Seperti pagi ini: Membuka mata dan melihat langit yang membentang tanpa batas, hari demi hari; ketika kita pertama kali membuka mata, seakan-akan menyedot kita ke atas, keluar dari raga. Seperti jelasnya rasa lapar.
Kami berjalan kaki sejauh 29 kilometer kemarin dengan perbekalan minim, hanya semangkuk mi dan segenggam biskuit untuk masing-masing orang. Cincin kawin saya, yang semula menempel ketat di jari, kini terasa longgar. Seperti belajar membaca lanskap alam dengan seluruh badan dan kulit. Kami merasakan keberadaan makanan unta di tengah semak berduri, kedatangan debu di aroma angin, dan tentu saja, air yang berharga. Seperti menyaksikan keabadian Afrika berlalu seiring langkah kaki. Samar-samar kami menyadari bahwa, walaupun hanya berkecepatan lima kilometer per jam, laju ini masih terlalu cepat.
Pada hari-hari baik, kami berempat menyadari keberuntungan luar biasa. Kami meluncur menuruni jalan-jalan pegunungan yang curam, nyaris berlari, dengan kilap gurun Etiopia di kaki. Kami berlomba membuat gema ternyaring di ngarai-ngarai berdinding batu hitam. Kemudian kami saling memandang, tiga pria Afar dan satu pria dari belahan Bumi lain, kemudian menyeringai seperti bocah.
Seperti apakah rasanya berjalan kaki mengelilingi dunia? Seperti ini. Seperti permainan serius. Saya akan merindukan mereka.
!break!
Ladang lava Ardoukoba, Jibouti
Kematian menyapa pada hari ke-42 perjalanan ini. Ada lima, enam, tujuh orang—pria dan wanita yang tergeletak dengan wajah menengadah, menelungkup, di ladang lava hitam seolah-olah jatuh dari langit. Semuanya telanjang. Mereka melucuti pakaian di tengah kekalutan. Kulit mayat-mayat itu kering kerontang, terbakar dan menguning. Anjing-anjing liar yang datang pada malam hari telah menggondol tangan, kaki mereka. Mereka mungkin orang Etiopia. Atau Somalia. Beberapa di antaranya, mungkin, orang Eritrea.
Mereka tengah berjalan ke timur. Mereka hendak pergi ke Teluk Aden—mencari kapal-kapal terbuka milik orang-orang Yaman yang menyelundupkan penduduk miskin dari Afrika untuk menjadi pekerja kasar di Timur Tengah. Berapakah jumlah migran seperti mereka yang tewas di Segitiga Afar? Tidak ada yang tahu. Setidaknya terdapat 100.000 upaya penyeberangan ke Semenanjung Arabia setiap tahun, menurut PBB. Polisi memburu mereka. Mereka tersesat. Dahaga membunuh mereka.
“Kriminal!” Houssain Mohamed Houssain menyanggah saya. “Memalukan!”
Houssain adalah pemandu saya di Jibouti. Dia orang baik. Dia berjalan jauh di depan saya, mengibas-ngibaskan tongkatnya di langit. Saya berjalan santai di belakangnya.
Pakar demografi telah memperkirakan bahwa 93 persen dari seluruh manusia yang pernah hidup di dunia—lebih dari 100 miliar jiwa—sudah punah.
Sebagian besar umat manusia telah tiada. Gundukan sakit hati dan kejayaan berbaris di belakang kita. Walaupun saya sudah mengatakan bahwa saya berjalan kaki untuk mengingat, ini tidak sepenuhnya benar. Seraya terus mencoba menemukan kembali Bumi ini, kita juga harus memulai perjalanan untuk melupakan. Houssain tampaknya menyadari hal ini. Dia tidak pernah menengok ke belakang.
Sehari kemudian, kami tiba di Teluk Aden.
Pantai berkerikil kelabu. Ombak perak yang menghantam-hantam. Kami bersalaman. Kami tertawa. Houssain membuka sekantong kurma yang selama ini disimpannya. Kami berdiri di tepi Afrika. Saya menuliskan kalimat di jurnal: Saya bahagia.
Para penjelajah yang berani, tolol, dan putus asa. Kalian nyaris berhasil. Kalian jatuh lima kilometer dari pantai.
—
Paul Salopek, jurnalis pemenang Pulitzer Awards. Buku pertamanya yang ditulis berdasarkan perjalanan ini, A Walk Through Time, akan diterbitkan Random House pada 2016. John Stanmeyer, pernah menerima penghargaan Robert Capa dan Magazine Photographer of the Year.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR