Masa lalu tak pernah berlalu di Sevastopol. Masa lalu berkibar di tiang bendera dan tersampir di kursi penonton pawai pada hari raya patriotik. Masa lalu juga bersemayam di monumen perang dan dipajang di rambu-rambu: Alun-alun Lenin, Para Pahlawan Jalan Stalingrad, Bioskop Moskwa. Masa lalu bahkan menggelegak di dalam panci sup borscht.
Lihat saja makanan pokok Eropa Timur tersebut yang dimasak Galina Onischenko. "Ini borscht Rusia," katanya sambil meletakkan mangkuk porselen berisi borscht "hijau" atau borscht musim panas, yang mengandung bit, wortel, dan tomat, serta ditaburi adas manis. "Bukan lemak babi berbumbu bawang putih, seperti borscht Ukraina."
Galina, nenek 70 tahun yang berambut putih bagai awan dan bermata tegas sebiru bunga cornflower, baru pulang ke apartemen tanpa lift di lantai lima. Tadi dia berpawai di Jalan Lenin sambil melambaikan bendera Angkatan Laut Rusia untuk mendukung Armada Laut Hitam yang dicintainya. "Sevastopol adalah kota Rusia, dan kami tak akan pernah menerima kenyataan bahwa kota ini dikuasai Ukraina," katanya.
Meski Galina pasti tidak setuju, menurut sejarawan makanan Rusia V. V. Pokhlebkin, borscht berasal dari Ukraina. Borscht, sup yang warna merah pekatnya dihasilkan akar bit. Galina juga pasti tidak setuju, Sevastopol, kota di Krimea, milik Ukraina pula.
!break!
Semenanjung Krimea adalah berlian yang menggantung pada rantai tipis Tanah Genting Perekop dari pantai selatan Ukraina, dalam dekapan Laut Hitam, di garis lintang yang sama dengan Prancis selatan. Krimea yang hangat, indah, rimbun, dengan pantai tebing berkilauan yang melengkung elok—itulah permata Kekaisaran Rusia, tempat berlibur para Tsar Romanov, tempat bermain para petinggi Politburo. Secara resmi disebut Republik Otonom Krimea, tempat ini memiliki parlemen dan ibu kota sendiri, Simferopol, tetapi berada di bawah perintah Kiev.
Secara fisikdan politik, Krimea milik Ukraina. Secara mental dan emosional, Krimea mirip dengan Rusia dan, tulis seorang jurnalis, memberi "kesempatan unik bagi orang Ukraina untuk merasa seperti orang asing di wilayahnya sendiri." Krimea mencerminkan gigihnya kenangan—betapa masa lalu dapat tetap hidup dan merusak.
Pada 1954 Nikita Sergeyevich Khrushchev, Kepala Partai Komunis Uni Soviet, menandatangani perjanjian yang menyerahkan Krimea kepada Ukraina sebagai tanda itikad baik. Galina berusia 14 tahun saat itu.
"Ilegal," katanya saat ditanya tentang penyerahan itu. "Waktu itu tidak diadakan referendum. Tidak ada pengumuman. Tahu-tahu saja terjadi."
Apa pikiran Khrushchev?
"Dia tidak berpikir," tukas Galina. "Isi kepala Khrushchev cuma cecunguk."
!break!
Krimea memang hadiah bagus, tapi hampa. Saat itu Ukraina masih bagian dari Uni Soviet. "Orangtuaku membahas pengalihan itu, tetapi kami tidak cemas," kata Galina. Moskwa masih berkuasa. Tak ada yang pernah membayangkan bahwa Uni Soviet akan runtuh pada 1991, saat Krimea terseret keluar dari kekuasaan Rusia bersama Ukraina yang merdeka.
Apakah Anda rindu pada Uni Soviet? Tanya saya kepada Galina, saat dia mengenang kestabilan kehidupan di bawah Uni Soviet. Harga barang rendah, meski itu hasil subsidi. "Sekilo gula harganya 78 kopek," katanya. "Mentega hanya 60! Sekarang bahkan tak saya beli." Pendidikan dan perawatan kesehatan juga gratis. Soal liburan: "Saya bisa ke sanggraloka"—sekarang mustahil, dengan pensiun bulanan hanya sejuta rupiah lebih.
"Benar, kami merindukan Uni Soviet," katanya. "Tapi negara itu tak mungkin kembali, sedalam apa pun kami menginginkannya. Kami hanya bisa toskavat."
Toskavat, kata kerja, yang berarti merindukan. Toska, kata benda, adalah kerinduan, lebih gelap daripada nostalgia, hampir seperti depresi. Budaya Rusia tertanam dalam ukiran toska. Ketika dalam drama Three Sisters, karya Anton Chekhov (yang memiliki rumah dacha di Krimea), tokoh Irina berkata penuh damba, "Alangkah ingin aku ke Moskwa, ke Moskwa!" itulah toska. Andai Sevastopol, yang 70 persen penduduknya beretnis Rusia, bisa berbicara, kubayangkan kota itu juga berkata, ke Moskwa, ke Moskwa. Dalam jajak pendapat 2009 oleh Razumkov Centre, sebuah badan perencana strategi yang terkemuka di Ukraina, hampir sepertiga responden Krimea menyatakan ingin wilayahnya melepaskan diri dari Ukraina dan menjadi bagian Rusia.
!break!
Dalam beberapa hal, Krimea memang masih bagian Rusia. Tapi bukan hanya Rusia. Krimea boleh dibilang mirip Uni Soviet lama: arsitektur gaya Bunker Beton Awal, badan kapal laut berkarat dari kapal perang Rusia di pelabuhan, liontin palu-arit di gerbang besi Taman Primorsky. Sikapnya juga mirip. Kasar, kaku, tanpa humor: pusing sisa mabuk Soviet yang terburuk. Krimea bisa saja direnggut dari Uni Soviet; tetapi sulit merenggut sifat-sifat Uni Soviet dari Krimea. Saat saya bertanya kepada Yelena Nikolayevna Bazhenova, direktur perusahaan wisata berbasis di Sevastopol, mengapa Krimea yang berpantai indah tidak dikunjungi banyak turis, dia ragu sejenak. "Kami tidak terbiasa menyapa orang sambil tersenyum," dia akhirnya berkata.
Krimea juga berbicara seperti orang Rusia. Bahasa resminya memang bahasa Ukraina, tetapi bahasa pengantar menggunakan bahasa Rusia, bahkan di balai kota. Di 60 sekolah menengah di Sevastopol, hanya satu yang sepenuhnya berbahasa pengantar Ukraina.
Anomali sejarah telah merenggut Krimea dari Rusia, menyebabkan Moskwa juga mengalami toska. Seperti kata mantan wakil menteri luar negeri Rusia kepada Steven Pifer, mantan duta besar A.S. untuk Ukraina: "Otakku tahu Ukraina adalah negara merdeka. Namun hatiku sulit menerimanya." Daftar harta Rusia di Krimea: kebun anggur di Massandra dan Inkerman; sampanye sewarna batu mirah; Yevpatoriya dan Feodosiya, sanggraloka kesehatan berair asin di pesisir barat dan timur; Yalta dan Foros, yang terputihkan matahari di pantai selatan; kebun persik, ceri, dan aprikot yang lebat; ladang gandum yang menguning.
Akhirnya, pelabuhan yang tak pernah membeku. Tidak seperti Rusia, Krimea dikaruniai cuaca hangat. Enam puluh lima persen Rusia diliputi bunga es abadi. Krimea tidak. Seperlima Rusia berada di atas Lingkaran Arktika. Krimea tidak. Pada bulan Februari, saat suhu -10°C di Moskwa, di Yalta mungkin 6°C. "Rusia perlu surga," tulis Pangeran Grigory Potemkin, jenderal dan kekasih Katarina Agung, untuk mendesak pelaksanaan aneksasi. Hampir setiap negara Eropa mengambil seiris Asia, Afrika, dan Amerika untuk piring kolonialnya; Rusia tidak berbeda dalam seleranya berekspansi. Pada 1783 Katarina menyatakan Krimea akan selamanya milik Rusia, menambahkan 46.000 kilometer persegi bagi kekaisarannya, memperluas perbatasan ke Laut Hitam, memuluskan jalan untuk kebangkitan Rusia sebagai kekuatan di laut. Rusia telah merebut surga bagi dirinya.
!break!
Surga itu tetap menjadi milik Rusia selama 208 tahun, hingga keruntuhan Uni Soviet. Dengan munculnya negara-negara merdeka baru, aset bekas kekaisaran itu—termasuk pangkalan militernya—menjadi milik negara-negara tersebut. Tetapi, wilayah rampasan Katarina tidak dilepaskan begitu saja. Rusia memang tidak memiliki banyak pilihan, tapi cukup untuk tawar-menawar.
"Kami sangat tergantung pada minyak dan gas Rusia," seorang pejabat Ukraina menjelaskan. "Kami berutang ke Rusia sekitar satu miliar dolar AS. Tekanannya sangat besar." Kedua negara itu mengatur kesepakatan pada 1997. Armada boleh tetap di sana sampai 2007. Utang Ukraina diputihkan puluhan juta dolar. Tahun lalu pemerintah pro-Rusia, yang dipimpin Presiden Viktor Yanukovych yang baru terpilih, memperpanjang kontrak ini 25 tahun lagi. Sekali lagi, migas memuluskan kontrak. Sebagai imbalan, Rusia memberi Ukraina, yang masih tenggelam dalam utang, diskon 30 persen untuk gas alam.
Seperti biasa reaksinya terbelah antara wilayah timur dan selatan Ukraina yang berbahasa Rusia dan wilayah barat yang memiliki nasionalisme Ukraina yang kuat.
Galina senang. Angkatan Laut sudah mendarah daging di keluarganya. "Cucuku masuk akademi militer St. Petersburg. Suamiku perwira angkatan laut. Nenekku penjahit seragam pelaut. Aku besar di rumah pahlawan di kota pahlawan."
!break!
Kota pahlawan, altar perang. Ada 2.300 monumen di Sevastopol; kota itu sendiri seperti altar. Pada 1945, kota itu dianugerahi penghargaan Orden Lenina oleh Uni Soviet dan dinamai Kota Pahlawan karena bertahan selama 247 hari saat dikepung Jerman pada Perang Dunia II. Hampir seabad sebelumnya, kota itu dikepung 349 hari oleh tentara Prancis, Inggris, dan Turki dalam Perang Krimea.
Hati-hati: sejarah Krimea menyiratkan bahwa kepemilikan suatu tempat, terutama surga, tidak pernah kekal, dan orang salah jika berpikir lain. Krimea telah sering berganti tangan, dari bangsa Scythia ke bangsa Yunani ke bangsa Romawi, Goth, Hun, Mongol, dan Tatar. Bangsa Tatar, yaitu Muslim Turk yang bermigrasi dari stepa Erasia pada abad ke-13, diincar secara brutal oleh Joseph Stalin dan mengalami deportasi massal.
Selama tiga hari pada Mei 1944, milisi Soviet menggedor pintu bangsa Tatar, mengumpulkan semua keluarga, menyuruh mereka berkemas, dan mengusir mereka ke Asia Tengah—seluruhnya sekitar 200.000 jiwa. Hampir setengahnya tewas akibat sakit atau kelaparan. "Aku masih kecil pada malam mereka datang," kata Aydin Shemi-zade, profesor pensiunan berusia 76 tahun dari Moskwa. "Aku ingat meraih tas sekolah yang tergantung di dinding. Tentara merebutnya dari tanganku." Suaranya pecah. Baru 20 tahun kemudian dia bisa melihat kampung halamannya lagi.
Pada 1989 Mikhail Gorbachev memperbolehkan bangsa Tatar pulang ke Krimea. Sekitar 260.000 orang sudah kembali, dan kini membentuk 13 persen penduduk Krimea. Dalam kondisi senantiasa diusir-usir dan ditelantarkan, mereka banyak yang tinggal di gubuk penduduk liar di pinggiran Simferopol dan Bakhchysaray, berharap dapat memperoleh kembali tanah leluhur mereka. Meski demikian, sebagian besar bangsa Tatar pro-Ukraina. Mereka takut pada Rusia secara refleks—karena nasionalisme Rusia dan karena Rusia adalah penerus Uni Soviet—tetapi Ukraina tidak memiliki sejarah seperti itu.
!break!
"Keluargaku selalu membicarakan Krimea," kata Rustem Skibin, seniman Tatar berusia 33 tahun, yang bermata sayu namun setajam elang. Kami duduk di studionya di belakang rumahnya di Acropolis, sebuah desa di timur laut Simferopol, tempat pesisir hijau Krimea berubah menjadi cakrawala panjang stepa yang panas dan kering. "Dulu aku mendengar ceritanya," katanya, "tapi tidak merasa ikut terlibat." Keluarganya dulu dipaksa pindah ke Uzbekistan. "Lalu pada 1991 kami kembali. Krimea Tanah Air kami. Aku pergi ke Alushta untuk melihat jalan-jalan sempit dengan rumah-rumah Tatar yang kecil. Aku merasa cocok berada di sana. Aku pun memahami apa artinya menjadi orang Tatar di kampung halamanku."
Saya sering mendengar orang berkata, ini Tanah Air kami, tetapi Tanah Air siapa sebenarnya? Bagi Galina Onischenko, Tanah Air adalah Rusia. Bagi Rustem Skibin, Krimea adalah kampung halaman bangsa Tatar dan memang demikian halnya selama sekurang-kurangnya tujuh abad. Bagi Sergey Kulik, 54 tahun, yang dulunya perwira di kapal selam Rusia dan kini direktur Nomos, badan perencana strategi Sevastopol, Tanah Air adalah Ukraina.
"Aku sedih saat Uni Soviet runtuh," Kulik mengakui saat makan malam suatu kali. "Tiba-tiba aku terkatung-katung. Aku harus menyesuaikan diri."
Sebagai perwira angkatan laut, Kulik hidup nyaman di bawah kekuasaan Soviet, tetapi keruntuhan itu mendatangkan pemahaman baru. Orang bisa hidup nyaman tapi tetap dikelilingi penindasan, kebrutalan, dan kebohongan. "Aku juga memiliki nostalgia, tetapi tidak buta," dia menjelaskan.
Saat Ukraina merdeka dan mengambil alih Sevastopol (kota tertutup semasa kekuasaan Soviet; perlu izin untuk masuk ke sana), kedua pemerintah harus membagi-bagi Armada Laut Hitam. Kulik dan rekan-rekan pelautnya—sekitar 100.000 orang—diberi waktu setahun untuk memilih Angkatan Laut Rusia atau Ukraina.
!break!
"Aku tidak berpikir dua kali," kata Kulik. "Aku orang Ukraina. Orangtuaku di sini. Bahasaku bahasa Ukraina. Jadi, aku memilih Angkatan Laut Ukraina." Tapi, apa artinya menjadi orang Ukraina? Tanya saya.
Kulik berpikir sejenak. "Menjadi orang Ukraina sama seperti bernapas," jawabnya. Saya merasa pertanyaan ini penting terus diajukan.
"Pada abad ke-21, yang penting adalah perbatasan politik. Jika seseorang menganggap dirinya orang Ukraina, berarti dia orang Ukraina," kata Olexiy Haran, seorang profesor ilmu politik.
"Ukraina adalah pohon ceri yang mekar, gandum yang masak, bangsa kami yang keras kepala dan bekerja keras, dan bahasa yang kucintai," Anatoliy Zhernovoy bersikeras, pengacara dan anggota gerakan Kosak Ukraina. Bangsa Kosak Ukraina, yang leluhurnya berpatroli di stepa pada abad ke-13 sampai ke-18, mewakili kebangkitan identitas nasional yang berotot.
"Era nasionalisme sudah berlalu. Menjadi orang Ukraina berarti menjadi warga Ukraina. Itu saja," kata Vladimir Pavlovich Kazarin, perwakilan presiden untuk Krimea di Simferopol.
Namun, Sergey Yurchenko dari Serikat Kosak Krimea tidak sepakat. Kelompok paramiliternya yang beranggota 7.000 orang menganggap diri mereka pembela ideologi nasionalis Rusia. Saya bertemu Yurchenko di kompleks Kosak yang berjarak sejam berkendara dari Sevastopol. Sebulan lagi kompleks itu akan menampung 200 anak lelaki usia 12-15 tahun yang akan mengikuti perkemahan musim panas dan mendapat pelatihan gaya militer, yang akan dipimpin Yurchenko. Lelaki itu mengenakan beret dan seragam bertempur, dengan wajah seperti petarung sering kena tonjok. Dia menunjukkan lapangan tempat anak-anak itu nanti tidur di tenda. "Mereka kami ajari patriotisme," katanya. Mereka juga akan diajari bela diri dan menembakkan senapan mesin.
!break!
Perkemahan itu dibayangi oleh salib kayu setinggi lima meter yang diangkut bangsa Kosak ke atas Dataran Ay-Petri. Pejabat pemerintah pernah menuntut (dan gagal) agar salib itu disingkirkan karena menyinggung perasaan penduduk Tatar setempat. "Anda mungkin memperhatikan, ada banyak penduduk liar Tatar di sekitar sini. Kami mengawasi mereka," kata Yurchenko. "Pemerintah Ukraina menutup mata. Terpaksa kami yang harus menjaga ketertiban." Menjaga ketertiban termasuk beberapa perkelahian pada 2006 antara bangsa Tatar dan Kosak di pasar Bakhchysaray. "Kami tidak mau menunggu perintah pengadilan untuk bertindak," kata Yurchenko tentang kekerasan yang mengirim puluhan orang ke rumah sakit itu.
"Dia provokator," kata Refat Chubarov, wakil Mejlis, parlemen bangsa Tatar, saat nama Yurchenko disebut. "Kami mencemaskan gerakan paramiliter apa pun, tetapi kenyataan bahwa anak-anak diajari bermain senjata masih kalah penting dengan pemikiran yang diajarkan kepada mereka."
Pada salah satu hari musim panas sejuk yang tentunya didambakan bangsa Slavia saat musim dingin, saya duduk di restoran di Balaklava bersama Konstantin Zatulin, wakil Duma Rusia. Zatulin, yang menjadi orang yang disingkirkan di Ukraina pada masa kepresidenan Viktor Yushchenko, kini menikmati sambutan hangat di bawah rezim baru yang pro-Rusia. Meja kami menghadap ke pelabuhan tempat kapal selam Rusia dulu meluncur masuk untuk berlabuh. Di seberang teluk, setelah kapal-kapal pesiar putih mulus yang tertambat, terlihat jalan masuk yang mirip mulut hitam gua, ke kompleks kapal selam seluas 1,6 hektar yang dipahat pada lereng gunung.
Peninggalan Perang Dingin itu, instalasi militer rahasia di bawah kekuasaan Soviet, kini menjadi museum. Wisatawan dapat berbaris melewati pintu titanium 150 ton yang tahan ledakan nuklir, menyusuri terowongan, dan mengintip ke dalam ruangan penyimpanan hulu ledak nuklir. Permainan maut antara kedua negara adidaya terasa seperti langit dan bumi dengan sampanye Krimea yang sedang dituangkan pelayan.
!break!
"Wakil Zatulin," tanyaku, "tahukah Anda isi surat Katarina Agung kepada Potemkin setelah merebut Krimea? 'Kita tidak pernah segan merebut hal apa pun; yang tidak kita sukai adalah kehilangan hal itu.'"
"Katarina menulis hal lain," jawabnya sambil menatap saya. "Potemkin menderita beberapa kekalahan; dia ingin mundur. Katarina tidak mengizinkan. 'Memiliki Krimea lalu melepaskannya ibarat menunggang kuda, lalu turun dan berjalan di belakang ekornya,' katanya kepada Potemkin.”
"Nah, kami telah melepaskan Krimea." Dia merengut. "Sekarang pertanyaannya, dalam kondisi apa Krimea akan berlanjut."
Pertanyaan yang sama diajukan pihak oposisi di Kiev. "Rusia tidak perlu armada di Sevastopol," kata seorang mantan menteri pertahanan dengan amarah nyaris tak tertahankan. "Armada itu ada di situ hanya untuk mengganggu stabilitas."
Zatulin mencibir saat saya mengutip si mantan menteri.
"Pemerintah yang menghentikan kontrak harus bisa menjawab pertanyaan, di mana membeli gas lebih murah," katanya.
Akankah armada Rusia pergi? Saya mendesak. Dan kapan?
Zatulin, lelaki berwajah lebar kemerahan dan bertubuh gempal, mengambil ikan belanak merah dari piring ikan panggang dan memutuskan kepala ikan itu.
"Menurutku pribadi? Tak akan pernah."
!break!
Tulislah kebenaran, desak Galina terus—kata Rusia untuk kebenaran adalah pravda—tetapi kebenaran tidak mudah disuarakan, dengan perbenturan antara impian bangsa Ukraina, Rusia, dan Tatar. Menurut kebanyakan orang, konflik kekerasan antara Rusia dan Ukraina tentang Krimea tidak terbayangkan karena ikatan sejarah dan budaya mereka yang erat, terutama kini setelah Yanukovych menjadikan Rusia sahabat baru Ukraina dengan memperpanjang kontrak. Berasumsi Yanukovych adalah boneka Vladimir Putin di Kiev memang sangat menggoda, namun tak sesederhana itu. Pemilu berlangsung adil. Parlemen di bawah pemerintahan Yanukovych sepakat ikut serta dalam latihan militer NATO, dan Ukraina masih berharap bergabung dengan Uni Eropa. Meski demikian, keresahan terus ada.
"Aku berada di Lapangan Merah di Moskwa pada Hari Kemenangan," kata Leonid Kravchuk kepada saya. Kravchuk, presiden pertama Ukraina, beralih dengan tangkas dari bos Partai Komunis menjadi pemimpin negara demokrasi yang merdeka. Kini, setelah menjadi orang Ukraina sejati, dia waspada terhadap Kremlin. "Sungguh, aku sudah sering melihat pawai semasa hidupku. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini." Yang dia maksud adalah peragaan kekuasaan yang begitu besar.
Kecemasan Krimea mungkin menjadi pemicu permusuhan berikutnya antara Rusia dan bekas satelit-satelitnya telah memudar dengan perubahan kebijakan luar negeri Kiev. Tetapi, Kravchuk berpendapat konflik 2008 saat Rusia mengirim tank ke Georgia (untuk melindungi warganya, kata pemerintah Rusia, meski sebagian orang berkata itu upaya meraih kembali kekuasaan di bekas wilayahnya) bukannya mustahil terulang. "Konflik masih mungkin terjadi," katanya. "Rusia tahu apa yang diinginkannya dari Ukraina. Ukraina tidak tahu apa yang diinginkannya dari Rusia."
Kekebalan terbaik terhadap campur tangan Rusia tampaknya tergantung pada kemampuan Ukraina memantapkan jati dirinya, tetapi jalan ke sana berbatu-batu, mengingat ekonomi yang masih berkembang dan tradisi politik yang lemah. Memang, Yanukovych telah memadamkan bunga api antara Ukraina dan Rusia, tetapi perlukah Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov sampai berkata, "Segalanya tergantung pada itikad baik Rusia—kami seperti budak belian." Dengan komentar publik seperti komentar perdana menteri ini, tidak heran survei nasional melaporkan orang Ukraina lebih percaya astrolog daripada politisi.
!break!
Pada hari terakhir saya di Krimea, saya duduk di beranda yang menghadap Teluk Sevastopol bersama Sergey Kulik, perwira kapal selam Rusia yang menjadi direktur badan perencana strategi Ukraina. Di seberang air yang sewarna hijau zamrud, terlihat lengkung gedung-gedung pemerintah yang mirip kuil, yang dibangun Stalin setelah Perang Dunia II. "Kadang-kadang saat aku mengajukan permohonan visa ke luar negeri," kata Kulik, "konsul memandangku seolah-olah bertanya, Apakah kau akan pulang? Jangan mengira sekejap pun bahwa aku tak akan pulang. Aku orang Ukraina. Aku pasti pulang."
Kulik tahu siapa dirinya. Bagaimana dengan orang lain di Krimea, juga di Ukraina sendiri? Masalah identitas ini pelik, kata Oleg Voloshyn, sekretaris pers bagi menteri luar negeri, karena Ukraina bukan bangsa klasik seperti Inggris. Meskipun sebagian besar negara Eropa adalah mosaik beberapa entitas, Ukraina lebih terfragmentasi dari kebanyakan negara, karena terpecah-belah selama berabad-abad, antara Rusia dan Polandia, Rusia dan Austria, lalu antara Rusia, Polandia, Cekoslowakia, dan Rumania, sebelum akhirnya menjadi negara merdeka pada 1991.
Ternyata, Krimea juga membingungkan bagi Ukraina, sama seperti bagi Rusia. "Potemkin menyebut Krimea sebagai kutil di hidung Rusia," saya mengingatkan mantan Presiden Ukraina Leonid Kravchuk pada akhir wawancara. Maksud Potemkin, Krimea sulit diatur; dia cemas Rusia tak akan pernah bisa menundukkan bangsa Tatar dan meraih kendali. "Alih-alih kutil di hidung Rusia, bukankah Anda setuju Krimea kini adalah kutil di hidung Ukraina?" saya mengusulkan.
Kravchuk berpikir sejenak. "Bukan kutil. Bisul yang membusuk."
Mungkin perlu satu generasi lagi—beberapa, atau banyak—sampai Krimea dapat mendefinisikan dirinya sebagai bagian Ukraina, dan tidak karena paksaan. Yang menolak perubahan adalah orang-orang seperti Galina. Pada kunjungan terakhir saya, dia bercerita baru mengeluarkan 100 hryvnia untuk membuat bendera Soviet baru, meskipun sudah berutang untuk tagihan pemanasan udara sebesar 500 hryvnia.
!break!
"Benderaku akan selalu bersamaku," katanya. "Bendera ini menginspirasiku dan membuatku terus bersemangat." Dengan hati-hati dia melipat bendera palu-arit yang dibayarnya dengan uang pensiunan itu. Panjangnya hampir sepanjang sofa.
Tiba-tiba dia tampak ringkih, duduk di apartemen gelap dengan sandal tidak serasi, dikelilingi masa lalu—benderanya (enam bendera Angkatan Laut Soviet, bendera tsar yang disebut St. Andrew, bendera palu-arit yang baru dibuatnya), pedang kakeknya dipajang di dinding, medali militer, foto sepia suaminya yang berseragam, tunik pelaut ayahnya yang dibungkus tisu dan bola kamper.
"Buyutku, kakekku, ayahku, suamiku, dan putraku mengabdi di armada itu," katanya. "Sekarang, apa lagi yang kumiliki? Apartemen dua kamar dan tak ada uang untuk membayar air panas."
Pedang di dinding sudah berkarat. Foto sepia sudah memudar. Masa lalu, dongeng politik tentang gula 78 kopek sekilo dan liburan yang dibayar pemerintah, telah pupus. Tirai Besi telah diturunkan, dan sebuah bangsa sedang terseok-seok ke masa depan.
"Namun, laut masih bersamaku," katanya. "Mereka tidak merebut Laut Hitam. Aku masih bisa ke laut pagi-pagi dan berenang."
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR