Sejak bertahun-tahun lalu, penduduk Milpa Alta, Meksiko, mempersiapkan sajian sebelum Natal dengan jumlah yang seolah-olah membutuhkan mukjizat. Enam puluh ribu tamale dan 19.000 liter cokelat panas dibuat dari nol dalam waktu kurang dari seminggu, cukup untuk ribuan orang yang menghadiri perayaan.
Memberi makan orang sebanyak itu bukan urusan mudah. “Ada sekian banyak hal yang harus dilakukan,” ujar Virginia Meza Torres dengan tegas, menyiratkan bahwa dia tidak punya waktu untuk bicara. Dia tampak rapi dan tenang dalam balutan blus piqué putihnya. Suaminya, Fermín Lara Jiménez, yang berdiri mendampinginya di teras belakang rumah mereka, terlihat rapi dalam balutan kaus polo putih dan rompi abu-abu. Virginia dan Fermín menjadi majordomo—penanggung jawab—yang dipilih langsung untuk mengorganisasikan rangkaian kegiatan ziarah tahunan ke Kuil Chalma, 95 kilometer dari sana. Mereka telah menanti selama 14 tahun sebelum menerima tugas suci ini.
Perayaan itu bernama La Rejunta, yang bermakna ‘perkumpulan’, dan menjadi awal proses ziarah, ketika sekitar 20.000 orang yang terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak berjalan kaki dari Milpa Alta melintasi pegunungan menuju sebuah gua tua suci, tempat patung Yesus seukuran manusia yang telah menghitam, El Señor de Chalma, berdiri. Sebelum masa penjajahan Spanyol, dewa-dewa yang dipercaya berkekuatan magis disembah di sini. Kemudian para misionaris hadir, patung Yesus muncul, mukjizat diumumkan, dan Chalma pun menjadi situs peribadatan penganut Katolik Roma dari seluruh Meksiko. Para peziarah dari Milpa Alta mulai berjalan kaki ke Chalma pada 3 Januari, dan perjamuan mewah Rejunta dipersembahkan kepada siapa pun yang telah menyumbangkan uang, barang, atau waktu untuk acara ini.
Virginia tengah mendatangi kantor-kantor pemerintahan setempat untuk mendapatkan izin bagi ikon-ikon prosesi yang akan tiba di rumah mereka pada hari Minggu. Fermín mengemudikan mobil bak terbuka hitamnya ke pedesaan untuk mencari jagung indian kering yang akan ditumbuk untuk dijadikan atole, minuman musiman berbahan utama jagung, kayu manis, dan vanili yang bagi orang Meksiko mengandung nostalgia dalam setiap cangkirnya. Setiap langkah dalam La Rejunta adalah ritual. Setahun sebelum acara, para pria masuk hutan dan mengumpulkan kayu bakar yang ditumpuk tinggi di dekat rumah majordomo agar kering dan siap digunakan untuk memasak di tempat terbuka.
Para petani setempat menyuplai sebagian besar jagung, daging, dan sayuran yang diperlukan. Bumbu instan atau jalan pintas kuliner lainnya tidak boleh digunakan. Makanan sangat penting dalam kehidupan di Milpa Alta, sehingga bisa disejajarkan dengan mata uang untuk menukar tugas-tugas yang telah diselesaikan, kasih sayang yang telah dibagikan, keimanan yang telah diperbaharui. Di kota ini, selama hari-hari yang dipersembahkan untuk La Rejunta, orang miskin merasa kaya, dan segenap sakit hati atau luka yang diberikan oleh kehidupan terlupakan di tengah limpahan kelezatan.
!break!
Milpa Alta bermakna ‘ladang jagung tinggi’, dan identitasnya telah dikaitkan dengan pertanian sejak masa pra-Hispanik. Jagung merupakan komoditas utama di sini hingga 1930-an. Tahun itu, para petani beralih menanam nopal, kaktus pir berduri yang menjadi bahan utama masakan Meksiko, yang lebih tahan cuaca kering. Bisnis lainnya yang marak adalah produksi barbacoa, daging domba panggang yang dimasak perlahan dengan cara kuno, yakni menempatkan biri-biri atau domba utuh di dalam tungku tanah liat berlapis daun maguey berduri (kaktus agave). Karena kota ini berjarak sekitar 27 kilometer dari pusat Mexico City, para produsen menjual masakan mereka kepada para penduduk pinggir kota yang rela membayar mahal.
Milpa Alta merupakan wilayah termiskin di Mexico City. Hampir setengah penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Tetapi, siapa pun yang lahir dan dibesarkan di sana, seperti Juan Carlos Loza Jurado, mempertanyakan pentingnya statistik ini. Apa arti kemiskinan, tanyanya, jika setiap anggota keluarga besar, baik yang memiliki pekerjaan atau pengangguran, tidak kekurangan makanan dan bentuk dukungan lainnya setiap hari? Apa arti kemiskinan jika kota mereka mampu menggelar banyak perayaan dalam setahun?
Loza, akademisi dengan spesialisasi di bidang kajian pedesaan, memandang masyarakatnya dari perspektif pribadi dan akademisi, dan berpendapat bahwa kohesi sosialnya luar biasa kuat. “Warga Milpa Alta memiliki cara pandang sendiri. Lingkungan, jenis relasi sosial mereka, hal-hal tersebut menjadikan kehidupan mereka lebih baik. Orang-orang kerap mengatakan, “Kami lebih baik di sini.”
Pernyataan itu diperkuat oleh angka migrasi ke Amerika Serikat yang rendah. Nilai-nilai tradisional memperkaya kehidupan sehari-hari, dan puncaknya adalah makan bersama.
“Dalam pengalaman saya terdapat perekat, ikatan, yang muncul berkat waktu yang dihabiskan bersama-sama di meja makan,” kata Josefina García Jiménez, dari keluarga peternak domba. Wanita yang kerap memasak untuk keponakan-keponakannya ini mengungkapkan, “Rasanya seperti mewariskan tradisi, dan setelah mereka dewasa nanti, mereka akan mengingat apa yang dahulu saya lakukan. Di sini kami punya waktu untuk memasak, memikirkan bahan-bahan yang diperlukan, dan menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak kami melalui masakan.”
Seperti kebanyakan orang Meksiko lainnya, Josefina menyukai sobremosa—rentang waktu setelah makan ketika seluruh keluarga, tanpa dalih, tetap duduk dan mengobrol. Ini adalah waktu untuk mengakui aib, bercanda ria, dan bergunjing. Saat masih kanak-kanak, Loza melahap kisah-kisah tentang penyihir atau nahual di meja makan; paman-pamannya menggambarkan kemampuan para nahual untuk berubah wujud menjadi keledai, kalkun, anjing. Dalam sobremosa meluncurlah kesaksian tentang mukjizat dan ramalan dari peziarahan pada masa lampau, ketika orang-orang masih membawa suplai ke Chalma menggunakan kuda. Meja makan adalah tempat sejarah Milpa Alta diwariskan.
!break!
María Eleazar Labastida Rosas berambut merah menyala yang dikepang dan diikat dengan pita lembayung tua. Dia tengah mengaduk sepanci besar adonan tamale di bawah tatapan tajam koki kepala, Catalina Peña Gómez. Doña Cata, julukan semua orang untuknya, menyelaraskan panca indranya dengan aroma saus, kekentalan pasta, dan mengoreksi dengan ketegasan seorang jenderal. Dia tidak akan menolerir senda gurau yang melibatkan masakan.
Doña Cata berusia 68 tahun, pincang akibat penyakit varises, tetapi sanggup memasak siang malam selama tahap persiapan akhir. “Saya merasakan cinta saat memasak,” katanya. Pembawaannya tangguh, namun dia tak kuasa menahan air mata saat berbicara. “Saya merasakan cinta Tuhan. Saya memohon pertolongan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa saya kepada-Nya.”
María Eleazar, yang ceria dan lincah, mengabaikan pelototan Doña Cata, yang diyakininya hanya gertak sambal, dan terus mengobrol dengan para wanita lainnya, menertawakan wanita Meksiko yang membagi resep dengan anak dan menantu perempuan mereka namun tetap menjaga rahasia dapur mereka rapat-rapat. Mereka berbagi cerita tentang kekacauan di dapur akibat kesalahan pola pikir. Amarah merusak masakan, mereka sependapat. “Memasak harus dilakukan dengan cinta,” kata María seraya berhenti untuk menyatukan kepangan rambutnya. “Ada perempuan-perempuan yang memasak tanpa cinta, dan hasilnya benar-benar buruk. Saat saya sedang galau, saya memerintah diri saya, Simpan masalahmu. Lalu saya memasak dengan cinta.”
Bagi sebagian wanita ini, makanan juga menjadi jembatan menuju kekuatan suci, bagian dari rencana surgawi. Ketika Domitila Laguna Ortega yang berambut putih menumpahkan sepanci saus mole yang panas membara ke kakinya dan lantai dapur, dia sudah sepantasnya cedera. Tetapi pemadam kebakaran yang datang terpana: Mengapa tidak ada setitik pun bekas merah di tubuhnya?
Bagi Guillermina Suárez Meza, relawan lainnya, terdapat pertambahan misterius jumlah sup udang masakannya saat disajikan untuk para peziarah di Chalma. Dia sudah memasak banyak, tetapi yakin bahwa jumlahnya akan kurang. “Saya memohon kepada Tuhan agar masakan saya dicukupkan. Dan sup saya bertambah. Saya memasrahkan seluruh jiwa dan hati saya, dan sup saya berlipat ganda.” Dengan tersipu, dia menundukkan tatapan mata ambarnya. “Ya, saya yakin bahwa ini mukjizat.”
!break!
Jumat tiba, dan fermín mengikat pinggangnya dengan sabuk kulit tebal untuk menyangga punggungnya yang nyeri. Api menyala, ratusan relawan membanting tulang. Salah satu keajaiban yang terlihat di sini adalah semua orang sepertinya sudah mengetahui perannya. Tidak ada yang saling bertubrukan, walaupun tempat kerja mereka penuh sesak. Salah seorang letnan kuliner Doña Cata dengan serius menyampaikan kepada para wanita yang bertugas membuat tamale bahwa banyak saus cabai yang bocor.
Proses memasak sudah hampir usai, namun Fermín baru saja selesai berhitung. Mereka perlu lebih banyak tamale. Pasukan berkumpul kembali. María yang berpita ungu mencelupkan sudipnya ke campuran kental dari tepung jagung, mengaduknya dengan cepat untuk menambahkan udara. Perlahan-lahan gumpalan-gumpalan lenyap, dan campuran itu berubah menjadi adonan. Doña Cata mencicipinya. Tambah minyak babinya, ujarnya tanpa ragu. Tambah garamnya.
Setiap sendok bumbu yang ditambahkan seolah-olah menjadi bagian dari ritual untuk menghasilkan rahmat, ajang pengabdian kepada Tuhan dan umat manusia. Para wanita membungkus adonan dengan daun jagung dan mengangkut tamale menuruni bukit menggunakan keranjang untuk diberikan kepada para pria yang akan memasaknya di bekas tong minyak. Azimat jerami berbentuk manusia ranting dipasang di setiap tong. Para pria itu menuangkan tequila atau minuman keras lainnya untuk memastikan hasil yang bagus.
Pada Minggu pagi, semua juru masak berwajah kusut, walaupun tidak seorang pun mau mengaku lelah. Mereka bahkan bersesumbar bahwa keimanan telah memberi mereka energi untuk terjaga semalam suntuk. Majordomo Virginia berkeras bahwa dia baik-baik saja, walaupun jelas terlihat bahwa dia letih, kemeja putihnya acak-acakan, wajahnya tegang dan muram saat dia melemparkan kayu bakar ke bawah tong berisi tamale. Ketika waktu penyajian tiba, para pria berbaris bagaikan prajurit dan menghitung tamale, mencocokkannya dengan jumlah uang yang diberikan oleh masing-masing donatur. Hal yang sama juga diberlakukan pada atole, yang oleh Doña Cata telah diaduk semalaman untuk menghindari gumpalan. Tugas yang mengeritingkan lidah.
Selagi para wanita minum dan anak-anak bersorak sorai riang, Doña Cata membiarkan senyum di wajahnya melebar. Namun sejenak kemudian dia kembali berkonsentrasi. Ada ribuan cangkir atole lagi yang harus disajikan. Dan hanya beberapa hari lagi sejumlah piñata harus diisi dengan gula-gula untuk Las Posadas, perayaan sembilan hari sebelum Malam Natal. Terpal-terpal baru akan mewarnai kota, dan penduduk Milpa Alta akan kembali menyerahkan diri pada kekuatan makanan, keluarga, dan iman.
---
Victoria Pope adalah mantan deputi editor majalah ini. Carolyn Drake pernah memotret etnik Uygur di Tiongkok untuk National Geographic.
---
Kami berterima kasih pada The Rockefeller Foundation dan para anggota National Geographic Society atas dukungan besar mereka untuk rangkaian artikel ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR