Dunia diramaikan oleh bahaya nyata dan khayalan, dan membedakan antara keduanya tidaklah mudah. Apakah sebaiknya kita takut bahwa virus Ebola, yang hanya ditularkan melalui persentuhan langsung dengan cairan tubuh, akan bermutasi menjadi wabah super yang ditularkan melalui udara? Menurut konsensus ilmiah, kemungkinannya amat sangat kecil: Belum pernah ada virus yang diamati yang mengubah total modus penularannya ke manusia, dan tidak ada bukti bahwa galur Ebola terbaru ini berbeda. Tetapi, coba masukkan “airborne ebola” dalam mesin pencari internet, maka Anda akan masuk ke dystopia—suatu tempat yang suram—tempat virus ini memiliki kesaktian yang hampir supranatural, termasuk kemampuan membunuh seluruh umat manusia.
Dalam dunia yang membingungkan ini, kita harus memutuskan apa yang kita percaya dan cara menyikapinya. Itulah tujuan ilmu pengetahuan. “Ilmu pengetahuan bukan kumpulan fakta,” kata ahli geofisika Marcia McNutt, editor Science, jurnal bergengsi. “Ilmu pengetahuan adalah metode untuk menentukan apakah hal yang kita yakini sesuai dengan hukum alam atau tidak.” Tetapi, metode itu tidak naluriah bagi kebanyakan orang. Maka, kita pun menjumpai masalah, berulang kali.
!break!
Masalah itu sudah muncul lama sekali, tentu saja. Metode ilmiah menuntun kita ke berbagai kebenaran yang tak selalu gamblang, sering mengejutkan, dan kadang sulit diterima. Pada awal abad ke-17, saat Galileo menyatakan bahwa Bumi berputar pada porosnya dan mengitari Matahari, ia meminta orang meyakini sesuatu yang menyalahi akal sehat—karena jelas terlihat Matahari seperti mengelilingi Bumi, dan kita tidak bisa merasakan bumi berputar. Dua abad kemudian Charles Darwin lolos dari nasib itu. Tetapi, gagasannya bahwa semua makhluk hidup di bumi berevolusi dari satu leluhur purba dan bahwa manusia berkerabat jauh dengan monyet, paus, dan bahkan moluska laut dalam, masih sulit diterima bagi banyak orang. Demikian pula sebuah pemikiran lain dari abad ke-19: karbon dioksida, gas tak tampak yang senantiasa kita embuskan dan yang membentuk kurang dari 0,001 persen atmosfer, bisa memengaruhi iklim bumi.
Bahkan meski kita menerima ajaran sains ini secara intelektual, kita masih memegang intuisi secara bawah sadar—yang disebut keyakinan naif oleh para peneliti. Penelitian baru-baru ini oleh Andrew Shtulman dari Occidental College menunjukkan bahwa murid yang memiliki pendidikan sains maju sekalipun sempat tersendat saat diminta menyetujui atau menyangkal bahwa manusia adalah keturunan hewan laut atau bahwa Bumi mengelilingi Matahari. Kedua kebenaran ini bertentangan dengan intuisi. Para murid ini, bahkan yang menjawab “benar” dengan tepat, lebih lambat saat menjawab pertanyaan tersebut daripada pertanyaan apakah manusia keturunan makhluk yang tinggal di pohon (juga benar, tetapi lebih mudah dipahami) atau apakah bulan mengelilingi bumi (juga benar, tetapi intuitif). Penelitian Shtulman menandakan bahwa saat kita menjadi melek-sains, kita meredam keyakinan naif kita tetapi tidak pernah benar-benar menghapusnya.
Kebanyakan orang melakukannya dengan mengandalkan pengalaman dan anekdot pribadi, mengandalkan cerita alih-alih statistik. Barangkali kita ingin dites antigen khusus-prostat, meski secara umum tes ini tak lagi dianjurkan. Ini disebabkan karena tes itu mendeteksi kanker yang dimiliki oleh seorang teman dekat. Atau kita mendengar tentang sekumpulan kasus kanker di suatu kota yang memiliki tempat pembuangan limbah berbahaya, dan kita berasumsi bahwa polusi menyebabkan kanker itu. Namun, hanya karena dua hal terjadi bersamaan tidak berarti yang satu menyebabkan yang lain, dan hanya karena beberapa peristiwa itu terjadi berdekatan tidak berarti bahwa peristiwa itu tidak acak.
Kita kesulitan mencerna hal acak; otak kita menginginkan pola dan makna. Namun, sains memperingatkan kita bahwa kita dapat menipu diri. Untuk memastikan adanya hubungan sebab-akibat antara tempat limbah dan kanker, kita perlu analisis statistik yang menunjukkan bahwa kasus kanker yang terjadi jauh lebih banyak daripada yang biasa muncul secara acak, bukti bahwa para korban terpapar pada zat kimia dari tempat limbah, dan bukti bahwa zat kimia itu memang dapat menyebabkan kanker.
!break!Bagi ilmuwan sekalipun, metode ilmiah merupakan disiplin yang sulit. Seperti orang lain, mereka rentan terhadap bias konfirmasi—yakni kecenderungan untuk mencari dan melihat hanya bukti, yang mengonfirmasi hal yang sudah diyakini. Namun, tidak seperti orang lain, gagasan mereka dikaji dahulu oleh rekan sejawat secara formal sebelum diterbitkan. Setelah hasilnya diterbitkan, jika materinya cukup penting, ilmuwan lain akan mencoba mereproduksinya—dan jika gagasan itu tidak lolos uji, maka mereka akan dengan senang hati mengumumkan hal itu, karena sifat dasar ilmuwan adalah skeptis dan kompetitif.
Hasil ilmiah selalu bersifat sementara, dapat dipatahkan oleh percobaan atau pengamatan di kemudian hari. Ilmuwan jarang menyatakan kebenaran mutlak atau kepastian mutlak. Ketidakpastian sudah merupakan keniscayaan di garis depan pengetahuan.
Kadang ilmuwan gagal mencapai standar ideal metode ilmiah. Terutama dalam penelitian biomedis, ada tren meresahkan ke arah hasil yang tidak dapat direproduksi di luar lab yang menemukannya. Sebuah tren yang memicu desakan agar ilmuwan lebih transparan tentang metode yang digunakan dalam percobaan. Francis Collins, direktur National Institutes of Health, mencemaskan “saus rahasia”—prosedur khusus, perangkat lunak yang disesuaikan, bahan unik—yang tidak diungkapkan peneliti kepada koleganya.
“Sains akan menemukan kebenaran,” kata Collins. “Sains bisa saja keliru pertama kali dan mungkin kedua kali, tetapi pada akhirnya akan menemukan kebenaran.”
!break!Musim gugur lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change, yang terdiri atas ratusan ilmuwan yang bekerja di bawah naungan PBB, menerbitkan laporan kelima dalam 25 tahun terakhir. Laporan ini mengulangi konsensus para ilmuwan dunia secara lebih lantang dan jelas: Suhu permukaan bumi naik sekitar 0,8 derajat Celsius dalam 130 tahun terakhir, dan kegiatan manusia, termasuk pembakaran bahan bakar fosil, sangat mungkin merupakan penyebab dominan pemanasan ini sejak pertengahan abad ke-20. Banyak orang di Amerika Serikat—dengan persentase jauh lebih tinggi dari negara lain—tetap meragukan konsensus itu atau meyakini bahwa aktivis iklim menggunakan ancaman pemanasan global untuk menyerang pasar bebas dan masyarakat industri secara umum.
Beradaptasi dengan Zaman, Tokoh Pemuda Wewo Sadar Kebutuhan Energi Ramah Lingkungan
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR