Pondasi ekonomi Greenland di masa depan berada di balik Pulau Disko, tepat di belakang cakrawala dari lahan pemancingan Mathaeussen yang spektakuler. Di sana ada cadangan minyak. Lautan di lepas pantai bagian barat-tengah kini biasanya terbebas dari es hampir setengah tahun lamanya, satu bulan lebih lama dibandingkan 25 tahun yang lalu. Dengan kemudahan beroperasi di perairan Greenland, ExxonMobil, Chevron, dan perusahaan minyak lainnya telah mendapatkan surat izin eksplorasi. Cairn Energy, sebuah perusahaan dari Skotlandia, berencana untuk mengebor sumur eksplorasinya yang pertama pada tahun ini. ”Kami telah menerbitkan 13 surat izin meliputi daerah seluas 130.000 kilometer persegi di lepas pantai barat, sekitar tiga kali luas Denmark,” ujar Jorn Skov Nielsen, direktur Biro Pertambangan dan Perminyakan Greenland. Kami menghadiri konvensi perdagangan yang sedang tumbuh pesat di pusat konferensi di Nuuk pada sore hari Sabtu yang dibasuh hujan. Hembusan bau minyak dari contoh batu – bongkahan basal berukuran dan berbentuk setengah bola boling – dipamerkan di atas meja di dekat kami. ”Produksi mungkin akan dimulai dalam 10 tahun kalau kami beruntung,” ujar Nielsen. ”Kami telah mendapatkan perkiraan cadangan yang sangat menjanjikan di sebelah barat laut dan timur laut Greenland—sekitar 50 milyar barel minyak dan gas.” Dengan harga minyak yang kini melewati 80 dolar AS per barel, cadangan itu bisa menghasilkan pendapatan lebih dari empat trilyun dolar, rezeki nomplok yang bisa menopang kebebasan negara tersebut.
Namun, sebagian penduduk Greenland melihat hal tersebut sebagai kemudharatan yang tertunda. Sofie Petersen adalah pendeta Gereja Luther yang kantornya—salah satu rumah kayu tua yang amsih tersisa di Nuuk—menghadap ke pelabuhan. Tepat di puncak bukit berdiri patung Hans Egede, seorang misionaris Luther romantis yang datang ke tempat ini di tahun 1721 mencari orang yang selamat dari pemukiman Norse. Dia tidak menemukan orang Norse satu pun juga tetapi mendirikan Nuuk, atau Godthab, begitulah sebutan orang Denmark, dan memulai kolonisasi Denmark atas Greenland dan konversi ke agama Kristen. Seperti hampir semua warga Greenland, Petersen memiliki nama keluarga Denmark meski dia sesungguhnya suku Inuit.
”Kurasa minyak akan merusak cara hidup kami,” ujarnya. ”Tentu saja semua orang perlu uang, tetapi apakah kita harus menjual jiwa kita? Apa yang terjadi bila kami menjadi jutawan, kami semua, dan kami tidak bisa menceritakan tentang Greenland yang kami kenal kepada anak cucu kami? Aku lebih memilih tidak punya banyak uang namun bisa memberikan lahan ini kepada anak cucu kami.”
”Persoalan minyak menimbulkan dilema besar karena masyarakat Kutub Utara adalah orang-orang yang paling terkena dampak perubahan iklim,” ujar Kuupik Kleist, perdana menteri Greenland yang baru dan populer. Kleist yang telah membuat rekaman beberapa CD adalah seorang lelaki dengan penampilan bak seorang profesor, bertubuh lebar, berusia 52 tahun dengan suara seraknya yang nyaring lagi merdu. Ironi bahwa negaranya akan menjadi produsen utama komoditas yang mempercepat melelehnya lembaran es tidak terabaikan dari perhatiannya.
!break!
”Kami memerlukan ekonomi yang lebih kuat,” ujar Kleist, ”dan kami harus menggunakan kesempatan yang dibawa minyak kepada bangsa ini. Ahli lingkungan hidup di seluruh dunia menyarankan agar kami tidak mengeksploitasi cadangan minyak. Namun kami tidak berada di dalam situasi di mana kami bisa dengan mudahnya mengganti sumber pendapatan dari perikanan yang terus turun sementara saat ini kami tidak memiliki sumber pendapatan lainnya yang sebesar minyak.”
Sesungguhnya ada sumber daya lain dengan potensi yang sangat besar, tetapi sama mengkhawatirkannya. Greenland Minerals and Energy Ltd., sebuah perusahaan Australia, telah menemukan persediaan logam langka yang terbesar di dunia di dataran di atas kota Narsaq, Greenland selatan. Barang tambang langka itu sangat dibutuhkan dalam sejumlah besar teknologi ramah lingkungan—aki untuk mobil hibrid, turbin angin, dan bohlam lampu fluorescent yang padat—dan Cina kini mengendalikan lebih dari 95% dari pasokan dunia akan logam tersebut.
Pengembangan cadangan di Narsaq pasti akan mengubah pasar global secara fundamental dan mentransformasi ekonomi Greenland. John Mair, manajer umum Greenland Minerals and Energy mengatakan bahwa cadangan Narsaq bisa menopang operasi tambang skala besar selama lebih dari 50 tahun, mempekerjakan ratusan orang di kota yang telah terguncang akibat runtuhnya industri ikan kod. Perusahaannya kini sedang mempekerjakan lusinan pegawai yang sedang menelaah lokasi tersebut. Namun ada rintangan besar dalam mengembangkan industri tersebut: bijih logam tersebut ternyata dilapisi uranium dan pemerintah Greenland telah melarang sepenuhnya penambangan uranium. ”Kami belum mengubah peraturan itu dan tidak berencana untuk mengubahnya,” ujar Kleist. Sepertinya tidak ada jalan yang mudah untk mewujudkan Greenland yang lebih hijau.
Secara bergurau, penduduk Greenland menyebut daerah di sekeliling Narsaq dan Qaqortoq dengan Sineriak Nanaaneqarfik atau Pantai Pisang. Hari ini anak-cucu pemburu Inuit membuka lahan di tempat itu, di sepanjang fjords yang digunakan bangsa Viking untuk bercocok tanam. Jika Greenland ingin menjadi hijau di mana-mana, inilah tempatnya. Namun begitu tiba di tempat itu, Kenneth Hoegh si ahli agronomi memperingatkan diriku untuk melupakan apa yang aku baca tentang melimpahnya lahan pertanian di Greenland. ”Panen di Kutub Utara,” begitu tertulis di salah satu tajuk berita; ”Di Greenland, Kentang Tumbuh Subur,” tulis tajuk lainnya. Kentang memang tumbuh di Greenland sekarang ini. Namun belum terlalu banyak.
!break!
Pada pagi hari bulan Juli yang indah, aku dan Hoegh melaju dengan kecepatan 25 knot di fjord yang ditempati Erik the Red 1.000 tahun lalu. Tujuan kami adalah Ipiutaq, populasinya tiga orang. Kalista Poulsen menunggu kami di sana, di atas gundukan batu di bawah pertaniannya di pantai utara dari fjord tersebut. Bahkan dengan menggunakan pakaian terusan abu-abu yang kumal, Poulsen lebih terlihat seperti ilmuwan daripada petani: Tubuhnya ramping, mengenakan kaca-mata, dan berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen yang Perancis. Buyutnya adalah seorang angakkoq—dukun—salah satu yang terakhir di Greenland yang telah membunuh banyak orang dalam sejumlah pertikaian sebelum akhirnya masuk ke dalam Kristen setelah mendapatkan visi Yesus.
Kami berjalan melintasi ladang rumput timothy (Phleum pratense) dan gandum hitam (Lolium perenne) milik Poulsen yang subur. Dibandingkan dengan tebing fjord yang kelabu, tanaman untuk pakan ternak tersebut hampir terlihat berkilauan. Di bulan September, Poulsen akan membeli dombanya yang pertama, ternak yang dikembangbiakkan oleh hampir semua peternak Greenland, kebanyakan untuk diambil dagingnya. Dia membeli pertanian itu di tahun 2005, saat dunia luar pertama kali mendengar Greenland yang lebih hangat dan jinak.
Dari sudut pandang Poulsen, janji itu sepertinya sangat jauh dari kenyataan. ”Ini adalah daerah peperanganku,” ujarnya saat kami berjalan susah payah melewati lahan berlumpur penuh batuan besar yang dia bersihkan untuk dijadikan lahan pertanian dengan sebuah backhoe dan traktor bajak yang besar, yang didatangkan dengan sebuah pesawat terbang militer tua. Saat aku bertanya kepada Poulsen apakah dia menganggap pemanasan global bakal membuat kehidupannya atau anaknya lebih mudah, ekspresinya berubah getir. Dia menatapku penuh arti saat menyalakan sebatang rokok, yang perlahan-lahan mengusir kerumunan nyamuk.
”Tahun lalu kami hampir mengalami bencana,” ujarnya. ”Cuaca sedemikian kering sehingga panen hanya setengah dari biasanya. Kurasa kami tidak bisa mengandalkan cuaca akan terus normal. Jika cuaca semakin hangat, kami harus menyiram lebih banyak, berinvestasi dalam sistem irigasi. Di musim dingin kami tidak mendapatkan hujan salju yang normal; turun hujan lalu membeku. Itu tidak baik untuk rerumputan. Semua lahanku akan hancur dalam cuaca dingin.”
!break!
Pada saat makan siang di rumah Poulsen yang putih dengan rangka rumah dari kayu, kami memecahkan misteri aksen Prancisnya: Agathe Devisme, pasangannya, adalah orang Prancis. Sambil menimati makanan campuran yang dia persiapkan—udang dan lele au gratin, mattak atau kulit paus mentah, juga kue apel dengan rasa wortel liar—pikiranku melayang kepada makan malam yang lebih hambar beberapa malam yang lalu di Qaqortoq, pada sebuah gala tahunan yang dihadiri oleh hampir semua keluarga petani di Pantai Pisang. Setelah makan malam, seorang lelaki Inuit berambut putih mulai memainkan akordion dan semua orang di dalam aula, sekitar 450 orang, bergandengan tangan, mengayun bersama-sama saat mereka menyanyikan lagu syukur tradisional Greenland:
Musim panas, musim panas, betapa indahnya
Sungguh luar biasa baiknya.
Es telah mencair,
Es telah mencair...
Meninggalkan keluarga Poulsen, Hoegh dan aku kembali menyusuri fjord dengan fon – angin di atas lempengan es – berhembus di buritan kami. Hoegh cukup merasa puas, ujarnya sebelum ini, bila pertanian Greenland mencapai titik di mana mereka bisa menumbuhkan sebagian besar pakan ternaknya sendiri untuk domba dan sapi di musim dingin; sebagian besar pertanian, yang tidak mampu memberi makan penduduknya sendiri, kini mengimpor lebih dari setengah pakan ternaknya dari Eropa. Malam itu di rumah Hoegh, kami berdiri menatap kebunnya dari balik jendela. Fon berhembus semakin galak. Hujan menyapu datar, merebahkan kelembak dan lobak cinanya; pepohonan merunduk bagaikan pemuja di hadapan dewa kuno yang keras kepala. ”Sial!” Ujar Hoegh perlahan. ”Cuacanya sangat keras di sini. Akan selalu keras.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR