Siapa pun yang cukup lama berdekatan dengan gajah sulit untuk tidak membandingkan perilakunya dengan manusia. “Gajah hewan yang sangat manusiawi,” ujar Sheldrick, saat duduk di teras belakang rumahnya di pinggir kawasan panti, sementara dataran luas Taman Nasional Nairobi yang berhias gerombol akasia membentang di kejauhan. “Emosi gajah persis seperti kita. Hewan ini kehilangan keluarganya, melihat induknya dibantai, dan tiba di sini dengan penuh permusuhan—hancur, merana, dan nestapa. Bayi gajah mengalami mimpi buruk dan tak bisa tidur.”
Yang membuat saat ini begitu luar biasa dalam sejarah perseteruan gajah-manusia adalah, kini sains bisa membuktikan anekdot tentang kecerdasan tinggi gajah yang telah lama terdengar. Penelitian menunjukkan bahwa struktur dalam otak gajah sangat mirip dengan otak manusia. Pemindaian MRI otak gajah memperlihatkan hipokampus yang besar. Hipokampus adalah komponen dalam otak mamalia yang terkait dengan memori dan bagian penting sistem limbik, yang terlibat dalam pengolahan emosi. Otak gajah juga terbukti memiliki banyak neuron khusus yang disebut sel gelendong, yang dianggap berhubungan dengan kesadaran diri, empati, dan kesadaran sosial pada manusia. Gajah bahkan lulus tes cermin pengenalan diri, sesuatu yang selama ini hanya bisa dilakukan oleh manusia, serta beberapa kera besar dan lumba-lumba.
Kesamaan neurobiologi ini mendorong beberapa ilmuwan untuk menyelidiki apakah gajah muda yang mengalami guncangan jiwa mungkin menunjukkan tanda-tanda gangguan stres pascatrauma (PTSD), seperti para yatim piatu korban perang atau genosida. Gay Bradshaw, psikolog dan direktur Kerulos Center di Oregon, menerapkan penemuan terbaru psikologi dan ilmu saraf manusia untuk melakukan pengamatan lapangan yang mengejutkan mengenai perilaku gajah. Dia menduga beberapa populasi gajah yang terancam mung-kin menderita trauma dan stres kronis akibat perambahan dan pembunuhan oleh manusia.
Sebelum larangan perdagangan gading internasional pada tahun 1989 diberlakukan, perburuan telah meludeskan populasi gajah dan pada beberapa kasus mengubah struktur sosialnya secara signifikan karena pemburu cenderung memilih gajah yang tua. Para ahli biologi lapangan menemukan bahwa jumlah pejantan, betina pengasuh, dan matriark tua dalam kelompok yang rentan turun secara drastis. Di Uganda, misalnya, satu penelitian melaporkan bahwa banyak betina antara usia 15 dan 25 tahun yang tidak memiliki anggota keluarga dekat sama sekali.
!break!
Beberapa dasawarsa sejak larangan itu, beberapa populasi telah stabil, meskipun kebanyakan gajah tetap terancam perambahan manusia. Seiring maraknya perburuan dalam lima tahun terakhir di Daerah Aliran Sungai Kongo dan kawasan luas di Afrika tengah dan timur, banyak kelompok gajah yang kehilangan sebagian besar betina dewasanya. Di tengah pergolakan sosial seperti itu, bledug dibesarkan oleh betina yang kurang berpengalaman. Semakin banyak jumlah gajah piatu muda—banyak yang menyaksikan kematian induknya yang dibunuh untuk membatasi populasi atau oleh pemburu—yang dewasa tanpa sistem pendukung tradisional. “Hilangnya gajah yang lebih tua,” kata Bradshaw, “dan trauma psikologis dan fisik ekstrem akibat menyaksikan pembantaian anggota keluarganya mengganggu perkembangan normal gajah muda.”
Bradshaw menduga bahwa trauma usia dini ini, bersama dengan kehancuran struktur sosial, dapat menjelaskan beberapa contoh perilaku menyimpang gajah yang dilaporkan para ahli biologi lapangan. Antara 1992 dan 1997, misalnya, gajah jantan muda di Suaka Margasatwa Pilanesberg di Afrika Selatan membunuh lebih dari 40 badak—tingkat agresi yang tidak biasa—dan dalam beberapa kasus berusaha mengawininya. Gajah-gajah muda ini adalah jantan remaja yang menyaksikan keluarganya ditembaki di Taman Nasional Kruger—pembunuhan legal untuk mengontrol populasi gajah. Pada waktu itu, bayi gajah piatu itu biasa ditambatkan ke jasad kawanannya yang telah mati sampai bisa dikumpulkan untuk dipindahkan ke wilayah baru. Setelah pindah ke Pilanesberg, para piatu ini dewasa tanpa dukungan dari gajah dewasa mana pun. “Jantan muda biasanya mengikuti jantan tua yang aktif secara seksual,” kata Joyce Poole, “sepertinya mempelajari yang dilakukannya. Anak-anak ini tidak memiliki panutan seperti itu.”
Allan Schore, pakar gangguan trauma manusia di UCLA yang menulis makalah bersama Bradshaw, perilaku gajah ini sesuai dengan diagnosis PTSD pada manusia. “Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa mekanisme neurobiologis keterikatan ditemukan pada berbagai mamalia, termasuk manusia dan gajah,” jelasnya. “Hubungan emosional antara ibu dan anaknya berdampak pada pembentukan otak bayi yang sedang berkembang. Ketika pengalaman awal bersifat traumatis, ada pelemahan pada sirkuit otak yang sedang berkembang, terutama di daerah yang memproses informasi emosional dan mengatur stres. Itu berarti berkurangnya ketahanan, sementara pengaturan agresi, komunikasi sosial, dan empati menurun secara permanen.”
Salah satu upaya untuk memperbaiki ikatan kelompok gajah yang terputus menyediakan bukti yang mendukung gagasan bahwa trauma usia dini dan kurangnya panutan dapat menyebabkan sikap agresif: Setelah Joyce Poole menyarankan agar jagawana di Afrika Selatan membawa enam gajah jantan dewasa ke populasi Pilanesberg yang terdiri atas 85 gajah, perilaku menyimpang para jantan remaja yang sering menjarah tiba-tiba berhenti.
!break!
Jika gajah bisa terluka seperti kita, hewan ini juga dapat sembuh seperti kita, mungkin lebih mudah. Dengan manusia bertindak sebagai pengganti induknya, bersama dengan bantuan dari gajah panti lainnya, sebagian besar gajah piatu yang selamat dapat pulih menjadi gajah liar yang berfungsi penuh lagi. Sampai saat ini, panti asuhan gajah Sheldrick telah berhasil membesarkan lebih dari seratus gajah piatu. Pada awalnya, gajah-gajah ini kembali ke alam liar dengan waswas, ragu-ragu, dan setengah-setengah, karena setelah menjadi “gajah setengah manusia”, hewan ini terjebak antara ikatan mendalam dengan pengasuh manusianya dan naluri sejatinya yang tak teringkari.
Suatu malam pada musim kemarau sekelompok besar gajah liar muncul dari semak untuk minum di palung air di kompleks Ithumba di Tsavo, salah satu dari dua lokasi tempat transisi gajah piatu ke alam liar. Ada 25 sampai 30 gajah—matriark dan jantan bergading panjang yang besar, remaja jantan dan betina, beberapa bekas piatu, dan beberapa bayi yang baru lahir. Tak jauh dari palung itu ada celung terbuka tempat gajah piatu Ithumba berkumpul malam itu, para bledug piatu ini mengawasi gajah liar yang balas menatap di sela-sela minumnya. Saya dan penjaga berdiri tidak lebih dari 25 meter dari kelompok liar itu, jauh lebih dekat dari yang biasanya saya alami. Dan kawanan gajah tersebut berada lebih dekat dengan manusia daripada gajah liar biasanya. Adegan ajaib ini terjadi akibat kehadiran gajah piatu dan komunikasinya dengan kelompok liar. “Para gajah piatu itu memberi tahu kawanan liar bahwa hal itu baik-baik saja,” jelas Benjamin Kyalo, kepala penjaga gajah Ithumba. “Berita ini jelas menyebar di sekitar Tsavo: Manusia baik. Air bagus. Ayo ke sana!”
Pada siang hari, para penjaga menggembalakan gajah piatu ke semak untuk meramban. Mereka memberikan botol susu formula tengah hari di sebuah kubangan yang telah ditentukan. Ketika beberapa kepala gajah liar muncul di kejauhan, para penjaga mengawasi lekat-lekat gajah piatu yang masih bergantung pada susu, agar tidak pergi bersama kawanan liar itu. Namun, pada usia lima atau tujuh tahun, gajah piatu boleh pergi mengikuti kawanan liar. Beberapa gajah keluar beberapa malam sebelum kembali ke celungnya, seperti numpang menginap. Beberapa pergi untuk seterusnya, menjadi anggota penuh kawanan liarnya sendiri.
!break!
Kembali ke Panti Nairobi, para bledug yang kembali untuk makan pukul enam, berlari kencang begitu melihat barisan penjaga mengangkat botol besar susu di depan kandang masing-masing. Keributan besar pasti terjadi saat gajah-gajah itu tiba—ada perubahan pengaturan kandang karena ada pendatang baru, dan gajah benci perubahan pada rutinitasnya. Penjaga paling veteran di panti itu, Mishak Nzimbi—dikenal sebagai “pawang gajah” dan jelas favorit semua gajah piatu—menengahi kerusuhan itu. Dengan sedikit mengangkat tangan dan satu ucapan tegas, para penghuni diam di tempatnya, menyedot habis berliter-liter susu formula dalam hitungan detik.
“Para penjaga mengontrol gajah-gajah ini tanpa memakai tongkat atau apa pun!” ujar putri Daphne—Angela, direktur eksekutif David Sheldrick Wildlife Trust saat ini—terkagum-kagum. “Semuanya timbul dari keinginan gajah untuk menyenangkan orang yang disayanginya. Menakjubkan dan sungguh indah. Pada gajah, kita menuai yang kita tabur, dan cara mendapatkan hasil terbaik darinya adalah dengan memberikan kasih sayang.”
Kami berjalan ke kandang yang bertuliskan Murka—gajah piatu yang ditemukan dengan tombak menancap di kepalanya. “Lihat dia sekarang,” kata Daphne, saat Murka, dengan hanya sedikit codet di keningnya yang mengingatkan pada nasib malangnya, mendekati pintu kandangnya yang setengah terbuka dan mengisap dua jari saya. “Para dokter hewan mengira dia tidak akan melalui malam pertama itu dengan selamat.” “Dia bahkan sembuh secara psikologis,” tambah Angela. “Ketika sadar pertama kali dia sangat traumatis, menyerang semua orang. Namun, perlahan dia mulai percaya lagi, dan setelah sekitar satu bulan terbiasa dengan manusia, dia aktif mendekati mereka. Dan itu bukan hanya hasil perbuatan kami. Dia tidak akan pulih begitu cepat tanpa dukungan dari gajah lainnya.”
Di sekeliling kami gajah piatu dan penjaga bersiap tidur. Gajah tidur dengan penjaga yang berbeda setiap malam untuk mencegahnya ter-lalu lengket dengan orang tertentu. Sambil bersandar di pintu kandang, Nzimbi, pengawas Murka untuk malam ini, ingat saat pertama me-ngunjungi panti ini 22 tahun yang lalu. Dia langsung meminta pekerjaan kepada Daphne. “Saya memahami hewan ini,” katanya. “Saya sangat menyayanginya.”
Ranjang Nzimbi berada tepat di atas jerami berlapis selimut Murka, dengan radio kecil di samping bantalnya. Saya bertanya apakah dia memiliki jam weker untuk membangunkannya untuk memberi makan gajah.
“Tidak,” katanya. “Setiap tiga jam ada belalai yang menarik selimut saya. Gajah inilah jam weker saya.”
Punya Cara Komunikasi yang Unik, Bisakah Hewan Mempelajari 'Bahasa' Spesies Lain?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR