“Jadi, kita kehilangan sekitar setengah pupuk yang kita tambahkan,” kata Robertson. Kehilangan ini jauh lebih sedikit daripada yang umum terjadi di Cina. Namun, jika dikalikan dengan jutaan hektare lahan tani Amerika, itu cukup untuk menghasilkan air tanah yang tercemar, Sungai Mississippi yang penuh zat hara, dan zona mati raksasa di Teluk Meksiko.
Ladang organik dalam eksperimen Robertson, yang tidak diberi kotoran hewan atau pupuk komersial, hanya kehilangan sepertiganya—tetapi ladang itu juga menghasilkan biji-bijian 20 persen lebih sedikit. Yang menarik, ladang “asupan rendah”, yang diberi sedikit pupuk tetapi juga ditanam dengan tanaman penutup tanah musim dingin, menawarkan sisi terbaik dua dunia: Panen rata-ratanya kira-kira setinggi panen dari ladang konvensional, tetapi peresapan nitrogen sangat berkurang, hampir setingkat ladang organik.
Robertson berpikir, jika petani Amerika dapat memangkas kehilangan nitrogennya hingga mendekati tingkat ini, lahan basah yang diremajakan dan sungai kecil yang dipulihkan dapat membersihkan sisanya. Namun, di Cina, banyak petani merasa sulit berubah. Saat mata pencarian keluarga yang menjadi taruhan, tampaknya lebih aman memakai pupuk terlalu banyak daripada terlalu sedikit.
Di Afrika, masalah penggunaan pupuk komersial secara berlebihan justru tak terbayangkan. Petani Afrika menggunakan pupuk dalam jumlah kecil—rata-rata hanya tujuh kilogram per hektare. Sumber alternatif, seperti kotoran atau tanaman kacang-kacangan, juga langka.
Banyak petani di desa Afrika berfokus pada tanaman seperti padi atau jagung yang memberi kalori maksimum, tetapi cenderung menghabiskan zat hara dari tanah. Tanah yang kehabisan zat hara menyebabkan panen semakin sedikit, sehingga petani kekurangan uang untuk membeli pupuk.
!break!
Menurut banyak pakar, tanah Afrika seakan ditambang zat haranya. Lubuk kesuburan alami—zat hara disimpan dalam materi organik berupa akar dan daun yang membusuk dari abad-abad sebelumnya—kian menyusut, sementara setiap tahun pertanian menyedot nitrogen, fosfor, dan kalium lebih banyak daripada yang digantikannya.
Ini menyebabkan lahan berangsur-angsur kian tak mampu memberi makan manusia yang bergantung padanya.
Panen biji-bijian rata-rata di Afrika sub-Sahara sekitar seribu kilogram per hektare, hanya seperlima rata-rata di Cina. Petani Afrika perlu nitrogen lebih banyak untuk meningkatkan panen dan taraf hidup. Tetapi, ada perdebatan soal dari mana sebaiknya mereka mendapatkannya.
Sebagian, seperti Jeffrey Sachs dari Earth Institute di Columbia University, meyakini bahwa peningkatan produksi pertanian memerlukan pupuk komersial lebih banyak. Jika petani Afrika yang miskin tak mampu membelinya, negara-negara kaya seyogianya menyediakannya.
Di 80 desa di sepuluh negara Afrika, Millennium Villages Project yang didirikan Sachs membagikan berkarung-karung pupuk dan bibit unggul. Di desa-desa milenium di Tanzania, Kenya, dan Malawi, produksi biji-bijian berlipat dua hampir secara serta-merta.
Pada 2006, pemerintah Malawi mulai menyediakan pupuk murah bagi sekitar separuh petani negara itu. Produksi jagung berlipat dua—meskipun hujan lebat lebih dipandang sebagai penyebabnya. Namun, program-program ini dihantui keraguan tentang masa depan.
Subsidi pupuk sudah pernah dicoba di banyak negara Afrika pada 1970-an dan 1980-an, tetapi mahal dan dirundung korupsi. Program subsidi Malawi saat ini saja sudah bermasalah: Pemerintah mulai kehabisan uang untuk membiayainya.
“Afrika tidak mampu membeli pupuk dalam jumlah besar,” kata Sieglinde Snapp, ilmuwan tanaman di Michigan State University. Menurutnya, pendekatan yang lebih berkelanjutan adalah dengan cara mengandalkan tumbuhan pengikat nitrogen. Ribuan keluarga petani di Malawi sudah mulai menanam kacang gude dan kacang tanah di lahan mereka, mengganti sebagian jagung. Ini bagian dari eksperimen sepuluh tahun yang diawali oleh rumah sakit, petani, dan peneliti pertanian setempat.
Karena kacang menyuburkan tanah, panen jagung musim berikutnya lebih besar. Plus, bonus panen kacang gude itu menghasilkan makanan yang kaya-protein dan lebih bergizi. “Tetapi ini tidak akan terjadi dalam sekejap,” kata Snapp. “Diperlukan penyuluhan tentang cara menggunakan kacang-kacangan. Ini upaya selama 20 tahun.”
!break!
Pengamatan Snapp—bahwa memperoleh dan melestarikan nitrogen di masa depan memerlukan pengetahuan dan kesabaran tinggi—disepakati oleh banyak orang yang terlibat dalam misi dunia ini. Saat ditanya soal apa yang paling diperlukan oleh pertanian Cina, ilmuwan tanah Zhu Zhaoliang langsung menjawab, “Skala lebih besar”—maksudnya pertanian yang lebih besar dan dikelola lebih terampil.
Ron Rosmann, di Iowa, menjelaskan bahwa pertanian tanpa nitrogen tambahan “memerlukan lebih banyak pengelolaan, tenaga, dan perhatian pada detail.”
Seabad yang lalu, pupuk sintetis tampaknya merupakan jalan pintas yang mudah untuk menanggulangi kekurangan pangan, menyediakan pasokan zat hara pertanian terpenting dalam jumlah tak terbatas. Namun, batas baru nitrogen mulai bermunculan. Kali ini inovasi yang menyelamatkan kita—dan planet kita—mungkin bukan diciptakan di laboratorium.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR