Sementara itu, tidak ada yang dapat dilakukan di Fang selain mengobrol dengan teman setenda dan mencairkan salju. Demikianlah ceritanya sampai saya dan Herbold membahas arkea apak.
“Arkea demikian aneh,” kata Herbold. “Saya tidak bisa memahaminya.”
!break!
Arkea merupakan salah satu dari tiga cabang utama, atau domain, pada pohon kehidupan. (Yang lainnya bakteri dan eukariota—organisme berinti sel, seperti tumbuhan, jamur, dan hewan.) Sekalipun arkea dapat dan memang hidup di tempat biasa seperti laut terbuka, makhluk ini juga terkenal karena merupakan ekstremofilia—organisme yang berkembang dalam lingkungan paling ekstrem yang ada di planet ini. Seperti asam mendidih—tempat semacam itulah. Jadi, tidak mengherankan bahwa makhluk ini juga tersembunyi di tanah panas Gunung Erebus.
Namun, arkea yang ini lebih misterius. Arkea yang ditemukan di tanah yang diambil kelompok ini pada kunjungan ke Erebus sebelumnya, sejauh ini hanya dikenal melalui urutan DNA-nya, tidak mirip dengan arkea yang ditemukan di tempat lain. Ini mungkin menandakan bahwa organisme ini memang sejak dahulu kala terpisah jalur evolusinya. Apakah arkea ini berasal dari perut bumi? Masih terlalu dini untuk disimpulkan.
“Kami menemukan arkea ini di Tramway, tepat di bawah lapisan tebal sianobakteri,” kata Herbold. “Namun, kami sama sekali tidak mengetahui cara hidupnya.” Dia berhenti sejenak, kemudian menambahkan, “Lapisan sianobakteri itu terlihat menyeramkan. Tampak seperti rambut kusut yang berceceran di tanah dan telah dicerna sebagian.”
Saat kami mengobrol, angin bertambah kencang. Tidak lama kemudian, bunyinya mengalahkan suara kami. Selama 15 jam berikutnya angin menghembalangkan kristal es ke tenda dan membuat dinding berderak-derak dan berkepak. Yang dapat kami lakukan cuma meringkuk dalam kantong tidur sambil mendengarkan deru angin.
Sungguh melegakan ketika dua hari kemudian kami dianggap telah beradaptasi, langit cerah, dan terdengar suara helikopter mendekat.
Penerbangan dari fang ke Pondok Erebus Bawah sebentar saja. Namun, lanskapnya sungguh berbeda. Di atas, kawah Erebus mengepul perlahan. Dua bangunan, pondok dan teratak. Jajaran panel surya. Serta deretan menara es yang berbentuk fantastis. Yang terbesar seperti astronaut, dan yang lainnya terlihat seakan tengah berbaris. Bukan saya saja yang melihat bahwa menara es itu mirip makhluk hidup. Tim Shackleton berfoto dengan menara es yang mereka anggap mirip singa. Dan menurut perkiraan mereka, menara es ini menandai letak fumarol—lubang tempat gunung berapi menyemburkan gas yang panas dan lembap. Uap panas itu membeku saat bertemu udara dingin, menciptakan struktur yang tingginya bisa lebih dari 10 meter.
!break!
Pondok Erebus Bawah berbentuk sederhana—satu kamar serta kamar kecil untuk menyimpan makanan beku—tetapi jika dibandingkan dengan Fang, terasa seperti hotel mewah. Biasanya begini kegiatan kami pada malam hari. Di atas pemanas, jemuran sarung tangan berjajar. Herbold bercokol di salah satu sudut, mensterilkan peralatan yang akan dibawa ke lapangan esok hari. McDonald membawa tong salju untuk tambahan air. Cary menerangkan bahwa Erebus merupakan bagian dari penelitian tanah-panas vulkanis yang lebih besar: Mereka sudah mengambil sampel tanah dari gunung berapi Antartika lainnya, mereka pergi ke Yellowstone musim panas lalu, dan mereka berencana pergi ke Kosta Rika dalam waktu dekat. Jehle memasak. Peter sibuk mengkhawatirkan kameranya. Arnold melakukan panggilan radio ke Pangkalan Scott. Moore di luar memperbaiki salah satu mobil salju. Sementara saya mencuci piring sambil memikirkan betapa luasnya lanskap ini.
Tugas rutin pekerjaan ilmiah di lapangan sering membosankan. Namun, di Erebus pekerjaan monoton ini membawa kita ke tempat menakjubkan. Saya berikan tiga contoh.
Satu, kami dengan mengenakan sabuk kekang dan helm turun dengan tali dan tangga ke dalam gua es yang bernama Gua Warren, yang terbentuk akibat uap dari gunung berapi. Dasarnya tanah lembap dan lunak berbatu, sedangkan dindingnya es. Kami di sini untuk mengambil sensor suhu—salah satu dari 23 sensor yang ditinggalkan tim ini di Gunung Erebus setahun lalu. Tujuannya, mengukur perubahan suhu tanah dan dengan demikian menentukan apakah lingkungan ini relatif stabil. Semakin jauh kami masuk, cahaya semakin pudar, dan kami harus menyalakan senter. Semua mikroba yang hidup di sini tak bergantung kepada matahari. Sekarang kami memasuki gua yang gemerlap dengan kumpulan kristal es tipis berbulu. Kami berhenti, terpukau oleh keindahan itu. Lalu, Moore menghilang ke lorong dan beberapa saat kemudian terdengar teriakannya. Dia menemukan sensor itu.
Dua, kami berdiri di tubir Gunung Erebus. Untuk sampai ke sini kami naik mobil salju sejauh yang kami bisa, kemudian mendaki tebing batu-lepasan yang curam dan licin—campuran batu apung dan “kristal Erebus”, bongkah feldspar berbentuk kotak dari lava yang dilontarkan gunung berapi. Hari ini sangat indah. Suhu sekitar -25°C, angin sepoi-sepoi, langit tak berawan, pemandangan menakjubkan. Dan vulkan itu tenang. Walaupun kawahnya sering penuh dengan kepulan uap, hari ini kami dapat melihat ke dasarnya, sekitar 230 meter di bawah, dan tampak danau lavanya.
Di atas sini udara tipis dan sulit berjalan cepat. Saya mengenakan kemeja termal, celana termal, penghangat kaki wol, celana panjang wol, overal berat, rompi bulu, jaket wol, dua jaket bulu, dua pasang kaus kaki, sepatu lars, tiga pasang sarung tangan, penutup kepala, topi, helm mobil salju, pembungkus leher, kacamata ski, dan dua kerudung. Dengan pakaian sebanyak ini, saya jadi menggembung dan sulit bergerak, tetapi hangat. Lumayan. Asalkan kami terus bergerak.
!break!!break!
Namun, kini kami sedang berhenti. Herbold menggali sambil berlulut, mencari sensor suhu yang lain. Saya berharap dia segera menemukannya; saya ingin bergerak lagi. Tiba-tiba saya merasa rawan berada di lingkungan yang ganas ini.
Tiga, Pondok Erebus Bawah. Di luar, badai menderu. Pintu terhempas terbuka. Arnold dan Moore masuk dengan jaket berlapis es dan wajah suram. Arnold melemparkan kapak es ke meja. Kapak itu rusak. Bagian atasnya patah karena dingin. Tak ada pendakian es sore ini. Namun, kami dapat masuk menara es terbesar di dekat sini dan mengebor inti es dari dalam.
Di dalam menara itu, udara lembap dan hangat. Dasarnya berbatu, berlapis es tipis. Langit mengintip melalui lubang tinggi di atas. Mata bor tampak seperti fantasi anak lelaki. Sangat besar—hampir semeter—dan berwarna kuning terang, dengan ulir jingga mencolok. Perlu dua orang untuk mengoperasikannya, satu menahan, yang lain mendorong ke dinding menara es. Bagian dalam mata bor itu berongga, dan dengan didorong seperti ini, rongga itu terisi inti es.
Berhasil! Arnold dan Cary mengeluarkan inti es dari mata bor dan menyimpannya dalam kantong. Mereka berharap inti es itu berisi mikroba yang terlontar dari dalam gunung berapi dan lalu membeku dalam es. Ini menyingkap misteri kehidupan mikroba.
Dua minggu usai naik gunung kami pun turun. Beberapa hari kemudian saya, McDonald dan Cary terbang kembali ke Selandia Baru, bersama kotak sampel yang akan dibawa ke laboratorium—”tempat pekerjaan sebenarnya dilakukan,” ucap Cary.
Kami mendarat saat mentari terbenam. Terasa aneh betapa bersemangat kami menyambut malam—kami begitu merindukan kegelapan. Warna musim semi Selandia Baru yang subur dan berwarna juga terasa aneh. Rasanya seperti kembali ke dunia-berwarna dari alam hitam-putih. Rasanya seperti kembali ke Bumi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR