihat perubahan itu dengan mata kepala sendiri. Mathaeussen tinggal di Ilulissat (bahasa Greenland untuk ”gunung es”), sebuah kota yang terletak sekitar 300 kilometer di utara lintang Arktika dengan penduduk 4.500 jiwa dan jumlah kereta anjing yang hampir sebanyak penduduknya. Pada suatu hari di akhir Juni, kami berlayar dari pelabuhan Ilulissat, melewati sebuah kapal pukat-udang yang besar. Kami menggunakan perahu terbuka Mathaeussen yang panjangnya 4,5 meter, sebuah perahu khas nelayan ikan pecak di daerah itu. Pemancingan di musim panas masih menghasilkan cukup banyak ikan, tetapi musim dingin mulai jadi masalah.
”Dua puluh tahun lalu, di musim dingin, kami masih bisa mengemudikan mobil di atas es menuju Pulau Disko,” ujar Mathaeussen, menunjuk ke sebuah pulau besar sekitar 15 kilometer dari bibir pantai. ”Selama 10 dari 12 tahun terakhir ini, teluk itu tidak pernah membeku lagi di musim dingin.” Sewaktu teluk masih membeku, Mathaeussen dan nelayan lainnya akan mengendarai kereta anjingnya lalu pergi memancing sekitar 15 kilometer dari fjord. ”Aku akan menghabiskan satu hari satu malam dan kembali dengan 100 atau 250 kilogram ikan pecak di keretaku. Kini memancing pada musim dingin di fjord sangat berbahaya bila kita membawa beban berat; esnya terlalu tipis.”
Mathaeussen mengarahkan perahunya melewati ngarai es yang sudah runtuh, yang perlahan-lahan hanyut ke tengah laut. Gunung es terbesar menjulang 60 meter di hadapan kami dengan bagian bawahnya menyentuh dasar lautan sekitar 180 meter di bawah permukaan laut. Tiap gunung es memiliki topografinya sendiri yang berbentuk bukit, tebing, gua dan sungai putih mulus yang terbentuk oleh arus lelehan es. Semua gundukan es ini berasal dari Jakobshavn Isbrae, alias Sermeq Kujalleq, ’gletser selatan’, yang menguras 7 persen lembaran es Greenland dan melepaskan lebih banyak gunung es dibandingkan gletser lainnya di Belahan Utara Planet ini. (gunung es yang menenggelamkan Titanic mungkin berasal dari tempat ini). Pada 10 tahun terakhir, garis pantai Sermeq Kujalleq telah menyurut lebih dari 15 kilometer ke dalam fjord. Pantai itu telah menjadi pusat wisata yang terbesar di Greenland terbesar--19,375 orang datang untuk melihat dampak pemanasan global di tempat tersebut pada 2008. Namun turisme tetap menjadi sumber pendapatan kedua setelah perikanan; karena musimnya pendek, akomodasi terbatas, dan biaya perjalanan mahal.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR