Seseorang mengetikkan perintah di laptop, dan Actroid-DER pun tersentak tegak sambil bergoyang dan memperdengarkan suara napasnya. Udara mampat mengalir di bawah kulit silikon, memicu alat penggerak yang mengangkat lengannya dan menggerakkan ujung mulutnya hingga dia tersenyum tersipu-sipu. Dari tempatnya berdiri, matanya memandang ke segala penjuru ruangan, sementara tabung dan kabel bergelantungan sampai ke mata kakinya. Dia berkedip, lalu menoleh kepada saya. Dengan spontan saya membalas tatapan matanya—mata mekanisnya. “Saya tampak seperti manusia ‘kan?” katanya.
Sayangnya, tingkah lakunya yang sudah terprogram membuat saya mau tak mau menyadari bahwa dia tidak melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan manusia. Android Actroid-DER yang dikembangkan di Jepang oleh Kokoro Company itu dapat disewa sebagai presenter masa depan untuk berbagai acara perusahaan. Namun, meski pengembangannya menghabiskan dana hingga Rp2,5 miliar, gerakannya masih patah-patah dan sama sekali tidak anggun. Kekakuan di wajah cantiknya pun mirip orang depresi.
Sementara model Actroid yang lebih canggih dipajang di banyak pameran teknologi, yang satu ini dikirimkan ke Carnegie Mellon University di Pittsburgh untuk dibuat lebih mirip manusia. Setidaknya inilah harapan lima mahasiswa pascasarjana yang optimistis di Entertainment Technology Center di universitas itu; mereka diberi waktu satu semester berdurasi 15 pekan untuk mengubah fembot (robot perempuan) itu menjadi bersifat “lebih perempuan” daripada seperti robot. Mereka memulai dengan menamainya Yume—impian, dalam bahasa Jepang.
Android Actroid adalah bagian dari generasi baru robot, sosok buatan yang dirancang bukan untuk berfungsi seperti mesin pabrik terprogram, melainkan sebagai pekerja mandiri yang semakin mampu berperan di rumah, sekolah, dan kantor yang sebelumnya hanya dilakukan oleh manusia. Robot yang lebih canggih mungkin tidak lama lagi akan tersedia—dapat memasak, melipat cucian, bahkan menjadi pengasuh bayi atau mengurus lansia, sementara kita cukup mengawasi dan membantu lewat komputer dari jarak jauh.
!break!
“Dalam waktu lima atau sepuluh tahun lagi, robot akan semakin lazim berfungsi di lingkungan manusia,” kata Reid Simmons, dosen yang mengajarkan kuliah tentang robot di Carnegie Mellon.
Kemungkinan seperti itu menimbulkan banyak pertanyaan. Seberapa banyak fungsi sehari-hari manusia yang hendak kita alihkan ke mesin? Seperti apa sebaiknya tampilan mereka? Apakah kita menghendaki android seperti Yume berkeliaran di dapur, atau apakah lengan mekanis yang ditempelkan ke dinding dapur dapat melakukan tugas itu dengan lebih baik, tanpa membuat kita miris? Bagaimana revolusi robot mengubah cara kita bergaul dengan sesama?
Robot bayi anjing laut menggemaskan yang dikembangkan di Jepang untuk menghibur para lansia di panti jompo telah mengundang kecaman karena robot seperti itu dapat membuat para lansia itu terkucil dan menjauhi orang lain. Rencana pembuatan robot pengasuh anak juga mengundang kerisauan yang sama. Dan tentu saja ada juga upaya penuh kebimbangan untuk menciptakan android yang dapat bermesraan dengan manusia. Tahun lalu, sebuah perusahaan New Jersey memperkenalkan robot “romantis” yang bisa berbicara dan bereaksi terhadap sentuhan manusia, dan hal ini meningkatkan kemungkinan terputusnya interaksi antarmanusia dalam bentuk lain.
Singkatnya: Sudah siapkah kita menerima mereka? Sudah siapkah mereka membantu kita?
!break!
Dalam sebuah gedung di atas bukit, sekitar satu kilometer dari Entertainment Technology Center, HERB duduk diam, termenung. HERB adalah singkatan dari Home Exploring Robotic Butler, robot yang sedang dikembangkan sebagai purwarupa robot pelayan yang dalam waktu tidak lama lagi dapat merawat lansia dan penyandang cacat. Sosok HERB tidaklah menarik. Tetapi, berbeda dengan Yume yang cantik, HERB memiliki sesuatu yang mirip dengan sifat batiniah manusia. Saat ini robot tersebut terus memperbaiki fungsinya dengan mempelajari berbagai keadaan untuk memanipulasi gambar berbagai benda yang tersimpan dalam memorinya, puluhan ribu skenario per detik.
“Saya menyebutnya sedang ‘bermimpi,’” ujar Siddhartha Srinivasa, perakit HERB dan dosen di Robotics Institute di Carnegie Mellon. “Kata itu membantu orang secara naluriah memahami bahwa robot ini sedang membayangkan dirinya melakukan sesuatu.”
Robot tradisional, robot yang mungkin kita lihat sedang mengelas kerangka mobil, dapat diprogram untuk melakukan urutan tugas secara sangat tepat, tetapi hanya dalam lingkungan yang terstruktur dan kaku. Untuk berfungsi dalam lingkup kehidupan manusia, robot seperti HERB harus bisa melihat dan menangani benda tak dikenal serta bergerak kian-kemari tanpa bertabrakan dengan orang lain yang juga sedang bergerak. Sistem penglihatan HERB terdiri atas kamera video dan gawai navigasi laser yang disusun pada sebuah penopang di atas lengan mekanisnya. Berbeda dengan lengan hidraulik robot pabrik, lengan HERB digerakkan oleh sistem pengenal-tekanan yang terbuat dari kabel yang mirip tendon manusia: ini suatu keharusan jika kita menginginkan robot yang mampu membantu lansia berjalan ke kamar mandi tanpa mendorongnya terlalu keras sehingga terlempar menerobos pintu.
Di lab, salah seorang mahasiswa Srinivasa menyentuh sebuah tombol, memberikan perintah untuk mengambil teh kotak yang terletak di atas meja yang berdekatan. Laser HERB berputar, menciptakan kisi 3-D yang memetakan lokasi orang dan benda yang berada di sekitarnya, dan kamera mengenali benda yang mungkin teh kotak yang menjadi sasarannya. Robot pun perlahan-lahan mengulurkan lengannya dan mengambil kotak itu, memegangnya dengan tegak. Berdasarkan perintah, perlahan-lahan dia meletakkannya. Bagi orang awam, apa yang dilakukan robot ini mungkin tidak istimewa. “Ketika saya menunjukkannya kepada ibu saya,” kata Srinivasa, “beliau tidak mengerti mengapa HERB harus berpikir begitu keras untuk mengambil sebuah cangkir.”
!break!
Masalahnya bukan terletak pada HERB, tetapi pada model yang telah ditetapkan untuk ditirunya, yakni manusia. Mengambil minuman sangatlah mudah bagi manusia, yang otaknya telah berevolusi jutaan tahun untuk mengoordinasikan tugas khusus seperti itu. Juga mudah bagi robot pabrik yang memang diprogram untuk melakukan tindakan yang itu-itu saja.
Perbedaan antara robot sosial seperti HERB dan robot pabrik yang konvensional adalah bahwa HERB tahu bahwa benda itu teh kotak, bukan cangkir atau gelas susu, yang harus ditanganinya dengan cara yang berbeda. Agar dia memahaminya diperlukan matematika dan ilmu komputer yang rumit, tetapi penjelasan sederhananya adalah “mengamati, lalu mengolah informasi dengan cerdas dalam semua konteks yang sudah dikenalnya tentang berbagai benda di dunianya,” begitu penjelasan Srinivasa.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR