Di gurun Afar di Etiopia, terdapat banyak cara untuk mati. Ada penyakit, tentu saja. Namun, kita juga dapat binasa akibat terkaman binatang buas, patukan ular, jatuh dari tebing, atau terperangkap dalam pertempuran bersenjata di antara salah satu klan Afar dan kaum Issa di seberang Sungai Awash ke arah timur.
!break!
Namun, kehidupan memang rapuh di seluruh Afrika. Hal yang istimewa di sini adalah kegigihan sisa-sisa kehidupan untuk sesekali bisa tetap bertahan. Cekungan Afar bertengger langsung di puncak sebuah robekan melebar di kerak bumi. Seiring dengan waktu, gunung berapi, gempa bumi, dan akumulasi sedimen yang berlangsung lambat bersama-sama mengubur tulang-belulang itu dan kemudian, setelah melalui tenggang waktu yang amat sangat lama, memunculkannya kembali ke permukaan sebagai fosil. "Selama jutaan tahun, banyak orang menemui ajalnya di sini," kata White, ahli paleoantropologi di University of California, Berkeley. "Sesekali kami beruntung dan menemukan sisa-sisanya," dia menambahkan.
Proyek penelitian Awash Tengah, yang diarahkan oleh White bersama rekan-rekannya dari Etiopia, Berhane Asfaw dan Giday WoldeGabriel, bulan Oktober yang lalu mengumumkan keberuntungan terbesar yang berhasil mereka raih: temuan pada tahun 1994, berupa kerangka anggota keluarga kita yang telah meninggal 4,4 juta tahun yang lalu di sebuah tempat bernama Aramis, sekitar 30 kilometer di utara Danau Yardi. Kerangka perempuan dewasa yang termasuk dalam spesies Ardipithecus ramidus itu—disingkat "Ardi"—lebih dari satu juta tahun lebih tua daripada kerangka Lucy yang terkenal dan memberikan informasi jauh lebih banyak tentang salah satu unsur masa lalu yang sangat ingin diketahui dalam proses evolusi: sifat nenek moyang kita yang juga nenek moyang simpanse.
Namun, betapapun sensasionalnya, Ar. ramidus hanyalah mewakili suatu masa dalam perjalanan evolusi kita dari salah satu spesies kera menjadi spesies yang menggenggam nasib planet ini. Tidak ada tempat lain yang lebih baik di muka Bumi untuk melihat bagaimana perubahan ini berlangsung selain di Awash Tengah. Selain Aramis, lapisan-lapisan di situ yang mewakili 14 periode waktu lainnya telah menghasilkan hominid—anggota garis keturunan kita yang eksklusif (juga disebut hominin)—dari bentuk yang bahkan lebih tua dan lebih primitif daripada Ar. ramidus menjadi fosil awal Homo sapiens.
White bercerita kepada saya bahwa banyak "jendela waktu" atau daerah yang dihuni hominid ini letaknya saling berdekatan sehingga boleh dikatakan kita bisa berjalan kaki dari satu daerah ke daerah lainnya dalam waktu beberapa hari saja. Dia mengundang saya untuk bergabung dengan tim di lapangan untuk membuktikan hal tersebut. Rencana kami adalah memulai perjalanan di masa sekarang di Danau Yardi, lalu berjalan mundur menyusuri lorong waktu, menyibakkan berbagai hal yang membuat kita menjadi sosok manusia, sifat demi sifat, spesies demi spesies.
!break!
Herto: Keluarga Purba
Saya naik kendaraan menuju ke lapangan bersama dua puluhan ilmuwan dan mahasiswa serta enam orang pengawal bersenjata. Kafilah kami yang terdiri atas 11 kendaraan membawa persediaan makanan dan peralatan yang cukup untuk enam minggu. Di saat kami menyusuri dataran tinggi, tampak ladang sorgum dan jagung yang dengan rapi membentuk terasering berubah menjadi hutan yang berkabut.
Dari atas tebing yang curam, kendaraan kami berbelok-belok menuruni jalan mirip tangga raksasa yang terbentuk karena menjauhnya lempengan tanah Arab dari Afrika yang dimulai sejak kira-kira 30 hingga 25 juta tahun yang lalu. Pergerakan itu menyebabkan Cekungan Afar semakin dalam menjorok di balik bayang-bayang hujan dataran tinggi. Di bawah kami tampak perbukitan barat di latar depan yang melandai ke dataran yang tidak rata. Di cakrawala sebelah tenggara, di balik Sungai Awash yang meliuk-liuk bak pita hijau, tampak dataran tinggi yang seperti menyatu dengan kerucut gunung berapi muda Ayelu. Di bawah Ayelu tampak Danau Yardi yang gemerlap bak perhiasan perak.
Dua hari kemudian, kami berjalan di sepanjang pantainya—White, Asfaw, dan WoldeGabriel, bersama dua anggota lama proyek tersebut, geologiwan Bill Hart dan Ahamed Elema, pemimpin klan Afar Bouri-Modaitu. Selama beberapa waktu kami menyusuri tepian danau, capung (Anisoptera) yang terang beterbangan di sekitar mata kaki kami. Ini tempat yang sempurna untuk membuat fosil, baik pada saat ini maupun di masa lalu. Hewan berdatangan untuk makan dan minum, serta untuk memangsa dan dimangsa. Tulang-belulang terkubur, terhindar dari pembusukan. Selama ribuan tahun, air menetes sehingga mineral merasuk masuk, sementara zat organik terdesak keluar. White—58 tahun, sosok yang keras dan kurus seperti serigala—menyodok-nyodok benda yang belum lama mati dengan kapak es bergagang panjang. Sebuah kerangka ikan lele (Siluriformes) yang ditinggalkan elang ikan (Haliaeetus vocifer) di bawah pohon akasia. Kepala sapi, yang masih dilapisi daging kering yang mirip topeng kulit. "Jika kita ingin menjadi fosil," katanya, "inilah cara yang terbaik."
Pada hari pertama, kami berjalan kaki ke arah timur melintasi sebidang tanah sempit yang dinamakan Semenanjung Bouri, menuju Herto, sebuah desa Afar. Kami menyeruak dari keteduhan pinggiran danau dan menyeberangi bukit pasir abu-abu yang rendah. Tidak lama kemudian, seorang anak lelaki dan anak perempuan Afar datang sambil menggiring kawanan kambing untuk menyelidiki. Orang Afar adalah penggembala, dan kehidupan mereka dewasa ini tidak terlalu banyak bedanya dengan kehidupan mereka 500 tahun yang lalu. Hanya saja sekarang mereka sudah mengenal senjata api. Saat kami berjalan di bawah terik di antara kawanan hewan yang mengembik perlahan, amatlah mudah membayangkan lorong waktu sejarah yang bergegas mundur ke belakang dalam setiap langkah.
!break!
Kami mendekati Herto yang menampilkan kumpulan gubuk tertutup rerumputan dan pagar semak berduri yang mengelilinginya. Di sekitar saya, potongan fosil tengkorak kuda nil tampak menyembul dari pasir berkerikil kekuningan. Di dekatnya tampak perkakas batu berbentuk liontin berlian, berukuran sekitar 12 sentimeter dari ujung ke ujung. Orang Afar tidak membuat perkakas dari batu. Ini berarti kami telah mencapai jendela waktu yang pertama untuk memasuki masa lalu.
!break!
Pada November 1997, tim sedang menyigi daerah tempat kami sekarang berdiri, hanya dua ratus meter dari desa, ketika salah seorang anggotanya melihat potongan tengkorak hominid. Yang terkubur di dalam pasir di bawahnya adalah benda yang ternyata tengkorak manusia yang sangat lengkap.
Sementara anggota tim lainnya menggali temuan ini, WoldeGabriel, geologiwan dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, mengumpulkan sampel—potongan obsidian dan batu apung, beberapa di antaranya berukuran sebesar bola tenis. Bebatuan tersebut, yang dimuntahkan dalam bentuk cair oleh letusan gunung berapi, tak ternilai harganya bagi geologiwan karena sering kali dapat ditentukan usianya. Sampel dari Herto dianalisis oleh Paul Renne dari Berkeley Geochronology Center dan di laboratorium Bill Hart di Miami University. Hasilnya, tengkorak itu berusia 160.000 hingga 154.000 tahun.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR