María Eleazar Labastida Rosas berambut merah menyala yang dikepang dan diikat dengan pita lembayung tua. Dia tengah mengaduk sepanci besar adonan tamale di bawah tatapan tajam koki kepala, Catalina Peña Gómez. Doña Cata, julukan semua orang untuknya, menyelaraskan panca indranya dengan aroma saus, kekentalan pasta, dan mengoreksi dengan ketegasan seorang jenderal. Dia tidak akan menolerir senda gurau yang melibatkan masakan.
Doña Cata berusia 68 tahun, pincang akibat penyakit varises, tetapi sanggup memasak siang malam selama tahap persiapan akhir. “Saya merasakan cinta saat memasak,” katanya. Pembawaannya tangguh, namun dia tak kuasa menahan air mata saat berbicara. “Saya merasakan cinta Tuhan. Saya memohon pertolongan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa saya kepada-Nya.”
María Eleazar, yang ceria dan lincah, mengabaikan pelototan Doña Cata, yang diyakininya hanya gertak sambal, dan terus mengobrol dengan para wanita lainnya, menertawakan wanita Meksiko yang membagi resep dengan anak dan menantu perempuan mereka namun tetap menjaga rahasia dapur mereka rapat-rapat. Mereka berbagi cerita tentang kekacauan di dapur akibat kesalahan pola pikir. Amarah merusak masakan, mereka sependapat. “Memasak harus dilakukan dengan cinta,” kata María seraya berhenti untuk menyatukan kepangan rambutnya. “Ada perempuan-perempuan yang memasak tanpa cinta, dan hasilnya benar-benar buruk. Saat saya sedang galau, saya memerintah diri saya, Simpan masalahmu. Lalu saya memasak dengan cinta.”
Bagi sebagian wanita ini, makanan juga menjadi jembatan menuju kekuatan suci, bagian dari rencana surgawi. Ketika Domitila Laguna Ortega yang berambut putih menumpahkan sepanci saus mole yang panas membara ke kakinya dan lantai dapur, dia sudah sepantasnya cedera. Tetapi pemadam kebakaran yang datang terpana: Mengapa tidak ada setitik pun bekas merah di tubuhnya?
Bagi Guillermina Suárez Meza, relawan lainnya, terdapat pertambahan misterius jumlah sup udang masakannya saat disajikan untuk para peziarah di Chalma. Dia sudah memasak banyak, tetapi yakin bahwa jumlahnya akan kurang. “Saya memohon kepada Tuhan agar masakan saya dicukupkan. Dan sup saya bertambah. Saya memasrahkan seluruh jiwa dan hati saya, dan sup saya berlipat ganda.” Dengan tersipu, dia menundukkan tatapan mata ambarnya. “Ya, saya yakin bahwa ini mukjizat.”
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR