PAGI ITU, PERAIRAN TERUMBU PULAU TOMIA, SULAWESI TENGGARA, TAMPAK TENANG. LA UDI BARU SAJA MEMATIKAN mesin tempel di ekor perahunya. Cerahnya langit menyibak keelokan gugusan terumbu karang dari permukaan air. Saat itu arus permukaan seakan nihil. Perlahan, La Udi mendayung hingga perahu mencapai penghabisan terumbu tepi yang hilang di kedalaman. Ia tidak merasa perlu membuang sauh.
Dari ember kecil di lambung perahu, La Udi mengambil umpan cacahan ikan layang. Dua bongkah daging dengan lihai segera dia kaitkan pada kail di ujung senar pancing. Umpan dilepasnya, bandul pemberat segera membawa umpan ke kedalaman. Ketika ia merasa pemberat mencapai kedalaman 20 depa (sekitar 30 meter), La Udi menahan senar.
Tangan kanannya membuat tarikan-tarikan pendek, berharap ikan karang terpikat umpan. Kurang dari tiga menit, senar pancing seketika menegang dan bergerak melingkar, menciptakan riak-riak kecil di permukaan air. “Ini kerapu,” ujarnya yakin.
Mendapati kerapu, La Udi tidak bergegas menarik senar layaknya pemancing pada umumnya. Ada jeda setiap dua atau tiga tarikan tangan, “Agar ikan tidak kembung setiba di permukaan, karena ikan yang kembung akan kesakitan atau stress,” katanya kepada saya. Jika masih ada sisa udara di gelembung renang kerapu, La Udi segera menancapkan jarum berongga ke perut ikan itu. Kerapu bertotol yang terus menggeliat itu akhirnya tenang sesaat, dan masuk dalam palka kecil berair laut. Kali ini kerapu tidak boleh mati.
Selama kurang lebih dua jam La Udi mengulang-ulang teknik pancing-ulur ini. Sayang, laut kurang berpihak padanya hari itu. Jelang tengah hari, enam kerapu hidup terkumpul di palka, berukuran sekitar satu setengah hingga dua setengah jengkal tangan orang dewasa. Dirasa cukup, mesin tempel dihidupkan, dan ia pun meluncur ke perairan Desa Lamanggau di Tomia.
Setelah 45 menit perjalanan dari lokasi tangkap, sampailah La Udi di keramba jaring apung tempat tangkapan akan dibeli “koordinator”, sebutan lokal untuk pengumpul. Dua dari lima petak keramba dipadati kerapu hidup yang berseliweran. Sekitar 200 kilogram kerapu telah terkumpul sejak beberapa bulan lalu.
Imam Musyafa, kepala keramba, lekas turun ke perahu, dan sejenak mengamati ikan di palka La Udi. Dengan jaring, hanya empat kerapu dipindahkan Imam ke timbangan, lalu masuk ke satu keramba kosong. Dua kerapu di palka tidak terpilih, sebab bagi Imam, yang satu ukurannya terlalu kecil sementara satu lagi sudah sakit sejak dari perjalanan.
Hari itu, La Udi membawa uang Rp210 ribu dari total 3,5 kilogram tangkapan kerapu. Padahal, lima tahun lalu, ia bersama orang tuanya bisa dengan mudah mendapatkan 20 hingga 30 kilogram kerapu. “Sejak akhir 2008, kerapu yang ditangkap saat ini semakin jarang dan kecil ukurannya,” keluh La Udi.
“Semakin banyak yang mengincar ikan karang. Lebih parah lagi, di luar Tomia masih ada yang menggunakan bius dan bom,” La Udi menambahkan. Hari itu, sisa dua kerapu yang tidak terpilih oleh Imam akan dijualnya di pasar desa. Tangkapan lain berupa dua ikan kerapu akan ia bakar sendiri di rumah, “Ini untuk dihidangkan bersama kasoami,” katanya semringah. Kasoami adalah pengganti nasi khas lokal berbahan dasar ubi kayu yang dikukus dalam anyaman daun kelapa.
!break!
LA UDI ADALAH SATU DARI sekitar 31.000 lebih nelayan penangkap ikan di Kepulauan Wakatobi—kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang dihuni sekitar 110 ribu jiwa. Alam laut di kepulauan dengan nama kuno Toekang Besi ini sudah berabad-abad menjadi pilar kehidupan keluarga nelayan—makan ikan, air laut untuk mandi, rumah panggung tancap di atas air, hingga, sedihnya, karang untuk fondasi dasar rumah.
Tingginya keanekaragaman hayati ekosistem terumbu karang dan ikan membuat Wakatobi ditetapkan sebagai situs cagar biosfer oleh UNESCO. Pada 2003, survei dari dua organisasi lingkungan, The Nature Conservancy (TNC) bersama WWF-Indonesia mencatat keberadaan hingga 396 spesies karang dan 590 jenis ikan di terumbu Taman Nasional Wakatobi (TNW).
“Kini perdagangan ikan karang hidup untuk konsumsi menjadi primadona industri perikanan dengan putaran uang 400 juta hingga satu miliar dolar AS,” tutur Abdullah Habibi, Koordinator Perikanan Tangkap di WWF-Indonesia. Permintaan restoran kelas atas di Asia Tenggara, khususnya di Hong Kong dan Cina, ditengarai menjadi pemicu utamanya.
Di piring pelanggan fine dining, satu kilogram ikan karang hidup bisa mencapai harga 100 dolar AS (sekitar Rp950.000). Ironisnya, hampir separuh suplai ikan konsumsi di dunia datang dari laut-laut di Indonesia. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, pada 2010 Indonesia mengekspor sekitar 123.000 ton kerapu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR