Tulislah kebenaran, desak Galina terus—kata Rusia untuk kebenaran adalah pravda—tetapi kebenaran tidak mudah disuarakan, dengan perbenturan antara impian bangsa Ukraina, Rusia, dan Tatar. Menurut kebanyakan orang, konflik kekerasan antara Rusia dan Ukraina tentang Krimea tidak terbayangkan karena ikatan sejarah dan budaya mereka yang erat, terutama kini setelah Yanukovych menjadikan Rusia sahabat baru Ukraina dengan memperpanjang kontrak. Berasumsi Yanukovych adalah boneka Vladimir Putin di Kiev memang sangat menggoda, namun tak sesederhana itu. Pemilu berlangsung adil. Parlemen di bawah pemerintahan Yanukovych sepakat ikut serta dalam latihan militer NATO, dan Ukraina masih berharap bergabung dengan Uni Eropa. Meski demikian, keresahan terus ada.
"Aku berada di Lapangan Merah di Moskwa pada Hari Kemenangan," kata Leonid Kravchuk kepada saya. Kravchuk, presiden pertama Ukraina, beralih dengan tangkas dari bos Partai Komunis menjadi pemimpin negara demokrasi yang merdeka. Kini, setelah menjadi orang Ukraina sejati, dia waspada terhadap Kremlin. "Sungguh, aku sudah sering melihat pawai semasa hidupku. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini." Yang dia maksud adalah peragaan kekuasaan yang begitu besar.
Kecemasan Krimea mungkin menjadi pemicu permusuhan berikutnya antara Rusia dan bekas satelit-satelitnya telah memudar dengan perubahan kebijakan luar negeri Kiev. Tetapi, Kravchuk berpendapat konflik 2008 saat Rusia mengirim tank ke Georgia (untuk melindungi warganya, kata pemerintah Rusia, meski sebagian orang berkata itu upaya meraih kembali kekuasaan di bekas wilayahnya) bukannya mustahil terulang. "Konflik masih mungkin terjadi," katanya. "Rusia tahu apa yang diinginkannya dari Ukraina. Ukraina tidak tahu apa yang diinginkannya dari Rusia."
Kekebalan terbaik terhadap campur tangan Rusia tampaknya tergantung pada kemampuan Ukraina memantapkan jati dirinya, tetapi jalan ke sana berbatu-batu, mengingat ekonomi yang masih berkembang dan tradisi politik yang lemah. Memang, Yanukovych telah memadamkan bunga api antara Ukraina dan Rusia, tetapi perlukah Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov sampai berkata, "Segalanya tergantung pada itikad baik Rusia—kami seperti budak belian." Dengan komentar publik seperti komentar perdana menteri ini, tidak heran survei nasional melaporkan orang Ukraina lebih percaya astrolog daripada politisi.
!break!
Pada hari terakhir saya di Krimea, saya duduk di beranda yang menghadap Teluk Sevastopol bersama Sergey Kulik, perwira kapal selam Rusia yang menjadi direktur badan perencana strategi Ukraina. Di seberang air yang sewarna hijau zamrud, terlihat lengkung gedung-gedung pemerintah yang mirip kuil, yang dibangun Stalin setelah Perang Dunia II. "Kadang-kadang saat aku mengajukan permohonan visa ke luar negeri," kata Kulik, "konsul memandangku seolah-olah bertanya, Apakah kau akan pulang? Jangan mengira sekejap pun bahwa aku tak akan pulang. Aku orang Ukraina. Aku pasti pulang."
Kulik tahu siapa dirinya. Bagaimana dengan orang lain di Krimea, juga di Ukraina sendiri? Masalah identitas ini pelik, kata Oleg Voloshyn, sekretaris pers bagi menteri luar negeri, karena Ukraina bukan bangsa klasik seperti Inggris. Meskipun sebagian besar negara Eropa adalah mosaik beberapa entitas, Ukraina lebih terfragmentasi dari kebanyakan negara, karena terpecah-belah selama berabad-abad, antara Rusia dan Polandia, Rusia dan Austria, lalu antara Rusia, Polandia, Cekoslowakia, dan Rumania, sebelum akhirnya menjadi negara merdeka pada 1991.
Ternyata, Krimea juga membingungkan bagi Ukraina, sama seperti bagi Rusia. "Potemkin menyebut Krimea sebagai kutil di hidung Rusia," saya mengingatkan mantan Presiden Ukraina Leonid Kravchuk pada akhir wawancara. Maksud Potemkin, Krimea sulit diatur; dia cemas Rusia tak akan pernah bisa menundukkan bangsa Tatar dan meraih kendali. "Alih-alih kutil di hidung Rusia, bukankah Anda setuju Krimea kini adalah kutil di hidung Ukraina?" saya mengusulkan.
Kravchuk berpikir sejenak. "Bukan kutil. Bisul yang membusuk."
Mungkin perlu satu generasi lagi—beberapa, atau banyak—sampai Krimea dapat mendefinisikan dirinya sebagai bagian Ukraina, dan tidak karena paksaan. Yang menolak perubahan adalah orang-orang seperti Galina. Pada kunjungan terakhir saya, dia bercerita baru mengeluarkan 100 hryvnia untuk membuat bendera Soviet baru, meskipun sudah berutang untuk tagihan pemanasan udara sebesar 500 hryvnia.
!break!
"Benderaku akan selalu bersamaku," katanya. "Bendera ini menginspirasiku dan membuatku terus bersemangat." Dengan hati-hati dia melipat bendera palu-arit yang dibayarnya dengan uang pensiunan itu. Panjangnya hampir sepanjang sofa.
Tiba-tiba dia tampak ringkih, duduk di apartemen gelap dengan sandal tidak serasi, dikelilingi masa lalu—benderanya (enam bendera Angkatan Laut Soviet, bendera tsar yang disebut St. Andrew, bendera palu-arit yang baru dibuatnya), pedang kakeknya dipajang di dinding, medali militer, foto sepia suaminya yang berseragam, tunik pelaut ayahnya yang dibungkus tisu dan bola kamper.
"Buyutku, kakekku, ayahku, suamiku, dan putraku mengabdi di armada itu," katanya. "Sekarang, apa lagi yang kumiliki? Apartemen dua kamar dan tak ada uang untuk membayar air panas."
Pedang di dinding sudah berkarat. Foto sepia sudah memudar. Masa lalu, dongeng politik tentang gula 78 kopek sekilo dan liburan yang dibayar pemerintah, telah pupus. Tirai Besi telah diturunkan, dan sebuah bangsa sedang terseok-seok ke masa depan.
"Namun, laut masih bersamaku," katanya. "Mereka tidak merebut Laut Hitam. Aku masih bisa ke laut pagi-pagi dan berenang."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR