Dalam buku catatan hariannya dia menulis surat terbuka yang ditujukan kepada para orang tua Yaman: “Jangan biarkan anak kalian menikah. Kalian mengganggu pendidikannya, dan kalian menghancurkan masa kecilnya jika kalian memaksanya menikah muda.”
!break!
Sebagai bagian dari gerakan internasional menentang pernikahan dini, yang paling berani dan tegar adalah anak-anak perempuan yang menjadi korban; setiap kisah mereka mengilhami pemberontakan baru yang lahir kemudian. Di Yaman, saya bertemu dengan Reem yang berusia 12 tahun, yang berhasil bercerai beberapa bulan setelah perceraian Nujood. Dalam kasusnya, dia berhasil mengalahkan seorang hakim keras kepala yang bersikukuh, dengan argumen ironis dan menggelikan, bahwa pengantin baru yang masih belia belum cukup dewasa untuk mengambil keputusan soal perceraian. Di India, saya bertemu dengan Sunil yang berusia 13 tahun, yang pada usia 11 tahun bersikeras melawan orang tuanya dengan mengatakan akan menolak dinikahkan dengan pengantin pria yang akan segera tiba. Kalau mereka berusaha memaksanya, katanya, dia akan melaporkan mereka ke polisi.
Upaya untuk merangkul lebih banyak anak perempuan di bawah umur dan keluarga mereka membidik lebih dari sekadar pernikahan dini yang paling mudah membangkitkan kegeraman masyarakat. Saranga Jain, pakar kesehatan remaja mengatakan “Kami ingin menegaskan kembali masalah ini, bukan hanya menyangkut anak perempuan yang masih sangat belia.”
Dari sudut pandang ICRW, perkawinan remaja di bawah usia 18 tahun adalah perkawinan dini, dan meski jumlah pastinya mustahil diketahui, para peneliti memperkirakan bahwa setiap tahun 10 hingga 12 juta anak perempuan di negara berkembang menikah pada usia semuda itu. Upaya untuk menurunkan jumlah ini memperhitungkan berbagai faktor penyebab yang memaksa anak remaja menikah dan mulai hamil, sehingga menghilangkan peluangnya untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan upah yang lebih baik. Tekanan tidak hanya berasal dari orang tua yang bersikap seperti diktator. Ada kalanya anak perempuan berhenti sekolah karena mereka mengira memang itulah yang semestinya mereka lakukan atau karena tidak ada pilihan lain. Kemungkinan paling baik, apabila program penundaan-perkawinan berhasil diterapkan dalam masyarakat, adalah memberikan bukti kehidupan yang lebih baik, bukan mempermalukan atau menyalahkan masyarakat: pemberian insentif langsung agar anak perempuan tetap diperbolehkan sekolah, di samping tersedianya gedung sekolah agar mereka dapat bersekolah.
India melatih pamong kesehatan desa yang disebut sathin, yang bertugas memantau kesejahteraan keluarga di suatu daerah. Tugas mereka termasuk mengingatkan penduduk desa bahwa perkawinan belia tidak saja melanggar hukum, tetapi juga amat mencederai anak perempuan mereka.“Jika kami mengambil anak itu dan menjauhkannya dari masyarakatnya, akan seperti apakah kehidupannya?” tanya Molly Melching, pendiri organisasi Tostan yang berbasis di Senegal, yang meraih penghargaan internasional karena menggalakkan program penundaan perkawinan dini yang disusun sendiri oleh masyarakat. Para petugas Tostan menganjurkan masyarakat untuk mengumumkan harapan mereka untuk anak-anak mereka di hadapan publik sehingga tidak ada lagi anak perempuan yang dikucilkan gara-gara tidak menikah muda.
!break!
“Cara untuk mengubah kebiasaan masyarakat bukan dengan menentang mereka atau mempermalukan orang dan mengatakan mereka terbelakang. Kami sudah menyaksikan bahwa seluruh masyarakat dapat dengan cepat memilih untuk berubah,” kata Melching.
Satu-satunya orang yang memberikan penjelasan gamblang tentang betapa sulitnya tumbuh dewasa secara mandiri dan terhormat di lingkungan masyarakat penganut perkawinan dini adalah anak perempuan Rajasthan berusia 17 tahun bernama Shobha Choudhary. Alisnya tebal, postur tubuhnya tegak, dan rambut hitamnya yang berkilau disisir ekor kuda. Di desanya, beberapa tahun yang lalu, dia menarik perhatian Proyek Veerni, yang menyediakan pendidikan gratis di sekolah-berasrama milik mereka di kota Jodhpur. Shobha sudah menikah dan dinikahkan ketika berusia delapan tahun. “Saya merasa senang-senang saja waktu itu.”
Sejauh ini Shoba berhasil menunda upacara gauna. “Pada akhirnya saya harus tinggal bersamanya. Akan saya minta dia belajar dan berpikiran terbuka. Tetapi, saya tidak akan meninggalkannya.” Dia ingin meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi, katanya, dan segera memenuhi syarat untuk menjadi polisi India agar dapat menegakkan undang-undang yang melarang perkawinan belia.
Belum lama ini juru bahasa Hindi yang pernah menemani saya di Jodhpur meminjam kamera video dan berbicara dengan Shoba di sebuah kafe di kota. Dua hari setelah saya menerima video itu, ada berita dari Yaman: ada pengantin perempuan dari sebuah desa masuk rumah sakit Sanaa empat hari setelah hari pernikahannya. Sanggama tampaknya telah merobek organ dalam anak perempuan itu, kata petugas rumah sakit. Dia meninggal karena perdarahan. Usianya 13 tahun.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR