Leluhur opsin tidak muncul dari kehampaan. Evolusi membuat opsin pertama dari protein yang lebih berfungsi sebagai jam daripada sensor cahaya. Protein leluhur ini menempel pada melatonin, hormon yang mengendalikan jam tubuh 24 jam, pada banyak organisme. Melatonin hancur jika terkena cahaya, jadi ketiadaannya dapat menandakan sinar fajar pertama—tetapi hanya sekali. Makhluk yang mendeteksi fajar dengan melatonin harus terus-menerus memproduksi zat itu.
Sebaliknya, kromofor yang berikatan dengan opsin hanya berubah bentuk saat menyerap cahaya, dan dapat berubah kembali dengan mudah. Jadi, saat protein pengikat melatonin bermutasi, protein itu tiba-tiba menjadi sensor cahaya pakai-ulang. Itulah opsin pertama. Opsin itu begitu efisien sehingga evolusi tidak pernah memunculkan alternatif yang lebih baik; hanya membuat variasi pada bahan yang sama.
Berbeda dengan komponen mata lain, misalkan saja, lensa. Hampir semuanya terbuat dari protein yang disebut kristalin, yang meningkatkan mutu penglihatan pemiliknya dengan cara memfokuskan cahaya pada fotoreseptor di bawahnya. Tetapi tidak seperti opsin, kesamaan di antara berbagai jenis kristalin hanyalah namanya saja. Jenis kristalin setiap kelompok hewan berevolusi secara mandiri, dengan membajak protein berbeda-beda yang sebelumnya memiliki tugas berbeda pula, yang tak terkait dengan penglihatan. Namun, semuanya stabil, mudah dikemas, dan mampu membelokkan cahaya—cocok untuk membuat lensa.
Lensa teraneh di alam tak memiliki kristalin sama sekali. Lensa ini terdapat pada kiton—sekelompok moluska laut yang bentuknya seperti oval yang dihiasi lempeng baju zirah. Lempeng ini ditaburi ratusan mata tahap-tiga kecil, yang memiliki lensa masing-masing. Lensa ini terbuat dari mineral bernama aragonit, yang disusun kiton dari atom kalsium dan karbonat dalam air laut. Pada dasarnya, makhluk ini telah berevolusi hingga mampu melihat menembus batu, demi menajamkan penglihatannya. Dan ketika lensa batunya terkikis, kiton tinggal membuat yang baru.
!break!Opsin, lensa, dan setiap komponen lain pada mata merupakan bukti utak-atik evolusi yang tambal sulam. Utak-atik ini senantiasa mengalihfungsikan bahan yang sudah ada, serta menyusun beberapa struktur sederhana menjadi struktur kompleks. Namun, evolusi tak memiliki wawasan ke depan. Evolusi tidak bisa mulai lagi dari nol, jadi karyanya selalu dirundung ketidaksempurnaan. Nilsson khususnya kecewa oleh mata majemuk. Strukturnya, yang tersusun dari banyak unit berulang, membatasi resolusi visual dengan kaku. Jika lalat ingin melihat dengan resolusi setara manusia, lebar matanya harus satu meter.
“Serangga dan krustasea tumbuh subur meski terhambat oleh mata majemuk, bukan berkat didukung mata itu,” kata Nilsson. “Hewan-hewan ini tentu bisa lebih berkembang andai memiliki mata jenis kamera. Namun, evolusi tidak menemukan itu. Evolusi tidak pintar.”
Eric Warrant, tetangga Nilsson di Lunds Universitet, pandangannya tak sekeras itu. “Mata serangga memiliki resolusi temporal jauh lebih cepat,” katanya. “Dua lalat bisa berkejaran pada kecepatan tinggi dan melihat hingga 300 denyar cahaya per detik. Kita beruntung bisa melihat 50.” Mata capung dapat melihat hampir 360 derajat; Dan ngengat elephant hawk memiliki mata begitu peka sehingga tetap dapat melihat warna meski hanya diterangi cahaya bintang. “Dalam beberapa segi, kita lebih baik, tetapi dalam banyak segi, kita lebih buruk,” kata Warrant. Mata kamera kita punya masalah sendiri. Retina kita aneh, susunannya seperti terbalik. Fotoreseptor ada di balik jaring kusut neuron, yang sama saja seperti memasang kabel kamera di depan lensa. Kumpulan serat saraf juga perlu melewati sebuah lubang di lapisan fotoreseptor agar dapat mencapai otak. Itu sebabnya kita memiliki titik buta. Kelemahan ini tak ada manfaatnya; hanya keunikan riwayat evolusi kita.
Kita sudah mengakali kelemahan itu melalui evolusi. Retina kita mengandung sel panjang yang berfungsi seperti serat optik, menyalurkan cahaya melalui neuron ke fotoreseptor. Dan otak kita dapat mengisi kekosongan di titik buta. Namun, ada beberapa masalah yang tak dapat kita hindari. Retina kita kadang terkelupas dari jaringan dasarnya, menyebabkan kebutaan; itu tak akan pernah terjadi jika neuron terletak di balik fotoreseptor, menambatkannya. Desain yang lebih masuk akal ini terdapat pada mata kamera gurita dan cumi. Gurita tidak memiliki titik buta. Retinanya tidak pernah terlepas. Retina kita dapat terlepas, karena evolusi bekerja tanpa rencana. Evolusi mengeluyur tanpa berpikir, berimprovisasi sambil berjalan.
Tingkat kerumitan mata hanyalah sebatas yang diperlukan pemiliknya, dan jika keperluan itu berkurang, menurun pula kerumitan mata. Sebagian besar burung dan reptilia melihat warna dengan empat jenis fotoreseptor kerucut, masing-masing membawa opsin yang peka terhadap warna tertentu. Namun, mamalia berevolusi dari leluhur nokturnal yang telah kehilangan dua jenis kerucut ini, mungkin karena penglihatan warna tidak terlalu penting pada malam hari dan karena kerucut itu paling efektif dalam cahaya siang yang benderang.
Sebagian besar mamalia melihat dunia melalui palet warna terbatas. Anjing hanya memiliki dua kerucut, satu peka warna biru, satu peka merah. Namun, primata di belahan dunia timur membalikkan sebagian kehilangan ini, menghasilkan kembali kerucut peka-merah dari evolusi-ulang. Itu membuka mata leluhur kita pada dunia merah dan jingga yang sebelumnya tidak terlihat, serta mungkin membantu mereka membedakan buah yang ranum dan mentah. Banyak spesies paus yang kehilangan kerucut merah juga. Paus hanya memiliki fotoreseptor batang—cocok untuk melihat di kegelapan laut dalam, tetapi tak berguna untuk melihat warna.
Jika penglihatan tak lagi bermanfaat, beberapa hewan kehilangan mata. Pada kala Pleistosen, beberapa ikan air tawar kecil berenang masuk ke gua-dalam. Matanya tak berguna dalam gelap gulita, jadi keturunannya berevolusi menjadi populasi ikan gua buta yang berbeda—makhluk putih kemerahan yang hanya memiliki kulit di tempat yang dulunya terdapat mata. Ini terjadi karena pembuatan dan pemeliharaan mata memerlukan banyak energi.
Ini menjelaskan mengapa kecanggihan mata hewan hanya sebatas yang diperlukan saja, serta mengapa hewan begitu mudah kehilangan mata saat tak lagi memerlukannya. Menghamburkan energi untuk sistem indriawi yang tidak bermanfaat itu bisa-bisa mengakibatkan kepunahan. Mata adalah bukti evolusi yang kreatif tiada batas dan kikir tiada ampun.
Di University of Maryland, Baltimore County, Tom Cronin mengintip ke dalam tangki akuarium, dan dua mata majemuk yang menonjol, mirip bolu kukus yang terpasang pada tangkai, balas memandangnya. “Mr. Googles,” demikian julukan sayang pemberian Cronin, adalah hewan cantik. Dia adalah udang mantis pelangi. Di ujung tangan Mr. Googles terdapat palu tangguh yang menjulur begitu cepat dan kuat, mampu meretakkan kerang laut dan kaca akuarium.
Mata si udang mantis pelangi memiliki tiga wilayah terpisah yang berfokus pada ruang sempit yang sama, membentuk persepsi kedalaman tanpa bantuan mata satu lagi. Mata itu juga bisa melihat cahaya ultraviolet, dan cahaya terpolarisasi. Sementara kita memiliki tiga jenis reseptor warna pada retina, Cronin menemukan bahwa udang mantis ini memiliki 12 jenis, untuk warna berbeda. “Tadinya ini tidak masuk akal. Sama sekali,” dia mengenang.
Selama bertahun-tahun, ilmuwan berasumsi bahwa dengan reseptor sebanyak itu, udang mantis pelangi mampu mendeteksi perbedaan kecil antara nuansa warna. Tetapi, Hanne Thoen, di University of Queensland, Australia, mematahkan pemikiran itu pada 2013. Dia menunjukkan serat optik yang menampilkan warna berbeda kepada udang mantis pelangi, dan memberinya hadiah makanan jika udang itu menyerang warna tertentu. Dia lalu menyetel warna agar nuansanya semakin berdekatan, sampai hewan itu tak mampu lagi membedakannya. Kinerjanya buruk: bahkan tak bisa membedakan warna yang jelas berbeda bagi mata kita.
Jadi, buat apa reseptor sebanyak itu? Thoen menduga terkait kemampuan tempur. Di retina kita terjadi banyak pemrosesan visual, menambah dan mengurangi informasi dari kerucut sebelum mengirimnya ke otak. Mungkin sebaliknya, udang mantis pelangi langsung mengirim respons kedua belas reseptor warna itu ke otak, yang membandingkan data mentah dengan semacam tabel warna. Meskipun tidak pandai membedakan warna, mungkin sistem semacam itu menjadikan udang mantis itu lihai mengenali warna, yang kemudian membantunya membuat keputusan cepat, untuk meninju secepat kilat.
Cronin tak yakin. Kembali di labnya, dia mengayunkan pipet di dalam cawan petri berisi udang mantis yang lebih kecil—hanya beberapa sentimeter. Hewan itu mengamati, lalu meninju. Pukulannya bersuara mirip bunyi jentik jari.
“Jagoan kecil itu berpikir lama sebelum memukul. Ia tak membuat keputusan cepat,” kata Cronin, menjentikkan jarinya sendiri. “Apa manfaat fotoreseptor sebanyak itu?”
Itu juga pertanyaan yang selalu direnungkan Dan-Eric Nilsson. Tidaklah cukup hanya mengetahui struktur mata udang mantis, atau gen yang diaktifkan di dalamnya, atau sinyal saraf yang dikirimnya ke otak. Akhirnya, untuk memahami mengapa mata berbentuk tertentu, kita perlu tahu cara penggunaannya. Inilah kebenaran pokok tentang mata hewan: Kita hanya mampu memahami evolusinya setelah belajar melihat dunia melalui mata itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR