Di suatu sore yang berpendar, langkah Agus Aris Munandar berhenti di tengah lorong pradaksinapatha. Lelaki berkemeja cokelat tua dan bertas kanvas itu tengah mengamati satu adegan dalam panil relief deretan atas di dinding teras tingkat pertama Borobudur. “Pandangan masih terlalu sesak, kita tidak bisa menikmatinya,” Munandar mengungkapkan kepada saya.
Lalu dia mundur setapak seraya tetap mengamati relief. Boleh jadi pandangannya masih belum nyaman sehingga Munandar mundur setapak lagi sampai tubuhnya merapat ke pagar langkan. Munandar menunjukkan kepada saya satu kisah panil relief Lalitawistara yang dapat dilihat secara utuh dan nyaman. Inilah sebuah adegan pelepasan keduniawian Bodhisattwa yang melukiskan Siddhārta Gautama memotong rambut dan melemparkannya ke atas, sementara para dewa berusaha menangkap dan mengumpulkan rambut-rambut itu. “Nah, barulah jelas semua!”
Guru Besar bidang arkeologi dari Universitas Indonesia ini melakukan reka ulang terhadap para peziarah Borobudur masa lampau. Caranya melalui pemaknaan jarak atau pendekatan proksemik tatkala melihat panil-panil relief di setiap lorong candi, baik relief yang dipahatkan di pagar langkan maupun di dinding teras. Ternyata relief cerita dapat diamati secara baik apabila pengamat berdiri merapat dengan tubuh candi. “Setiap jarak yang terjadi dalam kebudayaan diperkirakan mempunyai makna tertentu.”
Munandar berpendapat, lebar lorong pradaksinapatha diduga merupakan jarak yang disediakan oleh perancang candi sebagai batas terjauh bagi peziarah untuk menyaksikan panil relief dengan nyaman dan memuaskan. Lorong ini berada di setiap tingkat di mana peziarah harus memutarinya dengan mengikuti arah jarum jam. “Pandangan yang nyaman itu ketika mata kita bisa menikmati semua dengan baik dan jelas, baik yang kecil maupun yang besar,” Munandar menyebutkan lebih jauh. “Di Katanya, di dinding lorong itulah kita dapat menyaksikan dengan puas, lebar, dan jelas. Dengan demikian, rangkaian relief terbaca.
Masyarakat Jawa kuno yang membangun candi itu pasti mempunyai konsepsi yang diterapkan dalam pembuatan panil-panil relief cerita. Konsepsi itulah yang secara teguh dan konsisten dipegang dan diterapkan oleh para seniman Jawa kuno. Akibatnya, hasil karya mereka masih dapat dinikmati hingga hari ini. “Rupanya nenek moyang kita sudah memikirkan bagaimana cara yang baik membaca relief,” ujar Munandar.
Seraya menyusuri lorong dia menjelaskan kepada saya bahwa konsep cara memandang yang benar dihubungkan dengan salah satu ajaran Astawidha. Inilah delapan jalan mulia—pandangan yang benar, niat yang benar, bicara yang benar, perilaku yang benar, penghidupan yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan bersemedi yang benar. “Para seniman masa silam itu telah membuat relief dalam keadaan penuh dedikasi pada dewa, artinya membaca pun harus penuh kesungguhan. Apalagi Borobudur adalah bangunan suci.”
!break!
Para peziarah yang memandang relief dengan benar berarti mereka bisa membaca rangkaian kisah dengan baik. Artinya, cara memandang yang baik merupakan bagian Dharma Buddha. “Jadi jarak yang tepat adalah simbol dari dharma yang benar,” ujarnya bersemangat.
Saya turut mengitari tingkat pertama candi secara pradaksina—searah jarum jam—dan mencoba memandangi relief dinding teras itu mirip apa yang dilakukan Munandar. Dengan berdiri merapat ke pagar langkan saya dapat mengamati satu bingkai panil relief yang berada di dinding teras secara utuh dengan pandangan yang nyaman—tidak menyesakkan dan melelahkan mata. Namun, betapa saya terkejut ketika mendongak ke atas, seraut arca wajah Buddha seolah menatap saya.
Munandar tersenyum. Ia membetulkan letak tas kanvas yang tersandang di pundaknya. Lalu ia berkata, cara memandang Buddha dengan mendongak mempunyai makna memandang arūpadhātu atau tingkatan semesta paling tinggi yang tak berwujud.
Dalam membuat setiap tegakan, perancang candi ini selalu memikirkan bahwa yang paling atas adalah yang sempurna. Seraya mendongak dia berkata, “Kita memang harus memandang Buddha ke atas karena arca itu tidak pernah satu level dengan kita.”
Pada tataran arūpadhātu, yang merupakan bagian kepala candi, tidak ditemukan pahatan relief. Bagian ini diidentikkan dengan dunia kehampaan tempat para Bodhisattwa. “Borobudur adalah sebuah mandala besar”, Munandar melanjutkan, “selain bersusun panteon-panteon di dalamnya, juga ada tuntunan supaya orang bisa lepas dari lingkaran-lingkaran samsara itu.”
Sementara pada tataran kāmadhātu di kaki candi terdapat relief Karmawibhangga, yang tampaknya telah ditutup oleh para pembangun Borobudur sendiri. Berikutnya, tataran rūpadhātu, yang merupakan bagian badan candi—tingkat kedua, ketiga, keempat, dan kelima—yang tepian teras-terasnya dilengkapi dengan pagar langkan sehingga lantai pradaksinapatha terbentuk seperti lorong. Di bagian ini, dinding teras dan dinding dalam pagar langkannya terdapat relief naratif, yaitu cerita Lalitawistara, Jatakamala, Awadana, Gandawyuha, dan Bhadracari. Penempatan relief-relief itu pun berada dalam tingkatan yang berbeda.
!break!
Meskipun pemugaran Borobudur telah melintasi masa seratus tahun, mahakarya itu tetap saja misterius bagi ahli arkeologi. Mereka tidak menemukan catatan tertulis semasa yang menyatakan secara tersurat asal-usul nama candi, kapan dibangun, siapa yang membangun, dan kapan hilang hingga nyaris tertimbun tanah bersemak belukar. Hingga kini yang ada hanyalah suatu perkiraan dari berbagai kejadian, huruf prasasti yang digunakan, dan tinggalan budaya.
Lebih dari seribu tahun yang lalu, rekahan bentang alam Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah timur Borobudur masih terlihat sangat jelas. Kedua gunung menjadi saksi para peziarah kuno ketika mengawali lawatannya ke mahakarya dan bangunan suci umat Buddha ini. Mengenakan busana berwarna kunyit, mereka meniti anak tangga dari pintu timur.
Setelah sampai pada tingkat pertama, mereka berbelok ke kiri. Pendeta yang membawa gulungan-gulungan perkamen membimbing para peziarah untuk memasuki tubuh candi, lalu bersama-sama mengelilingi lorong secara pradaksina.
Ibarat pembelajaran dengan metode audio-visual, pendeta menjelaskan kisah di setiap adegan relief sementara para peziarah mendengarkan sekaligus mengamati relief dari dinding teras atau pagar langkan. Selain digunakan untuk menghiasi bangunan suci itu, relief juga berfungsi menjadi media pengajaran agama, dokumentasi cerita, dan mempermudah akses pembelajaran oleh siapa pun.
“Membaca dan merunut relief itu adalah proses yoga,” Munandar menyebutkan. Dalam keheningan dan keadaan beryoga, peziarah mengelilingi Borobudur, membaca relief dengan saksama, hingga menyelesaikan empat tingkatan lorong. Di lorong pertama mereka harus berkeliling empat kali karena terdapat empat lajur rangkaian panil relief di lorong tersebut. Lalu, mereka berkeliling dua kali di masing-masing lorong kedua, ketiga, dan keempat. Totalnya, berkeliling sepuluh kali!
Perjalanan mengelilingi sepuluh kali sambil membaca relief Borobudur senantiasa dilakukan oleh para peziarah yang bersungguh-sungguh bersiap memasuki tahap kehidupan Bodhisattwa: terlepas secara mutlak dari segala ikatan duniawi dan terbebas secara mutlak dari kelahiran kembali. Munandar menjelaskan kembali kepada saya, “Saya cukup takjub, itu sesuai dengan konsep dasabodhisattwa-bhummi, bahwa ada sepuluh lapisan yang harus dilalui orang untuk mencapai pencerahan.”
!break!
Dalam reka ulang Munandar, akses ke dalam lorong-lorong Borobudur pun disesuaikan dengan tingkatan pendeta Buddha. Lorong yang lebih tinggi menandakan tingkatan lebih tinggi pula menuju pencerahan. “Pendeta strotapana hanya sampai di lorong satu,” ungkapnya sambil menyusuri pagar langkan, “pendeta sakadagamin hanya sampai di lorong kedua atau ketiga, pendeta anagamin hanya sampai di lorong keempat, dan yang bisa mencapai tataran teratas hanya pendeta arhat.”
Lalu, bagaimana dengan pusat pengajaran Buddha lainnya? Tampaknya antara Candi Borobudur di Jawa kuno dan Stupa Sañci di India kuno terdapat kesejajaran makna. Artinya, perjalanan mengelilingi Borobudur sama dengan perjalanan mengelilingi Stupa Sañci. Perjalanan keduanya dianggap sebagai simbol penghayatan kehidupan Siddhārta Gautama sejak dia dilahirkan hingga wafat dan memasuki nirwana.
“Simpulannya cukup mengejutkan!” kata Munandar berseri, “Apa yang tadinya diperkirakan para ahli arkeologi bahwa membaca relief Borobudur itu mudah ternyata harus berkali-kali berkeliling searah jarum jam dengan cara merapat ke salah satu dindingnya.”
Ketika pendaran sore kian meredup, lorong-lorong Borobudur itu kembali senyap terselimuti bayang. Mahakarya yang pernah menjadi pusat pembelajaran agama Buddha ini laksana kamus tersembunyi yang menyimpan rahasia ilmu pengetahuan. Salah satu teka-teki Borobudur telah teretas bahwa lebar setiap lorong pradaksinapatha telah menentukan kenyamanan memandang relief. “Jarak inilah yang diaplikasikan—secara tidak sadar—sampai saat ini untuk majalah dinding di kampus,” kata Munandar, “sehingga pengumuman dan poster bisa terlihat jelas.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR