Metode pengukuran tarikh gambar cadas di Maros menggunakan metode U-series. Metode ini didapat dari selisih umur dari dua bentukan karbonat yang mengapit gambar, yaitu dinding karbonat di belakang gambar, dan bentukan yang kebetulan tumbuh di atas suatu gambar. Umur-apit inilah yang dipublikasikan luas.
Penelitian umur-apit di Indonesia telah dilakukan dua kali. Pertama oleh Tim Kalimanthrope di Sangkulirang, Kalimantan Timur pada 1999. Mereka menyimpulkan terdapat imaji bertarikh minimal 9.800 tahun. Penelitian kedua, dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional, Balai Pelestarian Cagar Budaya Makasar, Griffith University dan tempat saya bekerja—Institut Teknologi Bandung. Kami terjun di belantara Sulawesi Selatan pada 2013 dan Kalimantan Timur pada 2014. Penelitan kedua, baru memublikasikan 12 sampel dari Maros, yaitu 39.900-17.400 tahun lalu. Sementara saya menulis kisah ini, tujuh sampel dari penelitian kedua di situs-situs Sangkulirang, Kalimantan Timur belum juga selesai diproses.
Pada latar kenusantaraan, angka 39.900-10.000 tahun silam itu telah menyebabkan kegerahan baru bagi dunia arkeologi Indonesia. Pasalnya, para ahli berpendapat bahwa manusia Austronesia adalah satu-satunya masyarakat pendukung tradisi gambar cadas Nusantara. Itu berarti, tradisinya tidak mungkin lebih tua dari migrasi kedatangan manusia Austronesia ke Nusantara, yaitu sekitar 4.000 tahun lalu. Teori bahwa gambar cadas dibuat penutur Austronesia didasarkan pada perbandingan temuan-temuan di sekitar situs bergambar, yang merujuk lapisan atau teknologi yang ber-umur 4.000 tahun. Jadi, penentuan tarikhnya, adalah metode perbandingan, bukan metode langsung pada gambar seperti umur-apit.
Memang, sudah begitu lama saya dan para peneliti gambar cadas di dunia ini bermimpi menemukan lukisan purba itu dari zaman 40.000 tahun silam di kawasan Asia. Alasannya, migrasi manusia 50.000 tahun lalu dari daratan Asia menuju Sahul (Australia-Papua) melalui da-erah yang kini Nusantara sekarang. Sementara di Australia, banyak gambar cadas yang bertarikh pra-Austronesia, seperti yang ditemukan di Quensland, Kimberley, dan Olalry. Lalu, pada jalur migrasi itu sedikit demi sedikit ditemukan gambar cadas bertarikh lebih tua dari 4.000 tahun, mendahului kedatangan Austronesia.
Belum ada penelitian lebih jauh, siapa manusia pembuat gambar cadas yang lebih tua dari 4.000 tahun. Namun, setidaknya sekarang di Nusantara diketahui terdapat dua tradisi gambar cadas, yaitu tradisi Pra-Austronesian (lebih tua dari 4.000 tahun silam), dan tradisi Austronesian (dibuat setelah 4.000 tahun silam).
Manusia Pra-Austronesia mempunyai mata pencaharian sebagai pemburu. Mereka terbagi atas kaum Pemburu Awal dan kaum Pemburu Lanjut. Pada Pemburu Awal, gambar cadasnya sangat banyak menampilkan cap (sembur) tangan dan mamalia besar. Cap tangan digambar berdekatan dengan satwanya, dan beberapa cap tangan tampak berdiri sendiri. Warna merah dari oker hematit mendominasi dinding dan langit-langit. Mamalia digambar sangat naturalis dan indah, mendominasi panil gambarnya. Gua-gua bergambarnya berlokasi sedikit di atas dataran, tidak jauh di atas tebing atau di puncak tebing. Para Pemburu Awal biasanya tidak menggambar senjata dan sosok manusia. Situs-situs Sulawesi Selatan sangat baik merepresentasikan gambar cadas mereka.
Kaum Pemburu Lanjut masih menggunakan cap tangan di dinding-dinding gua, namun kali ini lebih bergaya: Ada yang dijejejerkan, disusun melingkar, diruncingkan, diisi dengan garis-garis atau mahluk ‘gaib’. Pada situs yang besar, tempat pertemuan ritual penting, dibubuhi banyak sekali cap tangan. Mamalia menjadi makin jarang digambar, namun muncul imaji adisatwa, yaitu binatang jadi-jadian dan imaji mirip tokek. Selain itu terdapat imaji kura-kura, cap daun, dan alat-berburu. Sosok manusia saman banyak dihadirkan pada tradisi Pemburu Lanjut: Ada sosok penari yang berdiri memegang tongkat, dan pemburu. Daerah yang paling banyak mengawetkan tradisi menggambar para Pemburu Lanjut adalah Sangkulirang, Kalimantan Timur.
Gambar cadas Pemburu Awal diperkirakan bertarikh 40.000-15.000 tahun lalu, sementara Pemburu Lanjut diperkirakan sekitar 10.000-6.000 tahun lalu. Inilah lukisan cadas yang dibuat oleh manusia pra-Austronesia. Kendati terpaut puluhan ribu tahun, mereka sama-sama menggambar di muara gua-gua karst pedalaman, mungkin terkait daerah perburuannya. Gua-gua ini berada pada kawasan menara-menara karst yang memutih tinggi, seperti saling berlomba mencakar langit. Cerita tentang iklim praseja-rah itu terawetkan pada stalakmit-stalakmitnya: Dulu ketika digambari, daerah ini mempunyai musim kemarau yang panjang, batuan karst lah yang secara teori memberi pasokan air. Bahkan, air menetes deras dari gua-gua yang jauh di atas sungai. Hutannya berupa tropis savana, bukan hutan tropis basah.
Sekitar 6.000 tahun lalu, entah mengapa kaum pemburu ini berhenti menggambar, dan keluar dari gua. Pastinya, saat itu sedang terjadi perubahan iklim global. Air laut di Nusantara perlahan naik sampai 150 meter ke level yang sekarang. Suhu lebih hangat dua hingga tiga derajat, udara lebih lembab, salju di gunung api tropis meleleh. Semua terjadi perlahan sejak 21.000 tahun lalu sampai kira-kira 6.000 tahun lalu.
Kira-kira dua ribu tahun kemudian, tiba-tiba banyak gambar cadas yang mengisahkan kelautan di Nusantara. Konon, para penggambarnya adalah orang-orang laut yang datang dari utara, menyebar dengan cepat sekitar 4.000 tahun lalu—manusia Austronesia. Ketika itu, air laut sedang turun sedikit, dan berhenti di muka air laut sekarang, sekitar 3.000 tahun silam.
Manusia Austronesia dijuluki sang penjelajah laut. Mereka dipercaya berawal dari Taiwan dan kemudian menyebar melintasi Samudra Pasifik dan Indonesia. Mereka membawa ayam, babi, dan tikus ke Nusantara Timur, dan terus sampai Benua Amerika Selatan. Lalu, mereka berlayar kembali ke arah Nusantara membawa tanaman ubi. Para penjelajah laut itulah yang menggambarkan kisah kelautan dan patokan navigasi pada dinding tebing pantai yang dilaluinya.
Di Nusantara, gambar cadas kaum Pemburu Laut banyak ditemukan pada ceruk-ceruk tebing pantai di Maluku dan Papua. Mereka masih senang menggambar cap tangan, namun kadang diselingi dengan cap kaki dan cap senjata bumerang, dan berbagai jenis ikan. Mereka sering menggambarkan lantar—imaji mirip matahari atau komet. Imaji kura-kura dan reptil semacam cicak makin banyak dan makin besar ukurannya dibanding Pemburu Lanjut.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR