Tradisi gambar cadas merupakan tradisi manusia prasejarah dalam menyampaikan pesan melalui gambar. Gambar-gambar itu tidaklah berdiri sendiri, namun berasosiasi dengan lingkungannya. Misalnya, gambar dilukis pada gua yang dipercaya berenergi gaib. Energi itu ada karena berasosiasi dengan suatu gunung, sungai, padang rumput, hutan, atau laut.
Apa perbedaan antara lukisan cadas praseja-rah dan coretan grafiti masa kini? Gambar cadas—saat digunakan manusia prasejarah—bukanlah gambar yang “bisu dan dingin”. Lukisan purba digunakan sebagai alat penyampai pesan, yang dijangkar pula dengan iringan doa, tangisan, gumaman, teriakan, atau nyanyian. Lengkap dengan tetabuhan, bahkan aneka aromatik tertentu. Gambar cadas selalu dirancang teratur, tidak sembarang. Itulah yang paling membedakannya dengan grafiti masa kini.
Lukisan prasejarah di gua-gua kerap memamerkan imaji satwa—dengan daya estetis luar biasa—namun tidak dicurahkan untuk berkesenian atau perburuan belaka. Karena, pada kenyataannya, gambar cadas umum-nya menampilkan imaji cap tangan, adisatwa, mahluk aneh, kejadian samanik, kumpulan penari, perahu berhias, imaji matahari. Sedikit imaji yang menunjukkan perburuan. Apa yang digambar, kerap berbeda dengan temuan sisa tulang-belulang satwa yang disantap.
Dewasa ini, para peneliti berkeyakinan bahwa manusia prasejarah membuat gambar cadas untuk menyampaikan kejadian sosial penting, sekaligus memuaskan kebutuhan akan perasaan tertentu—rasa cemas, rasa aman, rasa syukur—dari masyarakat pendukungnya. Para penggambar mengawetkannya pada gambar cadas, untuk diceritakan kepada kelompoknya dan generasi berikutnya, hingga kita bisa memirsanya.
!break!Tebing gambar cadas Dunwahan berada di Pulau Kei Kecil, terletak pada ujung utara desa Ohoider Tawun. Dunhawan berarti ujung dunia, yang berbentuk mirip siku manusia bila ditekuk, demikian ujar seorang warga lokal. Dunwahan juga merupakan nama dari kampung paling utara dari Pulau Kei Kecil.
Dinding tebing bergambarnya menghadap barat, dan mempunyai tiga tingkat cerukan memanjang utara selatan mengikuti garis pantaimemanjang utara-selatan sekitar 1,5 kilometer. Tingkat satu, paling bawah ceruk yang masig terkena abrasi ombak laut, kemudian ceruk kedua sekitar 3 meter di atas ceruk pertama, dan ceruk ketiga paling atas kira-kira 6-8 meter dari dasar. Tebing ini bila laut pasang langsung berdiri di pinggir pantai, dideburkan ombak yang tidak teratur karena terdapat terumbu karang 300 meter di muka dinding ini.
Apabila surut, laut berubah menjadi padang pasir Ba’a, yaitu pasir yang terpengaruh pasang-surut laut. Pasir Ba’a memutihdari larutan karbonat karst, lantainya bergelombang berkerucut kecil-kecil, ikan kecil berwarna-warni sering terjebak di kolam-kolam air asin yang terisa. Beberapa kepiting kelapa besar—nan lezat—berlarian menyamping, kepiting-kepiting kecil keluar seperti berhamburan.
Warga mengingatkan kepada saya untuk berhati-hati, jangan sampai menginjak ikan pari pasir yang sering bersembunyi di bawah pasir. Jika terinjak, bisa melecutkan ekor berdurinya. Pantai berpasir Ba’a benar-benar memenuhi Teluk Ohoider. Ketika surut di pagi hari, suasanana sangat teduh karena matahari belum melewati dinding karst Dunwahan. Pantainya berjejer pohon kelapa melambai-lambai bergemersik, diriuhkan oleh siutan-siutan burung kecil yang merdu melengking-lengking. Sementara, sayup-sayup deburan ombak memecah terumbu nun jauh di ujung pasir Ba’a. Enak sekali di hati dan telinga.
Gambar cadas dibuat pada ceruk tingkat kedua dan ketiga. Awal-awal bekerja di tebing tebing, kira-kira setelah jam satu siang, matahari menyemprot langsung ke dinding yang menghadap ke barat ini. Panas dan teriknya luar biasa, tak ada tempat berlindung, kecuali gua kecil yang hanya cukup untuk dua orang sembari duduk bersila. Pada waktu seperti inilah, anak-anak Dunwahan bermain-main dengan perahu kawoel-nya, perahu tanpa cadik yang mudah bergoyang oleh ombak.
Di dalam perahu kecil itu, mereka bernyanyi-nyanyi lantang membahanakan lagu dangdut yang sedang populer, diulang-ulang sambil mendayung-dayung ceria. Anak-anak ini dipimpin oleh lanang bernama Jubaida, kelas enam. Dengan rasa ingin tahu, mereka melihat dan bertanya-tanya tentang apa yang sedang saya dan rekan saya kerjakan di tebing.
Akhirnya, pada hari-hari berikutnya,anak-anak ini menjadi sahabat setiap makan siang di tebing. Mereka pun kemudian suka membawakan kelapa muda segarMereka dengan lincah, menaiki tebing dari perahu sambil membawa dua-tiga kelapa segar. Jubaidah dengan santainya, mengupas kelapa-kelapa itu agar bisa diminum. Segar sekali rasa airnya.
Tiga hari kemudian, suatu malam yang cerah. Saya diminta oleh Woesoek, Kepala Desa Ohoider Tawun, untuk berkumpul di balai desa. Sampai di balai, saya kaget, hampir semua warga sudah duduk bersila. Ruangan seperti biasa penuh asap rokok, aroma kretek Bentoel Biru dan klobot berputar-putar memenuhi ruangan
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR