Lokasi: sebuah tenda di Gunung Erebus, vulkan aktif di Pulau Ross, Antartika. Tenda ini jenis tepee bersudut empat seperti yang dibawa Kapten Robert Falcon Scott dalam ekspedisi Antartikanya lebih dari satu abad yang lalu. Tenda ini cukup tinggi, orang setinggi 165 sentimeter dapat berdiri di tengahnya, dan memiliki dua lubang di bagian atas yang berfungsi sebagai cerobong asap. Tenda ini ditempati dua orang; keduanya meringkuk dalam kantong tidur. Udara terlalu dingin untuk membaca; sekalipun bersarung tangan, tetap terlalu dingin untuk memegang buku. Karena itulah kedua pesakitan—salah satunya saya—menghabiskan waktu dengan mengobrol.
“Apa mikroba favoritmu?” tanya saya sambil membuang lapisan es dari kantong tidur.
“Jelas arkea apak,” jawab rekan saya, Craig Herbold, pria Amerika yang menggeluti astrobiologi, cabang ilmu yang mempelajari kehidupan yang mungkin ada di tempat lain di alam semesta. Dia peneliti dan anggota junior tim beranggota tiga orang yang datang ke sini untuk mencari makhluk hidup di tanah panas gunung berapi itu. Sungguh. Ia datang ke salah satu tempat terdingin di Bumi untuk mencari organisme yang hidup dalam suhu tinggi.
Gunung Erebus merupakan gunung berapi aktif paling selatan di planet ini. Gunung ini mulai terbentuk sekitar 1,3 juta tahun yang lalu dan sekarang menjulang 3.794 meter di atas permukaan laut. Lerengnya tertutup salju, es, gletser, jurang es, dan sesekali aliran lava, tetapi uap hampir selalu mengepul di puncaknya, menandakan panas di dalamnya. Jika diibaratkan kudapan, Erebus seperti kebalikan es krim goreng—beku di luar, panas di dalam.
Gunung ini ditemukan tahun 1841 dalam ekspedisi yang dipimpin Sir James Clark Ross, yang menamainya dengan salah satu kapalnya, H.M.S. Erebus, yang berasal dari dewa kegelapan Yunani, Erebos. Namun, tidak ada yang sampai ke puncaknya hingga 1908, saat gunung itu didaki anggota ekspedisi Nimrod yang dipimpin Sir Ernest Shackleton—dalam ekspedisi itu Shackleton memimpin tim hingga seratus mil laut dari Kutub Selatan tetapi berbalik agar semuanya bisa pulang dengan selamat.
!break!
Tim Shackleton mendaki Erebus. Mereka butuh waktu lima setengah hari untuk sampai ke atas, perjuangan ini termasuk menghadapi badai salju yang memaksa mereka meringkuk dalam kantong tidur selama lebih dari 24 jam tanpa minuman, terpajan pada suhu -34°C, menyebabkan satu orang ambruk kelelahan, dan seorang lagi menderita radang dingin ekstrem sehingga kehilangan jempol kaki.
Perjalanan kami tak sesulit itu. Kami menumpang helikopter.
Meskipun lokasinya terpencil dan iklimnya ganas—suhu rata-rata -20°C di musim panas dan -50°C di musim dingin—Erebus merupakan gunung berapi yang banyak diteliti. Sejak 1972, tiap tahun tim vulkanologi yang dipimpin profesor geokimia Philip Kyle, melewatkan sebagian musim panas selatan di gunung meneliti hal-hal seperti sifat dan frekuensi letusan, jenis gas yang keluar, serta usia batuannya.
Biologi di kurang terdokumentasikan. Sebagian karena di atas Erebus kebanyakan bentuk kehidupan bersifat mikroskopis. Sampai baru-baru ini, penelitian mikroba yang belum dikenal memiliki tantangan tersendiri: Jika tak bisa ditumbuhkan di laboratorium, kita tak dapat mendeskripsikannya, apalagi menelitinya.
Namun, kini tak perlu lagi membiakkan mikroba untuk menelitinya. Dalam sekitar satu dasawarsa terakhir, teknik genetika telah demikian berkembang sehingga memungkinkan komunitas mikroba dikenali melalui DNA-nya saja, memberikan gambaran yang jauh lebih lengkap mengenai jenis-jenis yang ada. Jadi, sekalipun makhluk hidup telah ditemukan di tanah panas Erebus sejak awal 1960, baru kini kita dapat menelitinya dengan saksama.
Tanah panas Erebus bertebaran di sekitar puncaknya, yang paling terkenal adalah Punggungan Tramway. Panas dari gunung berapi melelehkan es, menciptakan sepetak kecil tanah lembap dan panas yang dihuni komunitas lumut dan mikroba.
!break!
Ini yang menarik. Petak-petak ini adalah kantong kecil kehangatan di tengah iklim dingin. Meskipun tanah itu panas—dapat mencapai suhu 65°C—udara tepat di atasnya tak panas. Selain itu, tak sampai satu meter dari titik panas itu, suhu tanah menurun drastis. Keasaman tanah juga berubah. Keasaman tanah di titik-panas relatif netral. Tak jauh dari situ tanahnya sangat asam. Tak ada kehidupan. Dingin, kering, dan asam tidak cocok bagi makhluk hidup.
Keberadaan kantong-kantong ini menimbulkan pertanyaan menarik. Mikroba apa yang hidup di sana, dan dari mana asalnya? Mikroba dapat melayang ratusan kilometer bersama angin. Apakah mikroba ini tertiup dari tanah panas gunung-gunung berapi di utara? Atau apakah mikroba di Erebus ini unik, dan—ini sangat menarik—apakah makhluk ini berasal jauh dari dalam perut bumi? Biosfer perut bumi, tempat organisme hidup di bebatuan jauh di bawah permukaan bumi, merupakan salah satu ekosistem planet ini yang kurang dikenal. Namun, mungkin merupakan salah satu yang terbesar—beberapa perkiraan menyatakan bahwa sepertiga dari semua bakteri di planet ini mungkin hidup di sana—dan yang teraneh. Mikroba tersebut tidak hidup dengan menyerap energi dari matahari. Sebaliknya, makhluk tersebut mendapatkan energi dari sumber lain, seperti besi atau hidrogen. Ekosistem dalam-dan-gelap ini mungkin juga merupakan yang paling purba di bumi dan bisa jadi merupakan asal bentuk kehidupan yang kemudian terpisah jalur evolusinya.
Perjalanan kami dimulai di Dinas Antartika Selandia Baru, di Christchurch, tempat seorang pria periang bernama Chris membekali kami dengan perlengkapan: pakaian dalam hangat, dua celana panjang wol (tebal dan tipis), dua jaket wol (idem), overal tahan angin, jaket tipis dari bulu-kapas sintetis, jas hujan, jaket berat dari bulu-kapas asli, dua pasang sepatu lars, dua pasang kaus kaki tebal, sandal bulu untuk di tenda, sembilan pasang sarung tangan, topi, penutup kepala, pembungkus leher (syal berbentuk seperti tabung), kacamata salju, dan kacamata hitam. Karena Antartika adalah gurun, sekalipun dingin, Chris juga memberi kami masing-masing satu botol air minum bermulut lebar yang berlabel MINUM ATAU MATI! beserta daftar tanda-tanda umum dehidrasi.
Setelah dibekali, kami naik pesawat transportasi militer AS—bersama dengan penumpang lain dan beberapa peti besar berlabel “Jangan dibekukan”—menuju Pulau Ross. Kami mendarat di hamparan es laut dan turun ke dalam lanskap putih, biru, dan keemasan. Putih: es, salju, awan. Biru: langit, beberapa jenis es, dan jika terlihat, laut lepas. Emas: pantulan cahaya matahari dari es atau awan. Sayangnya kami tidak punya waktu lama, karena kami harus pergi menjalani pelatihan di Pangkalan Scott, stasiun penelitian Selandia Baru di Antartika.
Bahkan di zaman modern ini—ketika ada masalah, kemungkinan besar akan terselamatkan—perjalanan di Antartika tetap terperinci dan rumit. “Jangan berasumsi,” kata Stu Arnold, warga Selandia Baru yang berkulit kasar lantaran terkena angin, pada hari pertama pelatihan kami. “Periksa semua peralatan.”
!break!
Ian McDonald, peneliti senior dalam tim Herbold, mencondongkan tubuhnya ke arah saya dan berkata, “Jangan lupa memastikan termosmu berfungsi—air tetap panas semalaman dan tidak bocor.”
“Kamu masih menyimpan botol air yang kita beli di Selandia Baru?” tanya Craig Cary, lelaki flamboyan dan veteran dalam penelitian di Antartika. Saya mengangguk. “Bawa saja. Lebih mudah untuk minum dengan botol itu saat berbaring di kantong tidur. Jika minum dengan botol yang diberikan, airnya bisa menumpahi badanmu—dan yah, kamu bakal dapat masalah.”
Masalah, karena basah berarti dingin. Paling ringan, pakaian dan kantong tidur yang basah menyedot panas dari kulit kita. Paling parah, keduanya membeku menjadi baju es. Salah satu penjelajah awal menggambarkan saat ia meninggalkan kemahnya dengan pakaian yang lembap oleh keringat dan pernapasan: “Begitu di luar, aku menengadah untuk melihat sekeliling dan tiba-tiba tidak bisa menggerakkan kepala. Pakaianku langsung membeku saat berdiri di luar—mungkin sekitar lima belas detik.” Gawat!
Jadi, kami menguji termos dan botol air. Kami lanjutkan dengan menguji kualitas pakaian—pakaian yang cocok berbeda untuk setiap orang—kemudian berbelanja di Stasiun McMurdo, pangkalan Amerika di dekat situ, membeli helm mobil-salju. Kembali ke Pangkalan Scott kami menyiapkan peralatan tidur. Di bagian bawah matras busa. Berikutnya kasur angin tiup. Selanjutnya karpet kulit domba. Terakhir dua kantong tidur dari bulu, dipakai berlapis serta seprai wol kutub, dimasukkan ke dalam bungkus pelindung. Setelah itu, kami menimbang semuanya, termasuk tubuh kami, karena daya angkut helikopter terbatas.
Lalu menunggu. Pada malam yang kami rencanakan untuk terbang ke atas gunung, ada awan tebal menggantung. Baru petang berikutnya cuaca cukup cerah untuk berangkat.
!break!
Perhentian pertama, Kamp Gletser Fang, di lereng gunung berapi sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut, tempat kami melewatkan beberapa hari untuk membiasakan tubuh dengan ketinggian. Fang terletak di padang salju di hulu gletser dengan pemandangan pegunungan benua Antartika di satu sisi dan puncak Gunung Terror yang berselimut salju di sisi lain. Batu gelap berbentuk taring yang menjadi asal nama kamp ini mencuar ke langit di depan; sisa-sisa kaldera yang runtuh ratusan ribu tahun yang lalu. Saat angin mati, suasana terasa begitu hening. Tidak ada suara mesin, burung, serangga, gemeresik daun. Di samping itu, pada saat seperti ini matahari tidak terbenam, dan langit cerah—seterang lintasan ski—sepanjang waktu. Satu-satunya perbedaan antara siang dan tengah malam adalah bahwa pada tengah malam bayangan lebih panjang dan udara lebih dingin.
Namun, Kamp Fang cuma kamp biasa. Sementara pangkalan operasi kami nanti, Pondok Erebus Bawah, memiliki dua bangunan kecil (disebut pondok dan teratak) dengan listrik, pemanas, kursi, meja, serta kompor dengan oven, yang dimiliki Fang hanyalah deretan tenda di atas salju.
Berkemah di lingkungan ini ada kesulitannya sendiri. Misalnya, jika kita tidak segera menyantap makanan beberapa menit setelah dimasak, maka masakan itu akan membeku. Suatu pagi saya kurang cepat makan sereal—dan harus mencuilinya sedikit demi sedikit dengan sendok. Satu-satunya cara untuk menjaga kehangatan barang adalah dengan memberikan panas tubuh kita. Ini berarti kita harus memasukkannya ke dalam kantong tidur. Itulah sebabnya saya berbagi kantong tidur dengan pelembap bibir, pelembap kulit, pasta gigi, tisu basah, kamera, jam tangan, beberapa pena, sandal tenda, dua pasang sarung tangan, dua botol air, tiga baterai, dan tiga botol pipis.
Botol pipis? Untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian kami harus minum air enam sampai delapan liter sehari, yang semuanya didapatkan dengan mencairkan salju. Minum banyak jelas ada akibatnya. Jadi di Fang ada tenda toilet. Namun, untuk pergi ke tenda toilet kami harus berpakaian lengkap; saat suhu di luar -40°C, kami tidak bisa bergegas keluar dengan memakai piama. Karena itu, demi kemudahan kami tetap di dalam tenda dan kencing menggunakan botol. Ketika sudah penuh, baru pergi ke tenda toilet dan mengosongkan semua botol tersebut. Jika sampai beku—bencana.
Sementara itu, tidak ada yang dapat dilakukan di Fang selain mengobrol dengan teman setenda dan mencairkan salju. Demikianlah ceritanya sampai saya dan Herbold membahas arkea apak.
“Arkea demikian aneh,” kata Herbold. “Saya tidak bisa memahaminya.”
!break!
Arkea merupakan salah satu dari tiga cabang utama, atau domain, pada pohon kehidupan. (Yang lainnya bakteri dan eukariota—organisme berinti sel, seperti tumbuhan, jamur, dan hewan.) Sekalipun arkea dapat dan memang hidup di tempat biasa seperti laut terbuka, makhluk ini juga terkenal karena merupakan ekstremofilia—organisme yang berkembang dalam lingkungan paling ekstrem yang ada di planet ini. Seperti asam mendidih—tempat semacam itulah. Jadi, tidak mengherankan bahwa makhluk ini juga tersembunyi di tanah panas Gunung Erebus.
Namun, arkea yang ini lebih misterius. Arkea yang ditemukan di tanah yang diambil kelompok ini pada kunjungan ke Erebus sebelumnya, sejauh ini hanya dikenal melalui urutan DNA-nya, tidak mirip dengan arkea yang ditemukan di tempat lain. Ini mungkin menandakan bahwa organisme ini memang sejak dahulu kala terpisah jalur evolusinya. Apakah arkea ini berasal dari perut bumi? Masih terlalu dini untuk disimpulkan.
“Kami menemukan arkea ini di Tramway, tepat di bawah lapisan tebal sianobakteri,” kata Herbold. “Namun, kami sama sekali tidak mengetahui cara hidupnya.” Dia berhenti sejenak, kemudian menambahkan, “Lapisan sianobakteri itu terlihat menyeramkan. Tampak seperti rambut kusut yang berceceran di tanah dan telah dicerna sebagian.”
Saat kami mengobrol, angin bertambah kencang. Tidak lama kemudian, bunyinya mengalahkan suara kami. Selama 15 jam berikutnya angin menghembalangkan kristal es ke tenda dan membuat dinding berderak-derak dan berkepak. Yang dapat kami lakukan cuma meringkuk dalam kantong tidur sambil mendengarkan deru angin.
Sungguh melegakan ketika dua hari kemudian kami dianggap telah beradaptasi, langit cerah, dan terdengar suara helikopter mendekat.
Penerbangan dari fang ke Pondok Erebus Bawah sebentar saja. Namun, lanskapnya sungguh berbeda. Di atas, kawah Erebus mengepul perlahan. Dua bangunan, pondok dan teratak. Jajaran panel surya. Serta deretan menara es yang berbentuk fantastis. Yang terbesar seperti astronaut, dan yang lainnya terlihat seakan tengah berbaris. Bukan saya saja yang melihat bahwa menara es itu mirip makhluk hidup. Tim Shackleton berfoto dengan menara es yang mereka anggap mirip singa. Dan menurut perkiraan mereka, menara es ini menandai letak fumarol—lubang tempat gunung berapi menyemburkan gas yang panas dan lembap. Uap panas itu membeku saat bertemu udara dingin, menciptakan struktur yang tingginya bisa lebih dari 10 meter.
!break!
Pondok Erebus Bawah berbentuk sederhana—satu kamar serta kamar kecil untuk menyimpan makanan beku—tetapi jika dibandingkan dengan Fang, terasa seperti hotel mewah. Biasanya begini kegiatan kami pada malam hari. Di atas pemanas, jemuran sarung tangan berjajar. Herbold bercokol di salah satu sudut, mensterilkan peralatan yang akan dibawa ke lapangan esok hari. McDonald membawa tong salju untuk tambahan air. Cary menerangkan bahwa Erebus merupakan bagian dari penelitian tanah-panas vulkanis yang lebih besar: Mereka sudah mengambil sampel tanah dari gunung berapi Antartika lainnya, mereka pergi ke Yellowstone musim panas lalu, dan mereka berencana pergi ke Kosta Rika dalam waktu dekat. Jehle memasak. Peter sibuk mengkhawatirkan kameranya. Arnold melakukan panggilan radio ke Pangkalan Scott. Moore di luar memperbaiki salah satu mobil salju. Sementara saya mencuci piring sambil memikirkan betapa luasnya lanskap ini.
Tugas rutin pekerjaan ilmiah di lapangan sering membosankan. Namun, di Erebus pekerjaan monoton ini membawa kita ke tempat menakjubkan. Saya berikan tiga contoh.
Satu, kami dengan mengenakan sabuk kekang dan helm turun dengan tali dan tangga ke dalam gua es yang bernama Gua Warren, yang terbentuk akibat uap dari gunung berapi. Dasarnya tanah lembap dan lunak berbatu, sedangkan dindingnya es. Kami di sini untuk mengambil sensor suhu—salah satu dari 23 sensor yang ditinggalkan tim ini di Gunung Erebus setahun lalu. Tujuannya, mengukur perubahan suhu tanah dan dengan demikian menentukan apakah lingkungan ini relatif stabil. Semakin jauh kami masuk, cahaya semakin pudar, dan kami harus menyalakan senter. Semua mikroba yang hidup di sini tak bergantung kepada matahari. Sekarang kami memasuki gua yang gemerlap dengan kumpulan kristal es tipis berbulu. Kami berhenti, terpukau oleh keindahan itu. Lalu, Moore menghilang ke lorong dan beberapa saat kemudian terdengar teriakannya. Dia menemukan sensor itu.
Dua, kami berdiri di tubir Gunung Erebus. Untuk sampai ke sini kami naik mobil salju sejauh yang kami bisa, kemudian mendaki tebing batu-lepasan yang curam dan licin—campuran batu apung dan “kristal Erebus”, bongkah feldspar berbentuk kotak dari lava yang dilontarkan gunung berapi. Hari ini sangat indah. Suhu sekitar -25°C, angin sepoi-sepoi, langit tak berawan, pemandangan menakjubkan. Dan vulkan itu tenang. Walaupun kawahnya sering penuh dengan kepulan uap, hari ini kami dapat melihat ke dasarnya, sekitar 230 meter di bawah, dan tampak danau lavanya.
Di atas sini udara tipis dan sulit berjalan cepat. Saya mengenakan kemeja termal, celana termal, penghangat kaki wol, celana panjang wol, overal berat, rompi bulu, jaket wol, dua jaket bulu, dua pasang kaus kaki, sepatu lars, tiga pasang sarung tangan, penutup kepala, topi, helm mobil salju, pembungkus leher, kacamata ski, dan dua kerudung. Dengan pakaian sebanyak ini, saya jadi menggembung dan sulit bergerak, tetapi hangat. Lumayan. Asalkan kami terus bergerak.
!break!!break!
Namun, kini kami sedang berhenti. Herbold menggali sambil berlulut, mencari sensor suhu yang lain. Saya berharap dia segera menemukannya; saya ingin bergerak lagi. Tiba-tiba saya merasa rawan berada di lingkungan yang ganas ini.
Tiga, Pondok Erebus Bawah. Di luar, badai menderu. Pintu terhempas terbuka. Arnold dan Moore masuk dengan jaket berlapis es dan wajah suram. Arnold melemparkan kapak es ke meja. Kapak itu rusak. Bagian atasnya patah karena dingin. Tak ada pendakian es sore ini. Namun, kami dapat masuk menara es terbesar di dekat sini dan mengebor inti es dari dalam.
Di dalam menara itu, udara lembap dan hangat. Dasarnya berbatu, berlapis es tipis. Langit mengintip melalui lubang tinggi di atas. Mata bor tampak seperti fantasi anak lelaki. Sangat besar—hampir semeter—dan berwarna kuning terang, dengan ulir jingga mencolok. Perlu dua orang untuk mengoperasikannya, satu menahan, yang lain mendorong ke dinding menara es. Bagian dalam mata bor itu berongga, dan dengan didorong seperti ini, rongga itu terisi inti es.
Berhasil! Arnold dan Cary mengeluarkan inti es dari mata bor dan menyimpannya dalam kantong. Mereka berharap inti es itu berisi mikroba yang terlontar dari dalam gunung berapi dan lalu membeku dalam es. Ini menyingkap misteri kehidupan mikroba.
Dua minggu usai naik gunung kami pun turun. Beberapa hari kemudian saya, McDonald dan Cary terbang kembali ke Selandia Baru, bersama kotak sampel yang akan dibawa ke laboratorium—”tempat pekerjaan sebenarnya dilakukan,” ucap Cary.
Kami mendarat saat mentari terbenam. Terasa aneh betapa bersemangat kami menyambut malam—kami begitu merindukan kegelapan. Warna musim semi Selandia Baru yang subur dan berwarna juga terasa aneh. Rasanya seperti kembali ke dunia-berwarna dari alam hitam-putih. Rasanya seperti kembali ke Bumi.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR