Saya dan fotografer Paolo Pellegrin beberapa kali mendatangi sejumlah terowongan Rafah. Perjalanan dengan kendaraan dari Gaza City, satu jam ke utara, menyajikan “tamasya” yang memilukan. Kepiluan pascaperang saudara dan serangan Israel yang terakhir ke Jalur Gaza—Operation Cast Lead pada 2008-2009—kentara di mana-mana.
Sambil berkendara ke selatan, kami melewati bekas tempat kediaman Arafat yang dihantam bom dan diseraki kendaraan berkarat. Lalu, kami menyusuri garis pantai. Dulu pantai itu salah satu pantai tercantik di Mediterania, tetapi kini ditempati bangkai kafe tepi pantai dan kolam renang berbau busuk.
Saat menuju ke pedalaman, kami melewati permukiman Israel yang sudah ditinggalkan. Ladang mereka berpasir, rumah gas kaca hancur lebur. Di sebelah selatan Rafah, reruntuhan Bandara Gaza tampak merana bak lukisan bentang alam karya Claude Lorrain. Kini hanya digunakan oleh gembala domba dan suku Badui yang menggembalakan unta.
!break!
Juru bahasa kami, Ayman, bercerita bahwa setelah bandara dibangun, dia sangat bangga akan tempat itu sampai-sampai membawa keluarganya pada akhir pekan untuk berpiknik ke tempat itu. Sesampainya kami di Rafah, kehidupan bergulir lagi.
Gaza, yang merupakan kata kiasan untuk konflik, juga bersinonim dengan kebutuhan pokok dalam kenangan masyarakat Timur Tengah, yaitu perdagangan. Pasukan yang berbaris menuju gurun mengandalkan sumur air dan dinding benteng. Namun, bagi para saudagar selama beberapa milenium, Gaza adalah jalur maritim rute perdagangan rempah-rempah dan hasil pertanian. Sejak 1960-an sampai akhir 1980-an, Gaza dan Israel menikmati hubungan komersial simbiosis.
Para pengrajin dan pekerja Gaza melintasi perbatasan setiap pagi untuk bekerja di Tel Aviv dan Yerusalem, sementara warga Israel berbelanja di pasar bebas pajak Gaza City, Khan Younis, dan terutama Rafah. Intifada pertama, yang berlangsung dari 1987 sampai 1993, mengakhiri sebagian besar kenikmatan itu.
Bukan rahasia lagi, para operator terowongan Gaza itu tebal muka, apalagi sejak Kebangkitan Dunia Arab dimulai. Seberapa tebal muka mereka belum kentara sampai kami keluar dari pasar, dan deretan tenda terpal beratap putih terhampar di hadapan kami. Deretan itu membentang sejauh mata memandang di sepanjang dinding perbatasan ke dua arah.
Di bawah setiap tenda ada terowongan. Semua terowongan itu berada di jalur Philadelphi, zona patroli yang dibuat oleh militer Israel sebagai bagian dari Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979. Semuanya kasat mata bagi menara pengawas dan pos penembak jitu Mesir.
Setiap beberapa ratus meter tampak polisi berwajah bosan, yang usianya sedikit di atas usia anak remaja, duduk di luar tenda dan gubuk. Senapan AK-47 bertengger di pangkuannya. Hamas melarang wartawan datang ke sini, jadi kami mengemudi ke ujung koridor dan parkir di balik sebuah bukit tanah. Dengan sembunyi-sembunyi, kami berjalan ke dalam tenda pertama yang kami lihat.
Di sana kami bertemu dengan Mahmoud, lelaki berusia 50-an yang pernah bekerja di sebuah pertanian di Israel. Dia kehilangan mata pencaharian ketika perbatasan ditutup saat intifada kedua melanda. Jadi dia dan sekelompok mitranya mengumpulkan tabungan. Pada 2006, mereka mulai menggali. Satu tahun kemudian mereka pun punya terowongan.
Setelah tawar-menawar dengan Ayman, disertai rasa waswas, Mahmoud sepakat untuk menunjukkan cara kerjanya. “Kemarilah,” katanya, sambil memandu saya ke lubang sumur. Di atasnya ada tiang-tiang bersilang dilengkapi kerekan, tempat tergantungnya tali pengaman tubuh untuk menaikkan dan menurunkan barang dan pekerja.
Tali pengaman itu ditautkan ke segulung kabel logam dengan katrol yang bisa menurunkan pekerja sekitar delapan belas meter ke dalam lubang mulut terowongan. Panjang terowongan Mahmoud sekitar 400 meter, tetapi beberapa terowongan bisa berjarak hingga hampir 800 meter.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR