Provinsi Helmand adalah daerah kekuasaan Taliban dan pusat pembudidayaan opium Afghanistan. Inilah tempat yang digunakan Amerika, dalam proyek pengembangan besar-besaran setelah Perang Dunia II, untuk membangun sistem irigasi yang masih berfungsi—tetapi, hanya karena petani Afghanistan melakukan perubahan pada saluran itu untuk menembus saluran utama yang tersumbat. Mereka mengalirkan air ke ladang A atau B dengan hanya mendorong tumpukan lumpur ke tepi dengan menggunakan cangkul. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ahli irigasi USAID saat kami menyaksikan air mengalir deras dari sebuah saluran mengairi hamparan lahan yang sangat kering, “Sungguh mengagumkan bukan, melihat sistem pengairan ini, padahal boleh dikatakan kita seperti berada di abad ke-13?”
Cukup banyak kiat cerdik di bidang pertanian yang dimanfaatkan di sini. Di Marjah, tempat tibanya Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pada Februari 2010, pertama-tama untuk melucuti Taliban dan kemudian untuk meyakinkan penduduk setempat, pasukan marinir AS yang menyigi ladang opium Marjah memandang dengan kagum ke arah lahan gurun yang warnanya begitu semarak. Banyak di antara para pemuda itu berasal dari masyarakat petani dan mau tak mau mengagumi keterampilan para petani Helmand. Wes Harris sangat terkesan menyaksikan betapa para petani itu mampu menanam kedelai dan kapas secara berdampingan dan menata tanaman anggur berumpak-umpak menuruni tanggul gurun—“memanfaatkan sepenuhnya setiap jengkal lahan.”
!break!
Mengingat Provinsi Helmand di Marjah adalah sumber yang menghasilkan 54 persen opium Afghanistan, pesan dalam kampanye tahun lalu sangat jelas bagi semua pihak. Yang sangat tidak jelas adalah apakah kampanye itu berhasil. Karena menyadari bahwa pemusnahan paksa di masa lalu menyebabkan para petani terkucil sehingga mereka berpaling kepada Taliban, Marinir AS mengumumkan pada musim semi yang lalu bahwa mereka akan membayar petani untuk memusnahkan ladangnya sendiri—Rp3 juta untuk setiap acre ladang yang dimusnahkan. Sejumlah besar petani langsung menolak tawaran ini. Banyak di antara petani yang menerima tawaran ini gagal memenuhi tenggat pemusnahan yang ditetapkan selama tujuh hari. Dengan niat baik, tenggat ini diperpanjang—memberikan waktu yang cukup kepada petani untuk memanen dulu opium, lalu menerima bayaran dari ISAF. (“Apakah para petani itu hanya menyerahkan sebagian opium mereka dan menyembunyikan sisanya? Mungkin saja,” begitu pengakuan salah seorang anggota marinir.) Namun, keberuntungan berpihak kepada Marinir: 2010 merupakan musim tanam yang buruk bagi petani opium Helmand karena bunga es, musim kemarau, penyakit, dan serangga memangkas hasil panen hingga setengahnya.
Di Camp Henson, pos pasukan Marinir di Marjah, 200 ton pupuk dan kemasan benih menumpuk di samping beberapa truk yang baru saja mengirimkankannya. Kaca depan salah satu truk pecah, dan empat dari pengemudi iring-iringan truk dari ibukota Helmand, Lashkar Gah, sekarang berada di rumah sakit, setelah kena tembakan dalam serangan yang dilancarkan Taliban. Benih tersebut—kacang panjang, lobak merah, alfalfa (Medicago sativa), semangka, jagung—akan dijual kepada seribu petani di kawasan itu dengan harapan mereka berhenti menanam opium.
Keesokan harinya, puluhan petani datang untuk mengambil insentif terakhir. Datang ke pangkalan Marinir saja sudah merupakan risiko yang membuat gentar banyak petani lain yang memutuskan untuk tidak datang. Taliban mendirikan pos pemeriksaan dan menyita barang bawaan baru itu dari para petani yang lewat. Konon seorang anak lelaki dipaksa menelan kartu pendaftaran yang diterbitkan ISAF. Seorang tetua suku yang diketahui membantu Marinir “dipukuli sampai babak belur,” menurut seorang juru bahasa militer. Bagi kebanyakan warga Afghanistan, Taliban sosok kejam yang sudah mereka kenal—dan, yang lebih pasti, sosok kejam yang sangat mungkin akan tetap berada di situ setelah pasukan ISAF pergi.
“Para petani ini bermuka dua dan berpihak kepada yang sedang berkuasa,” kata John Hurrell dari Rift Valley Agriculture, LSM yang mengelola pembagian benih dan pupuk. “Tanaman apa pun yang memberikan hasil terbaik, itulah yang mereka tanam. Menurut pendapat pribadiku, mereka menjual pupuk dan benih itu dan kembali menanam opium.” Salah seorang petani yang kudapati keluar dari markas Marinir sambil membawa sekantong benih masih belum memutuskan. “Tergantung pada keputusan pemerintah daerah setelah pasukan militer itu pergi,” katanya. “Kalau diizinkan, saya akan menanam opium.”
!break!
“Ada dua jenis uang di sini: opium, dan dolar AS,” kata seorang petani Helmand tak berjanggut yang bernama Rehmatou saat dia meninggalkan pangkalan Marinir sambil membawa pupuk. “Ini perekonomian kami. Taliban tidak menekan saya—itu hanya cerita yang ditayangkan TV saja. Saya menanamnya untuk diri sendiri. Saya menyelundupkannya untuk diri sendiri. Bukan karena Taliban. Kemiskinanlah penyebabnya. Dan kami akan terus menanam opium di sini—kecuali jika dipaksa berhenti. Kekuatan adalah solusi untuk segala hal. Sebagaimana kata orang Pashtu, “Kekuasaan bisa meratakan gunung.”
“Siapa yang akan menghentikan para penyelundup itu—polisi?” tanyanya sambil tertawa. “Justru polisilah yang mengangkut opium kami dalam mobilnya! Anda lihat gedung-gedung besar di Lashkar Gah dan Kandahar? Itu uang hasil korupsi." Rehmatou tidak menunjukkan dukungan bagi Taliban—"Mereka orang jahat”—tetapi, sistem yang diberlakukan oleh Taliban bisa diterimanya. Sikap sinisnya yang mencengangkan itu pudar ketika saya bertanya, “Apakah perekonomian yang mengandalkan opium benar-benar buruk bagi Afghanistan?”
“Ini cara yang buruk untuk mendapatkan uang,” kata Rehmatou dengan sungguh-sungguh. “Membuat kami tidak terlatih untuk bekerja di bidang lain. Apabila seorang ayah memberi makan anaknya dengan uang dari opium, si anak akan menanam opium juga. Dia tidak punya keterampilan lain. Tidak ada yang bisa menjadi tukang kayu, teknisi, montir. Kami tidak punya keterampilan apa-apa.”
Dengan senyum pilu si petani berkata, “Ibarat kanker yang menggerogoti negeri kami.”
Apakah mungkin kanker itu disingkirkan? Provinsi Nangarhar yang berbatasan dengan Pakistan di timur, yang sudah lama menjadi rute penyelundupan narkoba, dan pegunungannya luas—mencakup Celah Khyber dan kompleks perguaan Tora Bora—terkenal karena hukum rimbanya. Dengan iklim Mediteranianya, Nangarhar pernah menjadi penghasil opium terbesar di Afghanistan sampai 2004. Pemusnahan paksa mulai dilakukan pada 2005, namun janji pemerintah untuk menyediakan mata pencaharian lain tidak dipenuhi pada awalnya, dan bahkan ibukota provinsi Jalalabad masih tetap terbelakang dan sepi.
!break!
Sekarang, kota itu dan lingkungannya menampilkan kisah sukses tanpa bergantung pada opium. Daerah pedesaan subur, yang sejak lama dipandang sebagai pemasok pangan Afghanistan, disemarakkan oleh kubis merah dan tomat. Jalanan Jalalabad sekarang termasuk jalanan paling hidup di Afghanistan, dan di pasarnya yang ramai, ratusan truk tiba setiap pagi, membawa puluhan jenis hasil bumi seperti semangka, kentang, squash, okra, dan bawang Bombay. Tidak satu pun dari hasil bumi itu yang bisa bersaing dengan opium yang jauh lebih menguntungkan, dan seorang petani kentang yang saya temui di pasar berkata bahwa dia bekerja di malam hari sebagai satpam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Tetapi, saya tidak menyesal—saya senang tidak menanam opium lagi,” katanya.
Di desa Yaghi Band, yang dulu boleh dikatakan hanya menanam opium, sekelompok tetua suku mengenang kembali masa pasca-opium di Nangarhar di dalam ruangan yang menghadap ke sawah, ladang kapas, brokoli, dan tanaman lain. “Kehidupan memang tidak sebaik lima tahun silam,” ujar salah seorang di antara mereka. “Tetapi, sekitar 60 persen dari yang pernah kami hasilkan. Dan kami penuh harapan pada proyek baru.” Di antara berbagai proyek itu terdapat proyek yang terletak tepat di bawah kami: pabrik tekstil yang digerakkan oleh pembangkit tenaga air, yang didirikan oleh perusahaan yang disubkontrak oleh USAID. Kontribusi untuk provinsi tersebut yang berasal dari berbagai program seperti ini tampaknya sangat berlimpah.
Di antara yang saya kunjungi adalah bendungan dan saluran irigasi baru, jembatan baru, koperasi anyaman untuk kaum perempuan, pabrik keripik kentang, pabrik pengolah madu, pabrik selai, dan pasar induk kota, yang wakil direkturnya, Khwaja Mohammed, memuji peranan LSM, tetapi kemudian menambahkan, “Afghanistan masih dalam suasana perang. Kami masih belum mampu berdikari. Jika suatu negara berperang selama 30 tahun, mungkin perlu waktu 80 tahun untuk membangunnya kembali. Jika petani tidak terus mendapatkan bantuan, jangan harap mereka tidak menanam opium.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR