Tongkang Kanal Besar tak menyandang nama mentereng, atau cat bertuliskan ungkapan norak di buritannya. Hanya ada huruf dan angka di lambung, seperti cap di badan sapi.
Perlakuan acuh tak acuh itu bisa jadi menunjukkan penyepelean, namun tongkang yang lalu-lalang di Kanal Besar telah mempersatukan Cina sejak abad ke-14. Tongkang mengangkut padi, prajurit, dan gagasan antara pusat perekonomian di selatan dan ibu kota politik di utara.
Di pinggir Kota Jining di utara, Zhu Silei—Zhu Tua, begitulah orang menjulukinya—menyalakan mesin diesel ganda Lu-Jining-Huo 3307, tongkang barunya yang masih mulus. Saat itu pukul 04.30, dan Zhu Tua berharap bisa bertolak lebih cepat dari para kru lain. Tetapi ketika menatap pantai, saya melihat pepohonan mematung.
Saya terkejut melihat tongkang lain mendahului kami. Ketika itulah radio berdesis. “Zhu Tua, kenapa kau?” kata kapten sebuah tongkang, tergelak. “Kau gagal melewati kanal!” Kapal kami tersangkut di endapan pasir.
Zhu Tua memicingkan mata dengan kesal. Selama enam bulan dia sibuk di darat, mengawasi perakitan tongkangnya, dan kini dalam ketergesaan telah meremehkan Kanal Besar, dengan arusnya yang menantang dan dasar jalur airnya yang naik. Walaupun enggan, dia mengangkat mikrofon dan meminta saran.
Setelah mendengar bahwa gosong yang mengandaskan kami kecil, dia menatap tajam ke air dan memutuskan untuk mengambil tindakan cepat. Dia memasang gigi mundur dengan kekuatan penuh. Kedua diesel mendorong tongkang sepanjang 50 meter beserta muatan ribuan ton batu bara-nya dengan guncangan dahsyat.
Dia memutar roda kemudi, memasang gigi maju, lalu kembali menyalakan mesin. Air berpusar saat kami melesat maju. Target kami: Nantong, 690 kilometer di selatan.
!break!
Di atas kertas, panjang Kanal Besar adalah 1.800 kilometer, mengalir di antara Beijing dan kota metropolis Hangzhou di bagian selatan. Tetapi, selama hampir empat dasawarsa, setengah lintasan atasnya—dari Beijing hingga Jining—terlalu dangkal untuk dilalui kapal. Arteri komersial utama di jalur air itu kini terbentang sejauh 523 kilometer dari Jining sampai Yangtze.
Sistem kanal asli yang dibangun oleh Kaisar Yang dari dinasti Sui itu dipandang ahli sejarah Cina sebagai aksi kegilaan yang brilian. Sungai-sungai utama Cina kuno mengalir dari barat ke timur, dan Yang ingin membebaskan diri dari cengkeraman geografis.
Ia membutuhkan cara untuk mengangkut padi dari daerah subur di sekitar barat laut Yangtze guna mencukupi kebutuhan kerajaan dan yang terpenting, kebutuhan pasukannya, yang tak henti melawan suku nomaden.
Maka, pengawal kaisar memaksa jutaan orang, kebanyakan petani, untuk membangun bagian pertama kanal.
Di bawah pengawasan ribuan prajurit, pria dan wanita bekerja paksa sepanjang hari. Yang “menyebabkan penderitaan tidak terperikan,” tulis seorang pujangga abad kesembilan. Namun proyek ini “menghadirkan manfaat sepanjang zaman bagi masyarakat.”
Secara resmi, pembangunan kanal berakhir dalam 171 hari pada 605. Namun, kenyataannya, proyek tersebut memakan waktu enam tahun dan banyak korban jiwa—penduduk desa yang kelaparan karena kurangnya tenaga untuk memanen hasil bumi.
Fungsi kanal adalah simbol politik yang kuat dan target strategis penjajah. Di awal 1840-an, dalam upaya merebut kekuasaan di Cina selama Perang Opium pertama, Inggris menduduki Zhenjiang, di persimpangan antara kanal dan Yangtze. Inggris menekan pengiriman padi dan pajak ke Beijing. Dalam hitungan pekan, Cina sudah menyerah.
Kanal Besar juga menjadi jalur kebudayaan. Kaisar yang berkunjung memeriksa pintu air dan tanggul mengamati dan menyerap kebudayaan setempat. Kabarnya, dengan cara itulah Beijing memperoleh dua ciri khasnya: bebek peking dari Provinsi Shandong, dan opera peking dari Anhui dan Hubei.
!break!
Rombongan teater berdoa di dermaganya, sementara para pujangga tergerak oleh keberadaannya. Pada abad kedelapan, Zhang Ji menggambarkan sebuah kuil di kanal yang “dentang loncengnya menggapai kapalku tengah malam.”
Orang kanal, biasa disebut chuanmin, mencipta-ulang kehidupan desa di atas tongkang seharga sekitar satu miliar rupiah. Layaknya petani saat musim panen, sejumlah kecil kru—biasanya hanya satu keluarga—mulai bekerja sejak pagi buta hingga malam, saat mereka mengikat kapal-kapal mereka berdampingan.
Istri Zhu Tua, Huang Xiling, kini bertugas di buritan, melahirkan kedua putranya di tongkang. “Menurut pria, kapal-kapal ini hanyalah alat untuk mencari uang, tetapi kami menjalani hidup di sini,” katanya. “Ada sangat banyak kenangan di sini.”
Putra pertama mereka, Zhu Qiang, baru-baru ini mengambil alih tongkang lama mereka. Putra lainnya, Zhu Gengpeng atau Zhu Kecil, 19 tahun, bekerja di kapal baru, dididik untuk menjadi kapten oleh ayahnya. Zhu Kecil memandu saya menerjemahkan aksen Shandong ayahnya yang sulit dimengerti dan memastikan saya tak terjungkal ke air.
Ia menghias ruangan saya dengan tulisan “Bilik Pribadi”, digantungkan di atas pintu kedap air. Zhu Kecil tidak mirip chuanmin. Dengan kumis berantakan, rambut selalu acak-acakan, dan jaket ungu berpinggiran bulu, ia mirip pemuda yang selalu mengikuti tren kota-kota provinsi Cina.
Zhu Kecil-lah yang keluar untuk berurusan dengan petugas. (Walaupun baru berumur 46, Zhu Tua buta huruf.) Saat bebas tugas, Zhu Kecil sepertinya menghabiskan waktunya untuk saling berkirim pesan singkat dengan kekasihnya.
“Ini akan berat baginya karena dia bukan chuanmin,” kata Huang. “Tapi dia gadis baik. Dia pekerja keras.”
Chuanmin jarang memanjakan diri. Mereka membanting tulang dengan pemikiran menjadi keluarga kaya atau jatuh miskin. Saya menyadarinya pada akhir hari pertama saya. Ketika itu, saya tengah bercakap-cakap dengan Zheng Chengfang, rekan sekampung Zhu Tua. Kapal kami diikat berdampingan, dan saya melompat untuk mengunjunginya.
!break!
Pemandangan ini indah sekali, bukan—kata saya kepada Zheng sambil mengamati kapal Zhu Tua—cat baru yang berkilauan di bawah matahari senja? “Tidak, tidak, tidak, kau tak mengerti,” semburnya. “Masalahnya bukan bagus atau jelek. Kami para chuanmin memerlukan kapal, atau kami tak akan hidup.”
Zheng menemani saya kembali ke tongkang kami untuk merokok bersama Zhu Tua, “Jika kau hendak menulis tentang kami, ada hal lain yang perlu kau ketahui,” kata Zheng. “Kami para chuanmin berada di bawah para penguasa. Pemilik batu bara menetapkan harga, pemberi utang menetapkan bunga, dan petugas pemerintah menetapkan pungutan. Hal yang bisa kami lakukan hanyalah mengangguk dan terus bekerja.”
Seperti petani yang bekerja di sawah, mereka kesulitan mengendalikan nasib. Di pedesaan, cuacalah yang menentukan. Namun, chuanmin harus berhadapan dengan birokrat yang aneh dan situasi ekonomi yang sulit diprediksi. Bahkan ketika Zheng mencerocos, Zhu Tua justru terpaku pada berita di TV tentang Timur Tengah dan harga minyak.
“Bagaimana menurutmu?” tanyanya kepada saya, memotong omongan Zheng. “Akankah harga minyak melampaui seratus dolar per barel? Lalu bagaimana dengan baja?”
Zhu Tua terlilit utang besar. Tongkangnya berkapasitas 1.200 ton, tetapi penurunan laju ekonomi global menyebabkan makelar batu bara di Jining hanya bisa menawarkan 1.100 ton. Dan, alih-alih memperoleh 70 yuan (Rp110 ribu ) per ton seperti dahulu, kini Zhu Tua hanya mendapatkan 45.
Itu berarti pendapatan kotor perjalanan ini adalah 49.500 yuan (Rp75 juta). Dia menghabiskan sekitar 24.500 yuan untuk membeli bahan bakar dan lebih dari 10.000 yuan untuk membayar pungutan di kanal. Masih ada denda untuk berbagai macam hal, dari pembuangan limbah hingga kesalahan pemakaian lampu.
Jika perjalanan mulus, dia akan mendapatkan 5.000 yuan. Tetapi, itu sebelum dipotong bunga pembayaran tongkangnya. Untuk membiayai perakitan tongkang, Zhu Tua meminjam dana 840.000 yuan dengan bunga 15 persen dari rentenir. Untuk perjalanan ini, dia harus membayar bunga 10.500 yuan. Perjalanan perdana Lu-Jining-Huo 3307 barangkali akan menguras koceknya sekitar 5.000 yuan.
!break!
Tetapi Zhu Tua berani bertaruh bahwa resesi dunia mencapai titik terburuk pada 2009, saat dia mulai merakit tongkangnya, dan harga baja akan naik, menjadikan kapalnya tampak murah. “Aku akan rugi selama lima tahun, tetapi keadaan akan membaik.”
Di tengah perjalanan dua pekan itu, sebelum memasuki Yangzhou, kami melewati pepohonan dedalu dan padang berbercak bunga ungu, merah, dan kuning. “Bersama bebungaan sepekat kabut, kau memasuki Yangzhou,” tulis Li Po, seorang pujangga abad kedelapan.
Zhu Tua menggugah saya dari lamunan. “Itu Kanal Besar lama, atau sisanya,” ujarnya, menunjuk sebuah aliran air dengan lebar sekitar lima meter yang melengkung di antara sebuah pulau kecil dan bantaran kanal. Dahulu, Kanal Besar mengalir melalui serangkaian tikungan. Saat kanal diperlebar dan diluruskan, tikungan itu menjadi saluran air di tepi kanal atau danau.
“Ini sulit, kalau kau ingin tahu,” kata Zhu Tua, suara paraunya terdengar bersemangat. “Kapal melaju dari segala arah, dan kau harus memusatkan perhatian sepanjang waktu.” Generasinya adalah chuanmin terakhir yang mengenal kanal lama, dengan pusaran kecil dan besarnya yang bisa memutar tongkang—atau mengandaskannya di endapan pasir.
Malam itu kami berlabuh di pinggiran Yangzhou, Shanghai pada masanya selama dua era keemasan—dinasti Tang dan awal dinasti Qing. Saat ini, di tengah kejayaan wilayah selatan, pemerintah setempat yang memiliki dana melimpah berusaha menggalakkan pariwisata dan pembangunan perumahan dengan mempercantik dan meraup keuntungan dari kanal.
Yangzhou mengubah wilayah pinggir kanalnya menjadi taman dengan rumput tertata rapi dan pagoda beton. Namun, untuk melakukan pembenahan itu, hampir seluruh bangunan di tepi kanal harus diratakan. Selama berabad-abad Kanal Besar menjadi jantung kota; kini hanya menjadi latar belakang.
Lebih jauh di selatan, di perkotaan semacam Zhenjiang, Wuxi, dan Hangzhou, situasinya bahkan lebih buruk. Kanal masih melintasi sentra industri Hangzhou. Tetapi, kecuali di Jembatan Gongchen yang berlengkung anggun, semua bangunan yang terhubung dengan kanal telah dihancurkan.
!break!
“Sesuai tradisi, ada 18 kota utama yang dilewati Kanal Besar, dan masing-masing memiliki keistimewaan,” ujar Zhou Xinhua, ketika itu menjabat sebagai wakil direktur sebuah museum Kanal Besar di Hangzhou. “Tetapi kini semuanya tampak sama: seribu orang berwajah satu.”
Pada 2005, sekelompok kecil tokoh masyarakat mengusulkan agar Kanal Besar dijadikan situs Warisan Dunia UNESCO. “Setiap generasi menginginkan generasi berikutnya paham, memandangnya sebagai monumen,” kata Zhu Bingren, pematung yang turut serta dalam penulisan proposal. “Tetapi jika kita menghapus begitu saja karya generasi sebelumnya, apakah anggapan generasi berikutnya kepada kita?”
Pada fajar hari kedelapan, kami berbelok ke timur dan mengikuti arus Yangtze. Kini kami bagaikan kurcaci di antara kapal-kapal besar yang hendak menuju laut lepas, yang cipratan airnya menggenangi geladak kami. “Yangtze bisa disamakan dengan jalan tol, dan kita mobil kecil, jadi kita harus berhati-hati dan keluar secepatnya,” kata Zhu Tua.
Tiga hari kemudian, kami mencapai tujuan kami: Pabrik Pupuk Nantong. Akibat hujan deras, dibutuhkan empat hari untuk membongkar muatan. Zhu Tua kemudian bergegas kembali menyusuri Yangtze menuju kanal.
Setelah semalam berlabuh di sebuah teluk kecil di dekat Yangzhou, semua orang bangun pada pagi buta untuk menjalankan tongkang. Zhu Kecil mengurai tali yang tebal. Zhu Tua menyalakan derek elektrik untuk mengangkat sauh. Huang beranjak dari buritan untuk menyaksikan.
Perlahan-lahan kami melawan arus, menjauh dari deretan dedalu di pesisir, mendorong buritan ke kanal. Zhu Tua beranjak dari derek ke kabin nakhoda, dengan santai menyalakan rokok selagi kami maju ke arah sebaliknya. Dia menyalakan mesin, dan diesel ganda berderu.
Tanpa menengok ke belakang, dengan gagah berani dia menjalankan kapalnya ke saluran air utama, seolah-olah mengatakan, Ini kanalku sebagaimana ini kanalmu. Tongkangnya melaju ke hulu sementara yang lainnya ke hilir. Kemudian, memecah keheningan dengan dramatis, Zhu Tua menekan gas sedalam-dalamnya.
Mesin menyalak, baling-baling berputar, dan Lu-Jining-Huo 3307, hijau mengilap di bawah kelembutan sinar matahari musim semi, bergabung dengan keramaian lalu lintas Kanal Besar.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR