Pertambahan produksi itu—dibarengi penurunan permintaan—menyebabkan harga karet turun selama beberapa tahun terakhir, tetapi semua memperkirakan pertumbuhannya akan terus berlanjut. Pertumbuhan pesat berarti bahwa apabila kita berkendara keliling Laos utara pada malam hari akan terlihat api di bukit—hutan yang dibakar untuk membuka lahan kebun karet baru. Ini berarti para remaja Thailand berkendara naik sepeda motor yang sarat dibebani setengah lusin karung berisi lembaran lateks buatan sendiri. Ini berarti banyak desa tani yang bangun dini hari untuk menyadap pohon karet, karena lateks mengalir paling deras sebelum fajar.
Ancaman ekologi yang ditimbulkan oleh demam karet bukan hanya hilangnya keanekaragaman hayati. Pohon karet di perkebunan baru ini adalah keturunan benih yang diselun-dupkan Henry Wickham dari Brasilia. Seperti pengalaman buruk yang dialami Henry Ford, karet sangat rentan terhadap hawar. Pada 1980-an para ilmuwan sudah mewanti-wanti bahwa jika ada spora hawar daun Amerika Selatan yang terbawa sampai ke Asia Tenggara, sektor otomotif bisa terpukul telak. “Potensi bencana ekonomi meningkat setiap kali ada penerbangan antarbenua yang mendarat di Asia Tenggara,” dua peneliti di Florida A&M University memperingatkan pada 2012. Laporan FAO PBB tahun sebelumnya menganjurkan agar semua penumpang pesawat ke Asia Tenggara yang pernah mengunjungi zona hawar Amerika Selatan dalam kurun tiga minggu sebelumnya harus diperiksa. Belum ada program semacam itu yang diberlakukan. Meskipun ilmuwan di Brasilia menemukan dan mulai menguji varietas pohon karet tahan hawar, belum ada program pemuliaan untuk ketahanan hawar di Asia. Dalam empat kunjungan ke Asia Tenggara saya tak menemui petani karet yang mempertimbangkan menanam varietas tahan hawar.
Mungkin yang paling serius, pohon karet menyedot banyak air untuk menghasilkan getah. Memproduksi ban itu ibarat mengambil air tanah dari perbukitan dan memuatnya ke truk untuk diekspor. Akibatnya, kata Xu, sumur dataran tinggi dan sungai pun mengering. Tanggapan kalangan pelaku industri ini hanyalah “orang bisa membeli air kemasan,” katanya sambil meringis. Tidak lama lagi karet akan menyelimuti sebagian besar Asia Tenggara. Masalah ini akan menyebar dari Tiongkok ke sebagian besar Asia Tenggara. “Kalau pemerintah tidak turun tangan, problem ini tidak akan terpecahkan.”
Pada hari yang berkabut dan sangat dingin, saya berkendara ke Cagar Alam Nasional Nabanhe di Xishuangbanna. Saya ditemani direktur penelitian cagar alam itu, Liu Feng, dan Gerhard Langenberger, ahli agroekologi Universität Hohenheim, Jerman. Pemandangan silih berganti antara perkebunan dan alam liar mengingatkan saya pada petak-petak ladang dan hutan di sekitar rumah saya di New England. Kami mengunjungi cagar alam itu karena Liu dan Langenberger berpendapat bahwa di sana ada petunjuk bagaimana karet bisa hidup berdampingan dengan ekosistem alami.
Tidak seperti kebanyakan cagar alam, Nabanhe dihuni banyak orang. Luasnya yang dua ratusan kilometer persegi mencakup 33 desa kecil, dengan populasi total sekitar 6.000 jiwa. Tanah tersebut dibagi menjadi tiga zona. Di zona inti, aktivitas manusia tidak diperbolehkan, seperti di cagar alam biasa. Di sekitarnya dijadikan zona penyangga, yang boleh dihuni tetapi penggunaan sumber daya di sana dibatasi. Dan sekitar itu adalah zona eksperimental, yang boleh digunakan untuk bercocok tanam—yaitu menanam dan menyadap karet.
Keseimbangan ini sulit dipertahankan, kata Liu. Sore itu kami melihat warga desa mencabuti tanaman karet ilegal. Orang yang melanggar dilaporkan oleh tetangganya sendiri. Polisi kehutanan mengawasi tanaman itu diangkut pergi. Beberapa jam kemudian kami bertemu beberapa polisi itu untuk makan-makan. Salah satunya mengatakan bahwa hukuman bagi warga desa tidaklah berat—ia hanya ingin mereka mematuhi peraturan.
Langenberger berpendapat bahwa ilmuwan semestinya membeberkan fakta yang ada dan membiarkan warga setempat yang mengatur pengelolaan lanskap. “Saya tidak menyalahkan petani,” katanya. “Mereka sudah begitu lama hidup miskin di sini. Sekarang ada tanaman yang memungkinkan mereka masuk ke pasar dunia.” Ilmuwan tidak bisa—dan tidak semestinya—”menyuruh mereka berhenti menanam karet,” katanya. Jika menuruti logika konservasi, semua aktivitas manusia harus dilarang demi melestarikan hutan hujan yang penting. Jika menuruti logika industri, setiap jengkal tanah harus ditanami pohon karet. Langenberger berharap dapat ditemukan titik tengah yang produktif. Besar harapannya bahwa Cagar Alam Nabanhe dapat membantu merintis jalan, sebuah upaya kecil untuk mencari solusi di sudut dunia yang saling berhubungan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR