Jagawana di sini menyebut musim sibuk—dari Juni sampai awal September, saat Taman Nasional dan Cagar Alam Denali menerima sebagian besar dari 500.000 pengunjung tahunannya—sebagai “seratus hari kekacauan”. Memang, pagi pada pertengahan musim panas di Wilderness Access Center yang terletak di pangkal Park Road sepanjang 148 kilometer nan kondang itu, suasananya mirip terminal bus. Pengeras suara mengumumkan waktu naik ke bus, dan antrean pengunjung dari berbagai negara memadati loket karcis.
Sebagian besar pengunjung Denali adalah penumpang kapal pesiar yang umumnya melihat taman dan berbagai margasatwanya cukup dari bus. “Namun, jika Anda tidak suka keramaian, itu soal gampang,” kata jagawana Sarah Hayes. “Taman ini luasnya sekitar 2,4 juta hektare, sebagian besar tanpa akses jalan, tempat binatang liar berkeliaran tak terganggu. Dan itu terbuka bagi siapa saja, tinggal turun dari bus.”
Saat bus mulai berangkat, penumpang dalam setengah lusin bahasa, riuh membahas margasatwa yang akan dilihatnya. Saya menanyai beberapa penumpang soal hewan yang ingin dilihat. “Moose!” “Beruang cokelat!” “Karibu!” “Serigala!”
Melewati kilometer 24, jalan berubah menjadi jalan tanah dan kepadatan mobil pun berkurang. Beberapa kilometer kemudian pepohonan pun menghilang. Saat puncak Pegunungan Alaska mulai tampak di kejauhan, terasalah betapa besarnya kawasan alami ini. Sopir melambatkan kendaraan.
“Sudah dua minggu tidak terlihat. Namun, rasanya hari ini kita beruntung...” Saat gunung yang menjulang tinggi muncul di balik kabut, terdengar banyak yang berteriak, “Denali!”
Dengan ketinggian 6.190 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi di Amerika Utara itu merupakan pemandangan menakjubkan, meskipun saat cuaca hangat, lerengnya sering terbungkus awan. Gunung ini adalah bagian penting legenda dan pengetahuan orang Athabaskan yang memberinya nama Denali, berarti Nan Tinggi. Pada 1896 pencari emas William Dickey menamainya McKinley untuk menghormati politikus Ohio William McKinley, presiden ke-25 negara itu. Musim panas lalu, Pemerintahan Obama menggunakan kekuasaan eksekutif untuk mengembalikan nama aslinya.
Gunung Denali, beruang cokelat, dan serigala merupakan tiga alasan utama orang berkunjung ke taman nasional ini. Sampai 2010, pengunjung lebih mungkin melihat serigala di alam liar daripada melihat Denali, yang hanya terlihat tiga hari sekali selama musim panas. Sayangnya sejak 2010 jumlah penampakan serigala menurun drastis. Ahli biologi taman melaporkan bahwa jumlah serigala di dalam taman itu anjlok dari lebih dari 100 ekor satu dekade lalu hingga kurang dari 50 ekor tahun lalu. Salah satu alasan saya datang ke Denali adalah untuk mengetahui penyebabnya.
“Tak mungkin suhu di bawah sana minus 34 derajat Celsius,” kata pilot Dennis Miller, saat pesawat ski kami mengangkasa dari lapangan terbang bersalju di kantor pusat taman. Saya yang terbungkus pakaian dan berimpitan di belakangnya, dalam kokpit kecil itu, menyaksikan Miller menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rasanya tidak mungkin bisa sehangat itu sepanjang hari ini,” katanya.
Beberapa menit kemudian headphone kiri berbunyi, saat antena di sisi kiri pesawat menangkap sinyal dari serigala berkalung-radio pertama kami hari itu. Miller membelokkan pesawat dan bunyi itu kini terdengar seimbang, kiri dan kanan. Bunyinya menjadi lebih keras saat kami melintasi batas taman dan terbang di atas koridor Stampede, celah yang melintasi tanah negara bagian, wilayah khusus, dan lahan pribadi yang dikenal sebagai Wolf Township.
“Itu kemungkinan betina kawanan East Fork,” kata Miller. “November lalu kami menghitung setidaknya ada 15 serigala. Tetapi kami menemukan jantan berkalung, yang mati dua minggu lalu, pada tanggal enam Maret. Sejak itu hanya terlihat satu jejak.”
Dengan mengikuti sinyal itu, Miller turun dan terbang zig-zag melalui lembah sungai tempat jejak serigala tunggal itu menghilang di antara pepohonan. Dia memiringkan pesawat ke kiri dan memandang ke bawah. “Saya hanya akan terbang melintas sekali,” katanya, sambil menambah kemiringan pesawat dan mengawasi permukaan di bawahnya. “Jika warga sini melihat pesawat saya berputar-putar, mereka akan keluar dan mencari serigala yang hendak saya temukan dan menembaknya.”
Empat hari sebelumnya saya terbang bersama Miller dan tim ahli biologi National Park Service, yang mengalihkan fokusnya pada serigala di bulan Maret. Setiap kali mereka menemukan serigala di dalam taman yang hendak dipasangi kalung radio, mereka memanggil tim helikopter untuk membiusnya. Setelah hewan itu terbius, ahli biologi memasang kalungnya. Mereka juga mengambil sampel darah dan bulu, berharap dapat menambah pengetahuan kita mengenai kesehatan, perilaku, dan genetika salah satu hewan yang paling disalahpahami di dunia ini.
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari rintisan ahli ekologi Adolph Murie, salah satu ilmuwan pertama yang meneliti serigala Denali di alam liar. Pada 1939, ketika Murie melakukan ekspedisi perdananya ke Taman Nasional Gunung McKinley, demikian sebutannya saat itu, serigala dianggap hama, dan jagawana Park Service biasa melakukan tembak di tempat. Penelitian Murie menunjukkan bahwa serigala dan predator puncak lainnya memegang peran penting dalam habitat yang sehat, dan menurutnya pengelola taman harus melindungi seluruh ekosistem alih-alih spesies tertentu saja.
Beberapa pemikir dan ilmuwan berpengaruh lainnya kemudian mengikuti jejak Murie ke Denali, yang kawasan pegunungannya sebagian besar terbuka tanpa pohon sehingga cocok untuk mengamati satwa liar. Kawasan luas di bagian Amerika yang masih liar ini memicu perubahan besar dalam pandangan mengenai peran taman dan pengayomnya. Di sinilah dilakukan penggodokan banyak norma perlindungan lingkungan serta pengambilan keputusan berbasis ilmu pengetahuan yang kini dianggap lazim.
Denali juga berdampak besar pada ratusan ribu pengunjung nonilmuwan yang datang setiap tahun dengan harapan dapat berjumpa satwa liar yang menakjubkan dan saat pulang merasa lebih dekat dengan alam. “Kami menyaksikan hal tersebut sepanjang waktu,” kata Pengawas Taman Don Striker. “Mereka datang ke sini untuk berfoto-foto. Ketika mengalami hal semacam ini, tumbuh sesuatu di hati mereka. Mereka membawa pulang keinginan untuk melindungi tempat seperti ini.”
Namun, sejak dulu Denali menyembunyikan kemelut di balik keindahannya. Taman ini didirikan pada 1917 sebagai suaka bagi domba dall dan hewan buruan lainnya, sementara jagawana awal harus mengusir pemburu liar yang menjual daging buruannya kepada penambang dan pembangun rel kereta api. Tarik-menarik antara pemanfaatan dan pelestarian merupakan sumber ketegangan di taman-taman nasional. Bahkan saat ini pun, taman ini termasuk salah satu tempat yang ketegangannya paling kentara—dan yang penanganannya paling kreatif. Ketegangan itu menyebar dari puncak Denali yang terkadang padat hingga jalan setapak yang terpencil.
“Banyak hal tentang taman ini yang membingungkan orang,” kata jagawana John Leonard. “Ini alam liar, tetapi di beberapa tempat ada yang mendaratkan pesawatnya, sementara di tempat lain orang boleh berburu dan memasang jerat. Itulah yang membedakan Denali—taman ini tidak tertutup. Dan itulah yang mempersulit pengelolaannya.”
“Apakah Anda yang tempo hari terbang berkeliling?” tanya Coke Wallace saat kami bertemu di luar rumahnya di Stampede Road. “Kami kira kalian sedang melacak sinyal radio serigala. Saya hampir keluar untuk melihat barangkali ada yang bisa ditembak.”
!break!Wallace adalah penjerat, pemburu, pemandu, dan mengaku “orang udik ekstrem sayap kanan”. Saat menunjukkan koleksi jerat dan perangkap serta kulit serigala besar yang dibentangnya di bingkai pengeringan, ponselnya berbunyi. Nada deringnya ternyata lolongan serigala.
“Orang sering salah mengira bahwa saya membenci serigala,” tuturnya kepada saya. “Padahal, menurut saya hewan itu hebat sekali. Masalahnya, setiap lima sampai tujuh tahun sekali saya menangkap serigala yang salah.”
Pada 1999 Wallace menembak seekor betina alfa berkalung dari kawanan Grant Creek, yang sangat sering dilihat pengunjung di Park Road. Pada 2005 seekor betina alfa dari kawanan East Fork masuk perangkapnya yang dipasang di luar batas taman. Pada 2012 ia membawa bangkai kuda ke perlintasan serigala dan memasang perangkap serta jerat di sekitarnya. Ketika dia memeriksanya beberapa hari kemudian, ternyata ada seekor betina bunting dari kawanan East Fork, yang tertangkap. Kematian hewan itu, didokumentasikan oleh tetangganya dan kemudian diakui Wallace dan menuai ancaman pembunuhan. Tetapi bisnis pemandu wisatanya juga ikut terdongkrak. Pada tahun yang sama Wallace menangkap satu-satunya betina beranak dari kawanan Grant Creek, yang sering berkeliaran di luar batas taman. Akibatnya kawanan itu tak memiliki keturunan dan jumlah anggotanya anjlok dari 15 menjadi tiga ekor.
Sampai beberapa tahun silam serigala yang berkeliaran ke dekat tanah Wallace dilindungi oleh hukum. Apa daya, kawanan serigala yang paling terancam di Denali justru berada di pusat perseteruan politik. Pada 2000, Gordon Haber, ahli biologi serigala terkenal dan blak-blakan yang melanjutkan penelitian Adolph Murie, melihat orang memasang jerat di sepanjang batas taman. Dia bersama beberapa pihak lain meyakinkan dewan perburuan Alaska Board of Game untuk membuat zona penyangga larangan berburu di sepanjang Jalur Stampede dan di daerah Ngarai Nenana. Setelah Haber meninggal akibat kecelakaan pesawat pada akhir 2009, Park Service meminta perluasan kawasan larangan berburu. Dewan perburuan justru menanggapinya dengan menghapus zona itu, membuat serigala rawan dijerat dan diburu di sekitar batas taman.
Meskipun Park Service telah menghentikan pengendalian predatornya puluhan tahun silam, negara bagian ini justru menggalakkan program pengurangan serigala di beberapa wilayah untuk meningkatkan populasi karibu dan moose.
Pada 2013 dan 2014 petugas pengendali-predator negara bagian dan pemburu swasta berizin memburu dengan pesawat, menewaskan puluhan serigala di luar Cagar Nasional Sungai Yukon-Charley. Pembasmian itu mengurangi lebih dari setengah populasi serigala di cagar alam itu dan menewaskan beberapa serigala berkalung yang merupakan bagian dari penelitian Park Service selama puluhan tahun. Meskipun menurut Cotten program pembasmian serigala memiliki dasar ilmiah yang kuat, beberapa data menyanggah asumsi bahwa pembunuhan serigala akan meningkatkan populasi mangsa, terutama dalam jangka panjang.
Bagi Wallace, pembasmian serigala dan penghapusan zona larangan berburu Denali seharusnya sudah dilakukan dari dahulu. “Sudah seharusnya negara bagian berani menentang pemerintah federal dan pemerhati lingkungan bebal yang kebablasan,” katanya. “Saya jauh lebih menyukai saat taman ini bernama Taman Nasional McKinley, dan diperuntukkan bagi domba. Eh, kemudian pemerintah federal memaksa kami menerima ANILCA.”
Pada 1980 Kongres AS mengesahkan ANILCA, Alaska National Interest Lands Conservation Act. Undang-undang ini menetapkan 42 juta hektare lahan sebagai taman nasional, hutan, dan cagar alam serta melindungi 20 juta hektare tambahan sebagai alam liar. Taman Nasional Gunung McKinley diubah namanya menjadi Taman Nasional dan Cagar Alam Denali, dan diperluas dari 800 ribu menjadi 2,4 juta hektare. Hak kepemilikan tanah dalam kawasan itu tetap diakui, demikian pula hak berburu dan menjerat di beberapa bagian.
ANILCA umum dianggap sebagai salah satu kemenangan konservasi yang paling penting dalam sejarah AS, tetapi banyak orang Alaska yang melihatnya sebagai puncak campur tangan federal yang sudah lama melampaui batas. Wallace masih remaja di Fairbanks saat pengunjuk rasa membakar patung Presiden Jimmy Carter, yang pada 1978 menetapkan 22 juta hektare lahan di Alaska menjadi status monumen nasional. Pada 1979 warga di sekitar taman mengadakan acara Great Denali Trespass. Mereka berbondong-bondong masuk ke taman dengan menembakkan senjata, menyalakan api, dan melakukan tindakan protes lainnya.
“Di semua tempat yang pernah saya datangi, masyarakat mencintai taman nasionalnya,” kata Pengawas Striker, yang menangani lima taman di AS daratan sebelum bertugas di Denali. “Namun, di sini hubungan itu diracuni oleh masa lalu. Orang tidak menyadari bahwa tanah ini dari dahulu adalah milik federal—bukan milik negara bagian. Secara politik memang lebih menguntungkan mencerca taman ini dan mengabaikan semua manfaatnya bagi negara bagian ini, terutama dampak ekonominya.”
!break!Perdebatan itu—dan semua yang lainnya—terasa jauh ketika saya melongokkan kepala keluar tenda di lokasi perkemahan di dekat Sungai Cache pada pertengahan Maret. Ini adalah pagi ketiga ekspedisi dengan kereta luncur dan juga pagi ketiga dengan suhu minus 25 derajat Celsius. Saya sempat terpikir untuk masuk kembali ke dalam tenda, tetapi Gunung Denali yang hampir selalu terlihat pada musim dingin menarik perhatian saya. Di atas lembah, sinar matahari memandikan puncak Nan Tinggi.
Ketika akhirnya saya keluar tenda, banyak kepala menoleh. Tiga puluh atau lebih anjing penarik mulai menyalak serta melolong dengan penuh semangat. Anjing penarik, tetap menjadi bagian penting manajemen taman selama musim dingin, untuk melakukan patroli perbatasan, mendukung penelitian margasatwa, dan mengangkut keperluan untuk pembersihan dan perbaikan pondok. Dan acara interaksi-langsung dengan anjing pada musim panas di Denali merupakan program demonstrasi paling populer yang disediakan oleh pegawai taman.
“Anjing menghubungkan manusia dengan sejarah dan dengan pengalaman yang tak akan pernah dirasakan kebanyakan orang,” kata pengurus anjing, Jennifer Raffaeli. “Pada musim dingin, anjing merupakan cara paling andal dan cukup aman untuk berkeliling ke semua bagian taman. Tak seperti mobil salju, anjing selalu siap berangkat. Anjing juga memiliki naluri bertahan hidup, yang tak mungkin dimiliki mesin. “
Sore itu cuaca agak menghangat, dan kafilah kami yang terdiri atas tiga tim anjing melaju ke stasiun jagawana di Danau Wonder. Pada pukul 2 dini hari, kami keluar dari pondok, menyaksikan pertunjukan aurora borealis yang memukau, sementara anjing tidur di sekitar pondok.
“Banyak bagian Denali yang tak dapat dijangkau kebanyakan orang, tetapi dengan naik kereta yang dihela anjing seperti ini, kita bisa mencapainya,” kata Raffaeli sementara kami takjub menatap tirai cahaya warna-warni yang berkibar di langit. “Musim dingin di sini terasa begitu damai, sampai-sampai sulit dipercaya.”
Tiga bulan kemudian, pada akhir Juni, saya menyaksikan Denali yang sama sekali berbeda. Sudah pukul delapan malam di Park Road, tetapi saya tetap terjebak macet. Ketika seekor moose betina dan dua anaknya melenggang santai di jajaran pepohonan, pengemudi berhenti di tengah jalan untuk membidikkan kamera.
Pada 1960-an Adolph Murie berjuang keras menentang rencana pembangunan jalan raya ke jantung taman. Perjuangannya berhasil sebagian ketika Park Service memutuskan hanya mengaspal 24 kilometer pertama saja. Namun, seiring bertambahnya jumlah pengunjung, jalan sempit itu semakin ramai dan berbahaya, dan orang semakin mencemaskan dampak lalu lintas terhadap margasatwa. Pada 1972 Denali menjadi salah satu taman nasional pertama di Amerika yang menerapkan sistem transportasi massal untuk mengurangi jumlah mobil—pendekatan yang kemudian diikuti oleh taman-taman lain.
Selama seminggu saya putar kayun di pedalaman musim panas Denali, menjernihkan pikiran dengan menikmati alam liar. Menjelang akhir perjalanan, saya beruntung bisa menginap beberapa hari di Pondok East Fork, markas Murie sewaktu dia meneliti hubungan antara serigala dan domba. Bagi sang ahli ekologi muda, itu mimpi yang menjadi kenyataan. Dia bisa menyendiri dan mempelajari hewan dengan alat paling sederhana: teropong, kamera, buku tulis, dan dengkul yang kuat. Fokusnya adalah satu keluarga besar serigala yang berkeliaran di dekat pondok itu di cabang timur Sungai Toklat.
Para atasan Murie di Washington, D.C., mungkin mengira akan mendapat risalah penelitian yang membosankan. Ternyata yang diserahkan Murie adalah The Wolves of Mount McKinley, karya klasik tentang sejarah alam. Laporan setebal buku yang diterbitkan pada 1944 itu menarik perhatian dunia pada kawanan East Fork-Toklat. Untuk pertama kalinya, Murie menggambarkan daur hidup, hubungan, dan mekanisme suatu jaringan ekologi lengkap. Karena menyadari bahwa interaksi ekosistem ternyata lebih rumit daripada yang dibayangkan orang, Murie mulai berupaya mengubah kebijakan yang bertujuan memberantas pemangsa seperti serigala, puma, dan coyote.
Sikap itu membuatnya tidak populer, baik di dalam maupun di luar Park Service. Namun, semakin sering dia menulis tentang subjek penelitiannya di majalah dan jurnal, semakin populer pula serigala Amerika itu, dan serigala menjadi salah satu daya pikat khas Denali.
Dalam perjalanan ke pondok, sopir bus bertanya kepada para penumpang, “Di tempat asal Anda, siapa yang merasa seakan-akan setiap jam itu jam sibuk?” Saya tak mengacungkan tangan, enggan mengakui hampir sepanjang masa dewasa saya selalu diburu waktu.
Sore itu saya bangun dari tidur siang. Secara refleks, saya bergerak memeriksa ponsel. Di sini tidak mungkin ada SMS atau telepon. Saya tak lagi diatur oleh jam. Saya melewatkan tiga hari di sekitar pondok—mendaki gunung, membaca karya Murie, dan beradaptasi, seperti kata Emerson, dengan “kecepatan alam”. Saat berjalan kaki kembali ke jalan raya, saya enggan bergabung kembali dengan keramaian halte bus atau mengejar ketertinggalan berita dunia.
Kabar dari taman pun tak menggembirakan. Saya mampir ke kantor ahli biologi taman, Steve Arthur, untuk menanyakan hasil awal penelitian terbaru tentang angka populasi serigala (masih rendah) dan temuan nekropsi bangkai serigala berlumuran darah yang saya lihat saat berkunjung pada musim dingin. Tim Arthur menggali serigala beku itu—jantan kawanan East Fork—dari dalam salju dan menemukan jerat di leher. Hewan itu berhasil memutuskan tali jerat, lalu berjalan hingga masuk ke taman sebelum mati kehabisan darah.
Pada bulan Mei, Arthur ditelepon seorang pemburu yang secara legal menembak seekor serigala berkalung di dekat pos umpan beruang di Jalur Stampede, di luar taman. Pada 2012 dewan perburuan negara bagian itu memperluas praktik umpan-beruang yang kontroversial (yang dilarang di kebanyakan negara bagian yang mengizinkan berburu beruang) mencakup juga beruang cokelat. Musim umpan pada musim semi ini bersamaan dengan musim kawin serigala, sehingga serigala betina yang bunting atau menyusui lebih mungkin terbunuh.
Saat Arthur tiba, dia menemukan bangkai serigala lain, seekor betina bunting tak berkalung. Kedua serigala itu anggota kawanan East Fork yang sudah terpepet, dan data GPS dari kalung serigala lain jelas menunjukkan bahwa anggota kawanan itu masih berada di sekitar situ, terpikat oleh umpan beruang. Arthur menyampaikan kekhawatirannya kepada pengurus margasatwa negara bagian dan menyarankan agar musim berburu serigala diakhiri lebih cepat. Pihak tersebut setuju untuk mengakhiri musim itu dua minggu lebih awal, khusus kali ini saja.
Setelah lima minggu di Denali, masih ada waktu bertualang ke alam liar sekali lagi. Dari kursi belakang bus, saya melihat rute menjanjikan, ke tanjakan, lalu turun ke Sungai Toklat.
Saya berlari kecil memasuki alam yang belum ada jalan setapak, tanpa peta, setengah berharap akan tersesat di tengah pegunungan dan telaga. Tiba di sungai, di seberangnya terlihat lembah menggantung yang dekat di mata jauh di kaki. Perjalanan yang mulanya diperkirakan setengah hari molor hingga lewat delapan jam, tetapi saya tak berkeberatan—cahaya siang masih panjang. Saat berjalan kembali ke jalan raya, saya tersadar bahwa perjalanan saya selama ini terlalu senyap, bukan perbuatan yang cerdas di negeri beruang. Sampailah saya ke puncak tanjakan dan terlihat seekor beruang cokelat jantan besar di kolam, sekitar 200 meter di bawah. Saat suara saya sampai ke telinganya, hewan itu berdiri, melihat sekeliling dengan gaya jenaka. Badannya besar, tetapi dia bukan pembuat onar. Dia berenang ke tepi, keluar dari air, berhenti dan mengebaskan tubuh hingga kering, lalu melenggang perlahan ke atas gunung dan menghilang dari pandangan.
Saya menyetop bus untuk terakhir kalinya. Sebelum saya naik, seorang pejalan turun, memanggul ransel untuk keperluan empat hari dan memegang peta yang dilaminasi. Saya menanyakan tujuannya. Dia mengibaskan peta ke arah gunung, lembah, sungai, dan langit, sudut matanya berkerut karena senyuman. “Salah satu tempat itu,” katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR