“Gua Purba,” demikian Mustofa berkisah kepada saya pada suatu hari. Dia merupakan perémés, julukan untuk pencari sarang burung walet yang merambahi gunung-gunung karst di kawasan Sangkulirang, Kalimantan Timur. Kendati masih muda dan lugu, lagak Mustofa memang meyakinkan.
Kedengarannya, nama Gua Purba menggelitik bagi penjelajah dan peneliti sejarah. Mustofa juga menceritakan bahwa di lorong-lorongnya banyak ditemukan pecahan gerabah. Bagi saya, kabar itu menjadi indikasi kehidupan prasejarah. Saya kian menggebu-gebu.
Mustofa adalah fenomena. Tidak banyak orang yang berprofesi sebagai perémés, karena harus sebulan dua bulan bergelayutan di gunung karst. Mereka harus kuat, muda, dan berani—bak petualang sejati. Mereka juga harus mencari dan menuju gua-gua tersembunyi, yang tidak diketahui orang banyak. Biasanya, para perémés berhasil mencapai gua di tebing yang tinggi, bahkan lorong-lorong gua yang sulit digapai orang biasa.
Para perémés merupakan porter utama perjalanan saya di Sangkulirang, selama dua dasawarsa terakhir. Tentu, saya percaya sepenuh jiwa pada mereka. Mereka rajin, kuat, berani, dan andal. Mereka adalah para sahabat sejati kami di hutan dan gunung karst yang gila.
Saya berjumpa Mustofa di desanya, Kampung Pengadan, berada nun jauh di tengah belantara Kalimantan Timur. Lokasi Gua Purba, ujarnya, masih sangat jauh dari kampungnya. Tepatnya di Gunung Kambing, perbukitan karst yang terkenal besar dan luar biasa terjalnya. Singkat cerita, kami mempersiapkan perjalanan dua minggu menembus hutan.
Setelah berjalan kaki dua hari dari kampung, sampailah kami di kaki Gunung Kambing. Para penjaga sarang burung kerap menjulukinya sebagai “gunung gila” karena harus gila-gilaan memanjatnya. Kami menuju gua yang berada 400 meter di gunung karst. Pagi-pagi sekali, perjalanan dimulai menanjak, bertangga batu, menaiki pohon, melipir jurang, melompati celah, lengkap sudah. Jalur pendakiannya sungguh gila!
Setelah berkali-kali akrobat, akhirnya pada sore hari kami sampai di mulut Gua Kambing yang besar sekali. Laser pengukur jarak memberi tanda numerik bahwa panjang gua itu sekitar 300 meter, tingginya sampai 60 meter. Gua ini spektakuler karena ini bertingkat tiga. Kami berjalan di tingkat dua, melewati jurang-jurang memanjang, kolam-kolam air, melewati bukit-bukit tanah yang melelahkan karena penuh guano lembut. Satu jam berjalan di lorong gelap, Mustofa memberi isyarat belok kanan. Kemudian dia menunjuk bahwa inilah guanya.
Saya berharap-harap cemas karena di depan mata kami hanya sebuah lorong yang gelap, besar, dan panjang. Sejauh penelitian saya, jarang sekali manusia prasejarah yang rela menghuni gua-gua gelap.
“Kok, gelap? Mana gerabahnya?” tanya saya.
“Itu, nanti di luar sana, Pak. Setengah jam lagi!” seru Mustofa.
“Ini Gua Purbanya?”
“Ya, Pak. Dinamakan Purba karena yang menemukan gua itu orang Batak tahun 90, Purba namanya!”
“Jadi, Purba itu nama orang? Kok, nggak bilang!”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR