Hari cerah, seluruh Thailand utara semarak di bawah sinar matahari musim semi. Ia pun mengendarai Isuzu barunya ke sungai yang membelah desanya, Tung Nha Noi. Sapi dan manusia lewat melintas, sementara dia, pemuda berusia 21 tahun dengan mobil keren, berdiri di tengah sungai sambil menyeka kendaraan dengan spons sampai bersih hingga berkilap.
Sampai baru-baru ini, nyaris mustahil bagi orang seperti Piyawot Anurakbranpot—dipanggil “Chin” oleh teman-temannya—untuk memiliki mobil mewah di usia semuda ini. Mana mungkin penduduk desa terpencil seperti Tung Nha Noi punya uangnya. Namun, baru-baru ini orang seperti keluarga Chin menjadi jauh lebih sejahtera. Alasannya terlihat di perbukitan di belakangnya. Sepuluh tahun yang lalu bukit tersebut masih berselimut hutan tropis lebat—penuh dengan berbagai tumbuhan asli. Sekarang sebagian besar lerengnya dibabat habis dan ditanami kembali dengan satu spesies: Hevea brasiliensis, pohon karet Pará. Setiap malam keluarga Chin dan puluhan ribu keluarga lainnya di Asia Tenggara pergi ke kebun dan menyadap pohon karet mereka. Lateks putih kental menetes ke dalam mangkuk. Getah itu digumpalkan lalu dipres menjadi lembaran dan diangkut ke pabrik, tempat bahan ini diproses menjadi cincin perapat, sabuk mesin, gasket, isolasi, dan ban—dalam jumlah yang sangat banyak. Sekitar tiga perempat hasil karet dunia digunakan untuk membuat ban mobil, truk, dan pesawat—hampir dua miliar per tahun.
Karet memainkan peran yang penting tapi jarang diketahui, dalam sejarah politik dan lingkungan global selama lebih dari 150 tahun. Anda ingin revolusi industri? Jika demikian, harus ada tiga bahan baku: besi, untuk membuat baja untuk mesin; bahan bakar fosil, untuk menggerakkan mesin itu; serta karet, untuk menghubungkan dan melindungi semua komponen yang bergerak. Coba saja jalankan mobil tanpa sabuk kipas atau slang radiator; semenit kemudian, bencana. Mau mencoba mengalirkan fluida pendingin ke mesin lewat tabung logam kaku alih-alih slang karet yang fleksibel? Ajaib kalau tak hancur karena vibrasi.
Bahkan, kalaupun ada yang terpikir soal karet, biasanya yang dibayangkannya adalah produk yang dibuat dari bahan kimia sintetis. Padahal, lebih dari 40 persen karet dunia berasal dari pohon karet, sebagian besar dari spesies H. brasiliensis. Dibandingkan dengan karet alam, karet sintetis umumnya dapat dibuat lebih murah, tetapi kurang kuat, kurang elastis, dan kurang mampu menahan getaran. Untuk benda yang benar-benar tidak boleh rusak saat digunakan, seperti kondom dan sarung tangan dokter bedah hingga ban pesawat, karet alam telah lama menjadi pilihan utama.
Namun, karet saat ini tumbuh hampir secara eksklusif di Asia Tenggara, karena wilayah ini memiliki paduan unik iklim dan prasarana yang sesuai. Meskipun ekonomi global mengalami pasang surut, permintaan ban terus meningkat, menciptakan keadaan yang mirip dengan demam emas di Asia Tenggara. Bagi jutaan orang di kawasan miskin dunia ini, masa keemasan karet menjadi peluang menuju kesejahteraan;.Karet ikut mengakhiri isolasi daerah ini. “Jalan raya karet” yang anyar kini menghubungkan perkebunan di Asia Tenggara yang dahulu terpencil ke pabrik ban di Tiongkok utara.
Namun perdagangan karet tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi. Orang-orang seperti Chin ini, yang banyak jumlahnya di Asia Tenggara, menyebabkan hal yang disebut Jefferson Fox dari East-West Center di Hawaii sebagai “salah satu transformasi ekologi yang tercepat dan terbesar dalam sejarah manusia.” Di Tiongkok, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja, dan Myanmar petani karet membabat atau membakar hutan lalu menanam berbaris-baris karet H. brasiliensis. Akibatnya, mereka mengubah salah satu ekosistem dunia yang paling beragam menjadi perkebunan monokultur, berpotensi mengancam fungsi ekologi dasar kawasan yang dihuni puluhan juta orang itu. Setiap ban di mobil Chin—satu di setiap roda ditambah ban serep—setara dengan sepetak kecil hutan tropis yang dibabat dan dipres menjadi cincin hitam berkilat. Demikian pula setiap ban pada mobil saya dan mobil Anda.
Perkebunan monokultur sangat produktif—juga rentan. Tanya saja Henry Ford. Ford memiliki tambang besi dan batu bara, membangun pembangkit listrik sendiri, menebang lahan hutannya sendiri. Kompleks pabrik River Rougenya di Dearborn, Michigan, memiliki pelabuhan laut, pengecoran baja (terbesar di dunia pada saat itu), dan lebih dari 150 kilometer rel kereta api di dalamnya. Setiap jenis bahan yang diperlukan untuk memproduksi mobil dibuat di River Rouge kecuali satu: karet. Pada 1927 Ford membeli 10.400 kilometer persegi lahan di daerah aliran sungai Amazon, tempat asal H. brasiliensis.
Masyarakat Indian berabad-abad meng-gunakan karet untuk menjadikan pakaian kedap air dan membuat sepatu karet kasar. Pada awal abad ke-19 orang Amerika Utara membeli karet dari tetangga mereka di selatan untuk membuat sepatu dan mantel sendiri. Sayangnya, produk karet awal ini meleleh pada musim panas dan kehilangan kelenturannya saat cuaca dingin. Pada 1840-an, setelah penemu amatir dari AS Charles Goodyear menemukan cara untuk menstabilkan karet, barulah pemakaiannya meluas. Penemuan Goodyear itu disebut vulkanisasi. Ini merintis jalan bagi banyak penemuan setelahnya.
Begitu mengetahui bahwa status karet berubah dari benda aneh menjadi komoditas yang berharga, penjelajah berbondong-bondong menuju hutan Amazon untuk mencari pohon yang menghasilkan getah itu. Kota baru bermunculan, Manaus yang paling luar biasa. Di kota di tengah hutan rimba Brasilia ini, bangsawan karet berlomba membuat gedung megah, dan membangun gedung opera dengan menggunakan marmer yang diimpor dari Italia.
Negara Eropa dan Amerika Utara tidak suka bergantung pada komoditas yang dikendalikan oleh bangsa yang berada di luar kendali politik mereka. Jadi, pejabat Kew Gardens Inggris mencari orang yang mau dibayar untuk menyelundupkan bibit karet dari Amazon. Di sinilah peran Henry Alexander Wickham, orang yang dibenci di Brasilia sampai sekarang.
Wickham, lahir 1846, adalah wiraswastawan yang ambisinya sama besarnya dengan ketidakbecusannya. Pada 1870-an dia dan istrinya membuka perkebunan tembakau dan tebu di kota Santarém di hilir Amazon. Setelah dihubungi oleh Kew Gardens, Wickham mengumpulkan lebih dari setengah ton biji pohon karet, yang dikirimkannya ke London dengan kapal laut. Pemerintah Inggris terkejut saat ia datang untuk menagih pembayaran atas setiap biji yang berjumlah 70.000 tersebut. Namun, biji karet yang tumbuh akhirnya dibawa ke koloni Inggris, Prancis, dan Belanda di Asia. Dengan membawa kapak dan obor, calon raja karet menyebar ke seluruh hutan Khatulistiwa. Pada 1910 lebih dari 50 juta pohon Amerika Selatan itu tumbuh di Asia. Tahun berikutnya karet Asia membanjiri pasar, harga di Brasilia anjlok. Orang Brasilia terkejut dan marah, industri karet yang sangat menguntungkan ambruk hanya dalam beberapa bulan.
Dalam beberapa dekade berikutnya Asia Tenggara menjadi sentra produksi karet, seiring menyebarnya H. brasiliensis di wilayah yang sekarang menjadi Malaysia, Indonesia, bagian selatan Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar. Pemilik perkebunan, yang kaya mendadak, memborong lahan perumahan di Singapura.
Wickham meninggal pada 1928, setahun setelah Henry Ford membeli lahan di tepi Sungai Tapajós, di bagian hilir daerah aliran sungai Amazon. Karena tidak suka bergantung pada karet Asia, Ford memutuskan untuk menciptakan suplainya sendiri. Ribuan pekerja membabat hutan untuk membangun kota baru bergaya barat, mengisinya dengan jajaran bungalo berdinding papan, gereja Baptis, jalan protokol dengan toko roti, dan bioskop Amerika. Fordlândia, demikian proyek ini dijuluki orang, cukup besar untuk menampung sekian ratus ribu orang. Ford menghabiskan sekitar 20 juta dolar AS untuk membangunnya, setara dengan sekitar empat triliun rupiah uang saat ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR