Orang yang memimpin ekspedisi masyhur sepanjang jalur Grand Canyon sama sekali tidak mirip sosok petualang dari masa 1870-an. Tinggi John Wesley Powell hanya 168 sentimeter, dengan rambut kaku seperti bulu sikat, dan jenggot awut-awutan—dengan noda tembakau—yang panjangnya sampai ke dada.
Lengan kanannya buntung, kena peluru minié saat Pertempuran Shiloh. Tetapi, setelah perang, ia pergi menyurvei Pegunungan Rocky, hidup di antara suku-suku Indian yang berseteru, mengarungi Sungai Green dan Colorado, dan menjelajahi labirin yang belum terpetakan dari salah satu sistem ngarai terbesar di dunia. Orang asing mungkin bertanya-tanya apa yang membuat profesor universitas berlengan satu ini memulai sejumlah eksplorasi paling berisiko pada masanya.
Sebenarnya, hal yang sama bisa saja ditanyakan kepada 32 orang yang bergabung dengan Powell pada 13 Januari 1888, di Cosmos Club Washington D. C. Seperti dirinya, sebagian besar dari mereka telah melakukan perjalanan berbahaya versi mereka sendiri ke pedalaman tak dikenal. Di antara mereka terdapat veteran Perang Sipil dan operasi militer Indian, perwira angkatan laut, pendaki gunung, ahli meteorologi, insinyur, naturalis, kartografer, ahli etnologi, dan wartawan yang pernah menyeberangi Siberia. Mereka adalah orang-orang yang pernah terdampar di Arktika, berhasil selamat melalui cuaca buruk di laut, lolos dari serangan binatang dan avalans, mengalami kelaparan ekstrem, dan bertahan melawan kesepian yang menghancurkan jiwa, dalam perjalanan-perjalanan mengarungi lanskap terpencil.
Mereka berkumpul malam itu untuk mendirikan National Geographic Society dan sepakat bahwa misi organisasi baru mereka—peningkatan dan penyebaran pengetahuan geografis—akan membutuhkan eksplorasi yang sulit ke wilayah tak dikenal.
!break!
Segala macam eksplorasi berakar pada gagasan bersedia mengambil risiko. Risiko mendasari perjalanan apa pun ke tempat yang tak diketahui. Baik itu perjalanan seorang kapten ke laut yang belum dipetakan, penelitian ilmuwan tentang penyakit berbahaya, atau investasi pengusaha dalam bisnis baru. Tetapi, apa sebenarnya yang mendorong Christopher Columbus memulai pelayaran melintasi Atlantik, atau Edward Jenner menguji teorinya untuk vaksin cacar dini pada anak, atau Henry Ford bertaruh bahwa mobil bisa menggantikan kuda? Sejumlah motivasi untuk mengambil risiko sangatlah jelas: imbalan finansial, kemasyhuran, kepentingan politik, menyelamatkan nyawa. Banyak orang rela membuka diri terhadap berbagai tingkat risiko dalam mengejar tujuan itu.
Namun bersamaan dengan meningkatnya bahaya, jumlah orang yang bersedia untuk melanjutkan pun menyusut, sampai satu-satunya yang bertahan adalah penempuh risiko ekstrem, mereka yang bersedia membahayakan reputasi, keberuntungan, dan kehidupan mereka. Ini adalah misteri risiko: Apa yang membuat beberapa manusia bersedia membahayakan diri begitu banyak dan terus melakukannya, bahkan ketika menghadapi konsekuensi yang mengerikan?
Seratus dua puluh lima tahun setelah malam di Cosmos Club, para ilmuwan mulai membuka kotak hitam neurologis. Isinya: mekanisme untuk mengambil risiko dan menggabungkan faktor biologis yang dapat mendorong seseorang menjadi penjelajah. Penelitian berpusat pada neurotransmiter, bahan kimia yang mengontrol komunikasi di otak. Salah satu neurotransmiter yang penting untuk rumus pengambilan risiko adalah dopamin. Zat ini membantu mengendalikan keterampilan motorik, juga mendorong kita mencari dan mempelajari hal baru serta memproses emosi seperti kecemasan dan ketakutan. Orang yang otaknya tak menghasilkan cukup dopamin seperti penderita Parkinson, sering mengalami kesulitan dengan sikap yang apatis dan kurangnya motivasi.
Produksi dopamin yang kuat adalah salah satu kunci untuk memahami pengambilan risiko, ungkap Larry Zweifel, ahli neurobiologi dari University of Washington. “Saat Anda berbicara tentang seseorang yang mengambil risiko untuk mencapai sesuatu—mendaki gunung, memulai sebuah perusahaan, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, menjadi Navy SEAL—itu didorong oleh motivasi, dan motivasi didorong oleh sistem dopamin. Inilah yang memaksa manusia untuk bergerak maju.”
!break!
Dopamin membantu mendatangkan rasa puas saat kita menyelesaikan berbagai tugas: semakin berisiko tugas itu, semakin besar dosis dopaminnya. Sebagian alasan mengapa tak semua orang mendaki gunung atau mencalonkan diri untuk jabatan tertentu, adalah bahwa tak semua orang punya kadar dopamin yang sama. Molekul pada permukaan sel-sel saraf yang disebut autoreseptor, yang mengontrol berapa banyak dopamin yang kita hasilkan dan gunakan, pada dasarnya mengendalikan keinginan untuk mengambil risiko.
Dalam penelitian di Universitas Vanderbilt, peserta menjalani pemindaian yang memungkinkan ilmuwan mengamati autoreseptor di bagian sirkuit otak yang berhubungan dengan penghargaan, kecanduan, dan gerakan. Orang dengan sedikit autoreseptor—dopamin yang mengalir lebih bebas—lebih mungkin terlibat dalam perilaku pencarian hal baru, misalnya eksplorasi. “Bayangkan dopamin seperti bensin,” kata neuropsikolog David Zald, peneliti utama studi tersebut. “Gabungkan hal itu bersama otak yang dilengkapi dengan kemampuan lebih rendah untuk mengerem dari biasanya, dan Anda akan mendapatkan orang-orang yang melewati batas.”
Di sinilah pembahasan tentang pengambil risiko sering disalahartikan dengan pencari sensasi dan pecandu adrenalin. Hormon adrenalin juga merupakan sebuah neurotransmiter; tetapi tidak seperti dopamin yang dapat mendorong kita ke arah bahaya dalam perjalanan mencapai tujuan tertentu, adrenalin dirancang untuk membantu kita melarikan diri dari bahaya. Cara kerjanya seperti ini: Ketika otak merasakan ancaman, hal itu memicu pelepasan adrenalin ke dalam aliran darah, yang pada gilirannya merangsang jantung, paru-paru, otot, serta bagian tubuh lainnya untuk membantu melarikan diri, atau melawan dalam situasi yang mengancam jiwa.
Namun, bukan adrenalin yang memotivasi penjelajah untuk mengambil risiko. “Penjelajah Arktika yang terseok-seok melintasi es selama sebulan tak termotivasi oleh adrenalin yang mengalir melalui pembuluh darah,” kata Zald. “Dopaminlah yang mengalir deras di otaknya.”
!break!
Hal yang penting dalam proses ini adalah bagaimana otak mengukur risiko. Fotografer Paul Nicklen menjelaskan bagaimana definisi risiko yang dapat diterima telah berkembang dari waktu ke waktu. “Saat kecil saya tinggal di Arktika. Saya mendayung bongkahan es seperti rakit, yang mungkin berisiko. Kemudian saya belajar menyelam, dan terus ingin pergi lebih dalam, tinggal di air lebih lama, lebih dekat dengan satwa.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR